Header Ads

3 Tahun si Pelanggan BRT Trans Semarang

Sebelumnya beberapa kali lihat bus Trans Semarang berseliweran di sekitaran Jalan Pandanaran, sesekali juga lihat di Terminal Ungaran, tapi belum pernah naik karena tidak tahu caranya. Baru kemudian April 2013 waktu mau pulang dari Lawang Sewu ke atas, diajak teman naik bus ini (dia pulang ke Tembalang, saya ke Ungaran). Awalnya sempat ragu, betul-betul bisa masuk Ungaran tidak, tapi melihat papan tujuan di bus yang baru datang bertuliskan "Sisemut" menghilangkan keraguan itu. Dan ternyata bisa turun di Alun-Alun, yang berarti tak perlu mengitari utara Ungaran lagi untuk sampai rumah.

Setelah itu pun masih belum menggunakan bus ini lagi, baru ketika sempat mencoba berangkat ke kampus naik ini, berikutnya jadi ketagihan. Sejak itu, kalau tempat tujuan dilintasi jalurnya dan masih dalam waktu layanannya, saya hampir selalu naik bus yang lebih populer disebut BRT ini. Tak jarang juga saya naik tanpa tujuan, sekadar jalan-jalan keliling Semarang, mencoba rute koridor baru, atau baru menetapkan tujuan setelah duduk nyaman di dalam bus. Berbekal titik shelter yang dipublikasikan, rasanya sama sekali tidak takut tersasar.

Tempat pertama mengenal BRT
(sumber gambar: http://berita.suaramerdeka.com/brt-semarang-bawen-siap-beroperasi/)

Saking seringnya naik BRT, teman-teman dekat pun mengenal saya sebagai "ahlinya" BRT: sering mereka menanyai saya kalau mau ke mana naik apa, kalau naik BRT rutenya bagaimana. Dan selama 3 tahun jadi pelanggan, ada banyak hal yang ingin saya sampaikan di sini, baik segi positif maupun negatif.

1. Bebas Rokok

Hal paling utama yang membuat saya lebih memilih BRT dibanding transportasi umum lainnya adalah aturan bebas rokok. Meskipun kadang ongkos sedikit lebih mahal dan waktu tunggu di shelter lebih lama daripada transportasi umum lainnya, atau berdesak-desakan di dalam bus yang padat, bagi saya semua itu harga yang sepadan untuk mendapatkan ruang bebas rokok selama dalam perjalanan.

Berusaha memotret petugas
merokok di shelter sebagai bukti.
Kelihatan kah?
Lebih jauh saya berharap aturan bebas rokok juga berlaku tidak hanya di dalam bus, melainkan juga di area shelter. Minimal di shelter yang ada petugasnya. Sejauh ini seringkali si petugas sendiri yang merokok di area shelter, padahal sudah ada stiker "Dilarang Merokok/No Smoking" di sana, atau kalau tidak mereka merokok di dekat pintu masuk shelter. Padahal banyak pengguna yang memilih BRT agar tidak bersinggungan dengan asap rokok, dan selama menunggu di shelter (yang kadang waktu tunggunya lama sekali) justru terganggu dengan hal yang dibenci ini. Kalau di shelter belum ada larangannya, sebaiknya juga diberikan, jadi dalam radius sekian area layanan BRT, betul-betul memberi hak bagi penumpang yang ingin menghirup udara bersih.

Dan yang terpenting, hal ini harus dimulai dari petugasnya. Beberapa kali saya melaporkan petugas yang merokok di area shelter, bahkan DI DALAM BUS ketika sedang membawa bus menuju shelter di lingkungan terminal, tapi setelah itu masih juga saya mendapati kasus serupa. Ini juga menyebabkan bagian dalam bus masih berbau rokok sampai beberapa lama.

2. Harga Tiket

Kalau di atas saya katakan sesekali ongkos sedikit lebih mahal, sebetulnya tidak terlalu relevan. Di antara semua tempat jarak-dekat yang ingin saya tuju di Semarang, rata-rata transportasi umum mematok ongkos 3.000, atau kalau beruntung paling-paling 2.500. Dengan BRT, saya bisa ke mana pun yang saya mau hanya dengan nambah 500 perak, ke mana pun yang saya mau hingga ujung Semarang. Bahkan kadang untuk ke satu tempat yang sebetulnya bisa saya ambil hanya dengan sekali transit, saya sengaja pakai beberapa koridor, entah karena prakiraan penumpang lebih sedikit hingga lebih leluasa atau karena bus yang datang lebih dulu adalah yang koridor sekian.

Buat anak sekolah juga berkahnya luar biasa, cuma 1.000 buat seantero Semarang. Sisi negatifnya, bus jadi penuh sesak, apalagi jam-jam berangkat dan pulang sekolah. Belum lagi kalau sebelumnya ada wacana menggratiskan untuk anak sekolah. Pernah dulu ketemu sekelompok anak berseragam SMP di halte Pandanaran, yang menunggu terlalu lama bus BRT sambil ngobrol takut kemalaman sampai di rumah mereka di daerah Mijen. Saya tanya, kenapa tidak coba naik angkot, dan mereka menjawab cuma bawa seribuan masing-masing. Ada juga anak SMK 7 yang tinggal di Boja, cuma mengeluarkan 2.000 untuk ongkos transport per hari.

3. Jadwal Keberangkatan

Konsepnya, BRT berangkat dari terminal awal dengan interval 10 menit antarbus. Ini juga menjadi salah satu pertimbangan utama buat saya, terutama kalau berangkat dari pool awal: tidak perlu kena "PHP" seperti transportasi umum yang seolah-olah sudah mau berangkat, tapi ternyata menunggu penumpang membludak baru berangkat. Selama busnya ada, BRT selalu berangkat sesuai jadwal yang ditetapkan.

Walaupun sering sekali jadwalnya kacau karena macet, saya rasa itu bukan sesuatu yang bisa ditanggulangi pihak BRT, mengingat tidak ada jalur khusus BRT di Semarang. Menggunakan jalan yang sama, bahkan transportasi umum lainnya pun bisa saja terlambat karena macet, meskipun karena jumlahnya banyak, jadi tidak terlalu berpengaruh. Sementara jumlah armada BRT yang terbataslah yang membuat waktu tunggu begitu lama. Kita semua pasti berharap ada tambahan jumlah armada dan seluruh armada dalam kondisi baik, sehingga masalah ini bisa teratasi.

4. Halte/Shelter

Sebagian orang mungkin enggan naik BRT karena hanya ada di titik tertentu, yang membuat mereka tidak bisa turun tepat di tempat yang dituju, atau kalau kebablasan turun. Tetapi di sisi lain ini tentu memudahkan ketepatan jadwal, karena tidak harus berhenti setiap kali ada penumpang naik/turun.

Kerugian kecilnya, ada beberapa shelter yang letaknya terlalu jauh dari jalan yang umum dilalui, misal shelter Tembalang dari arah bawah. Kebanyakan pengguna shelter ini berpergian dari/ke Tembalang, yang jalan masuknya tepat di pertigaan lampu lalu lintas. Jika mengacu arah dari Semarang ke Ungaran, letak shelter dari arah bawah puluhan meter setelah pertigaan, sedangkan pasangannya (shelter yang menuju arah bawah) beberapa meter sebelum pertigaan. Shelter Tembalang ke atas malah lebih dekat dengan shelter Srondol daripada pasangannya sendiri. Kalau ada orang keblablasan dan hendak putar balik, tentu jalannya kejauhan dan bingung di shelter mana dia bisa putar balik.

Tapi kekurangan di atas rasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan tindakan sopir BRT. Keberadaan shelter seharusnya bertujuan mengoordinasikan agar penumpang lebih mudah naik. Dan karena menjadi satu-satunya tempat naik untuk penumpang, idealnya bus HARUS BERHENTI di shelter-shelter ini. Kenyataannya, sopir seringkali tidak mau berhenti di beberapa shelter yang ada, biasanya dengan alasan:

  • Terlanjur ambil kanan (padahal seharusnya sopir sudah tahu, di mana letak shelternya, sehingga sudah bisa bersiap ambil kiri jauh sebelumnya. Kalau ada sopir beralasan begini, harus ditraining ulang untuk pengenalan medan)
  • Calon penumpang di shelter tidak berdiri (alasan yang lebih konyol. Untuk apa di shelter disediakan bangku untuk menunggu, kalau penumpang harus berdiri? Belum lagi waktu tunggu BRT kadang bisa sampai 1 jam, apakah selama 1 jam penumpang harus terus berdiri?)
  • Calon penumpang di shelter tidak kelihatan seperti mau naik (apa indikatornya seseorang mau naik atau tidak? Kadang penumpang sambil menunggu sambil bersandar istirahat atau menunduk main HP, jadi tidak sadar kalau ada BRT mendekat. Begitu mendongak, tahu-tahu BRT sudah lewat. Bagaimana petugas bisa tahu dia mau naik atau tidak, kalau bus mendekat saja tidak?)
Tentu beda lagi kasusnya kalau bus penuh, tapi 3 poin di atas seringkali terjadi ketika di dalam bus masih ada tempat dan tidak ada penumpang mau turun. Jadi menurut saya, harus ada kebijakan tegas bahwa bus HARUS berhenti di tiap shelter, entah ada penumpang naik atau tidak. Usulan saya sih sekitar 10 detik. Hal ini juga bisa membantu penumpang yang mungkin tinggal beberapa meter menuju shelter, yang kadang diabaikan karena petugas melihat tidak ada orang di shelter.

Ketika saya mengusulkan ini, pernah ada yang protes, katanya bakal lama kalau harus berhenti di tiap shelter 10 detik, dan biarkan saja lewat kalau tidak ada penumpang. Yah, bukankah shelter ini salah satu nilai plus BRT dibanding angkutan lain? Kalau memang alasannya lama, sekalian saja tidak perlu ada shelter di jalur-jalurnya, pasti kan lebih cepat. Kewajiban berhenti meski tanpa penumpang menurut saya lebih untuk memastikan agar tidak ada alasan-alasan konyol para sopir untuk tidak berhenti.

(Beberapa kali melihat komentar di Facebook, pengguna merasa kecewa karena BRT koridor 4 tidak lewat Bandara. Dengan kewajiban berhenti, BRT termasuk wajib masuk Bandara. Kalau alasannya macet, saya rasa itu risiko; jalur lain pun kena macet, tapi BRT tidak lantas masuk tol hanya demi menghindari kemacetan, kan?)


5. Pemisahan Area Laki-Laki dan Perempuan

Kebijakan ini dikeluarkan lebih akhir dibandingkan beberapa kebijakan lainnya. Perempuan duduk di belakang, laki-laki di depan. Beberapa mungkin berpendapat perempuan yang harusnya di depan, apalagi tempat duduk belakang di armada jenis lama agak tinggi, kadang lebih diminati laki-laki daripada kaum hawa. Saya sendiri awalnya lebih suka duduk di dekat sopir. Tapi tentu saja, bagian belakang bus lebih besar daripada depan untuk menampung perempuan yang lebih banyak.

Aturan ini sebetulnya bagus, karena bertujuan meminimalisasi pelecehan seksual di dalam bus, terutama pada perempuan. Sayangnya, aturan ini belum sepenuhnya diterapkan. Masih banyak petugas yang belum menertibkan penumpang agar duduk sesuai areanya, biasanya karena busnya penuh, jadi susah mengaturnya. Saya bisa memaklumi kalau ini terjadi di tengah perjalanan, tapi di terminal awal pun, seringkali saya dapati bagian depan masih kosong, tapi kursi belakang (yang menghadap depan) sudah dipenuhi laki-laki, kadang ada petugas laki-laki duduk di situ. Sebagai perempuan tentu merasa risih harus mendekati mereka, akibatnya aturan ini dilanggar sejak terminal awal. Kadang sampai gregetan ingin menyindir para lelaki itu, "Mas, nggak bisa baca, ya?" sambil menunjuk tempelan pemisahan area tepat di hadapan pintu masuk.

Lebih banyak laki-laki di belakang
Saya jadi ingat ketika naik bus koridor 3 dari Simpang Lima, petugas dengan tegas meminta para perempuan untuk mengisi dulu mulai kursi paling belakang dan laki-laki mulai dari paling depan. Ketika penumpang berikutnya datang, bahkan meskipun berdiri, penumpang di dalam sudah terkondisikan laki-laki depan dan perempuan belakang. Kalau ada satu perempuan di belakang yang turun, penumpang di sebelahnya bisa geser sehingga penumpang yang baru datang pun bisa mulai dari area netral (tengah).

Ini membuktikan bahwa pengaturan pun sebetulnya bisa dilakukan di tengah perjalanan, asalkan dimulai sejak bus masih kosong atau terisi penumpang sedikit. Ketegasan petugas sangat diperlukan di sini.

6. Kursi Prioritas

Saya pernah mendengar komentar teman saya dari Jakarta, kesadaran pengguna BRT untuk memberikan kursi prioritas pada yang membutuhkan termasuk cukup tinggi dibandingkan di Jakarta, sebuah hal yang membanggakan. Dari petugas sendiri juga aktif mengondisikan kalau ada penumpang duduk yang mungkin belum sadar kalau ada orang tua/ibu hamil/bawa anak, tapi begitu diminta, hampir semua langsung bersedia memberikan tempat duduknya. Sesekali memang gondok kalau ada laki-laki yang kelihatannya cukup sehat dan bugar duduk di kursi prioritas (atau kursi lain yang terjangkau untuk bertukar tempat) sementara masih ada perempuan yang berdiri, tapi saya berusaha husnudhan kalau mungkin laki-laki itu lagi sakit punggung yang kita tidak bisa lihat. Hehe... Kan tidak perlu ya kursi prioritas yang disediakan sama sekali tidak boleh dipakai sampai yang betul-betul membutuhkan datang?

7. Pegangan Tangan di Dalam Bus

"Satu pegangan satu," merupakan instruksi yang sering didengar kalau bus mulai penuh. Penumpang berdiri memang diharapkan mengisi dulu bagian paling belakang/depan supaya tidak menumpuk di pintu masuk.

Kesulitannya, pegangan tangan di dalam bus tergantung begitu tinggi dari dasar bus, terutama bus koridor 2 armada model lama. Dalam bahasa kasar, fasilitas ini merupakan diskriminasi bagi mereka yang tubuhnya pendek. Saya sendiri bahkan jinjit pun hanya bisa mengaitkan satu jari di pegangan. Mau minta tempat duduk jelas tidak mungkin dan tidak etis. Akhirnya banyak penumpang yang memilih berkerumun di dekat pintu lantaran di sana ada tiang yang bisa digunakan untuk berpegangan.

Menurut saya, kalau pegangan digantungkan lebih rendah, akan mengurangi kerumunan di dekat pintu. Setidaknya jarak antara lantai dan pegangan seperti dalam bus koridor 1. Saya pun sebetulnya lebih suka ke belakang daripada berdesakan di pintu, apalagi dalam bus semodel koridor 3 dan 4 yang di bagian belakangnya juga ada 2 tiang tinggi.

Satu lagi, sempat saya dengar seorang ibu-ibu mengeluhkan tingginya pegangan ini, padahal dia dalam posisi duduk. Kenapa? Ternyata, yang berdiri di depannya adalah cowok yang tangannya menggantung di pegangan, dan memberikan bau tak sedap khas cowok langsung ke muka. Haha...

8. Uang Pas

Petugas seringkali meminta uang pas ketika menarik ongkos tiket dari penumpang, karena kurangnya jumlah pecahan untuk kembalian, apalagi kalau penumpang menyodorkan uang 50.000. Aturan ini ditempel di dalam bus dan di terminal awal. Di terminal awal, mungkin saja penumpang bisa diminta menukarkan uang terlebih dahulu, dan tentunya banyak warung/toko untuk menukar uang.

Masalahnya adalah kalau penumpang sudah masuk dalam bus dan diminta uang pas, padahal dia tidak punya. Di shelter transfer, penumpang kadang enggan meninggalkan shelter, takut kalau kelewatan bus, tidak sempat mencari tempat untuk bisa menukar uang. Dalam kondisi ini, tentu penumpang tidak sepenuhnya salah karena tidak menaati anjuran. Pernah ada bapak-bapak DIMINTA TURUN oleh petugas hanya karena uangnya 50.000. Si bapak pun akhirnya turun sambil marah-marah. Memang serba salah, si bapak tidak punya uang pas, si petugas tidak punya kembalian. Masa tidak bayar? Tapi tidak etis juga menyuruh seseorang turun hanya karena tidak punya uang pecahan kecil: dia sudah menunggu lama, disuruh turun, belum lagi menunggu bus berikutnya juga lama. (Sebagian penumpang yang menganut tradisi Jawa menggunjing, tidak sopan kalau petugas yang "anak muda" menurunkan bapak-bapak yang jauh lebih tua hanya karena masalah itu.)

Solusinya, petugas juga harus menyediakan uang kembalian yang kira-kira cukup untuk satu kali perjalanan. Toh tidak mungkin seluruh penumpang membayar dengan uang 50.000. BRT sudah bertahun-tahun beroperasi, beribu kali melakukan perjalanan, sebaiknya sudah bisa memperkirakan dalam satu kali jalan ada berapa penumpang yang bawa uang besar. Atau, di shelter yang ada petugasnya, petugas shelter sedia uang pecahan kecil yang banyak, jadi kalau petugas bus kehabisan uang pecahan, petugas bus bisa menukarkan uang di sana. (Dengan pertimbangan, petugas shelter lebih memungkinkan untuk keluar sebentar mencari pecahan).

Bukan berarti saya "menyalahkan" pihak BRT. Saya pun mengimbau penumpang untuk membayar dengan uang yang "wajar", tidak terlalu besar untuk sekadar 3.500. Tapi saran di atas hanya untuk mengantisipasi kejadian yang terlanjur, agar kasus di atas tidak terulang lagi dan memperburuk citra BRT. Pihak BRT juga tidak mau penumpang gratisan lantaran tidak punya uang kecil, kan?


* * *


Baiklah, sekian dulu tulisan saya. Semoga bisa mewakili suara hati pengguna lainnya. Terlepas dari berbagai kritik yang saya sampaikan, sejauh ini BRT masih transportasi publik terbaik bagi saya. Semoga pengelola semakin meningkatkan pelayanan, dan masyarakat pun puas dengan keberadannya.

3 comments:

  1. Info yang sangat menarik. ulasannya keren sekali.
    mantab

    salam
    Hanif Musthofa al-Wonogiri
    UIN Walisongo Semarang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih atas kunjungannya. Salam kembali.

      Delete

Powered by Blogger.