Hanif yang Memang Hanif
Masalah itu bertumpuk. Membuatku lelah. Dan sayangnya, aku "sendiri" di medan sepi ini. Well, ada banyak sih mujahid di sekelilingku, tapi hijab menjagaku untuk tidak mengulurkan tangan dan memintanya menarikku yang hampir jatuh. Aku butuh kawan. Aku butuh partner dakwah di sini. Dan hanya satu nama yang terlintas: Hanif.
Ya, kau. Kau yang awalnya kukenal karena banyak "mantan" guruku memintaku mengenalmu, lantaran orang tuamu juga pejuang dakwah. Mereka memintaku untuk menginisiasi lingkaran kecil bersamamu. Lingkaran kecil yang mulanya berganti-ganti penghuninya. Lingkaran yang dalam suatu masa pernah hanya berisi aku dan kau mengitari sang pengantar ilmu. Tapi kesendirian kita tak pernah menyurutkan semangat kita untuk senantiasa melingkar, bahkan kecemburuan kita akan kemuliaan Bunda Khadijah membuat kita "memutuskan sendiri" untuk melekatkan nama itu pada kita.
Ya, kau. Kau yang agak bertolak belakang denganku. Kau yang ceria, sabar, dan supel, sementara aku yang lekas naik darah, kaku, dan susah dekat dengan orang. Banyaknya kawanmu kadang membuatku iri, tapi keceriaanmu membuatku merasa aku memilikimu untukku sendiri. Orang sepertimulah yang sepertinya cocok denganku. Kau penyeimbang diriku: saat masalah muncul di depan kita berdua, dan tekanan darahku meninggi, kau bisa menghadapinya dengan tenang meskipun jalan pikiran kita sama, yang akhirnya membuatku bungkam. Apakah kau memang sanguinis-plegmatis? Ah, yang jelas, satu kesamaan kita: sama-sama suka humor. :)
Ya, kau. Kau yang membuat kami bingung, amanah apa yang layak diletakkan pada pundakmu ketika iseng-iseng mendiskusikan amanah pada "tahun puncak" kita di Rohis. Bukan karena kau tak mampu, justru karena kau sangat cocok ditempatkan di mana pun. Dan ketika akhirnya kau ditempatkan jadi sekretaris, tak seorang pun sebelumnya pernah berpikir kau ada di sana. Namun itu hanya semakin membuktikan bahwa kau memang layak diberi amanah apa saja.
Ya, kau. Kau yang kepahamanmu mampu memuaskan dahagaku akan perbincangan mengenai dakwah sekolah. Berdua kita sering merencanakan strategi rekayasa dalam dakwah sekolah: tentang kualitas kader, tentang bagaimana meng-upgrade kapasitas kader, tentang agenda strategis Rohis, bahkan tentang plotting kader. Yang aku masih kagum hingga kini, waktu itu kau mengusulkan nama seseorang untuk menempati posisi strategis itu, dan orang itu ternyata menjadi salah satu orang paling berpengaruh hingga kini. Padahal waktu itu dia masih murid baru. Pantas saja kau kini dipercaya jadi "master" kaderisasi di tempatmu. :D
Ya, kau. Kau yang punya frekuensi sama denganku terhadap masalah-masalah dakwah sekolah. Kau yang sama-sama greget dengan masalah "kader yang minim" di Rohis. Tapi keberadaanmu membuat greget itu berkurang, membuatku merasa tak sendiri. Ada kau yang juga merasakan apa yang kurasakan, ada kau yang bisa menampung kata-kata sebalku, ada kau yang menghiburku di tengah kecewaku. Meski kadang saat kau menghadapi masalah khususnya dengan guru, aku sering bingung menanggapinya (padahal justru karena aku kurang menguasai strategi berhadapan dengan guru, aku memintamu maju, hehe...). Dan kita punya respon yang sama ketika mendengar tragedi Mavi Marmara, kita sama-sama punya ide bikin aksi, kita pun berbagi kekecewaan yang sama ketika ide itu ditolak pada kali kedua kita menghadap karena alasan "klasik" (yang kita tahu itu bukan dana).
Ya, kau. Kau yang memang berasal dari latar keluarga kader, yang cukup mampu mengimbangi semangatku akan dakwah politik. Kemudian pada akhir kelas XI kita diajak ikut kampanye, padahal kau belum cukup umur (:p), dan berangkat dengan rombongan guru-guru yang menjadikan kita paling belia. Kita sama-sama memperhatikan ketika Ustadz HNW meninggalkan area kampanye dengan border Pandu Keadilan, dan ketika beliau melewati barisan akhwat, kau pun berkomentar, "Emangnya siapa juga yang mau megang?" lantaran memang jalur yang beliau lewati sangat longgar dari massa.
Pada akhirnya, yang "memisahkan" kita hanyalah alasan klasik: beda tempat kuliah. Kau mendapatkan IPB dari usahamu yang paling awal, sementara aku tak diizinkan meninggalkan Semarang dan sekitarnya. Kita pergi ke Gramedia sebagai "farewell party" kita. Kenangan khusus bersamamu tentang Gramedia adalah kau yang "mengidolakan" Papi Lupus yang amat pelit itu. Hehe...
Tetapi meski kita terpisah studi, "jiwa" kita rupanya sama. Kita sama-sama di KAMMI. Kau setia dengan Kaderisasi, sementara aku terlempar-lempar antara Pers dan Kajian Strategis. Oya, mungkin aku pernah cerita, aku memang sengaja merencanakan agar bisa DM2 bersamamu. Saat ada pengumuman seleksi DM2 Bogor dan Sleman di KAMMDA Semarang, aku bersegera mendaftar meski aku tahu aku belum diprioritaskan saat itu. Aku bahkan lupa menanyakan, seleksi yang kuikuti untuk DM2 Bogor atau Sleman. Dan pagi itu, aku dapat SMS untuk berangkat ke DM2 Bogor yang dilaksanakan esoknya, yang berarti harus berangkat malam itu juga. Maka meski diminta bertukar dengan kawanku yang lolos untuk DM2 Sleman, aku menolak. Meski aku harus bersiap siang itu, dan membuat makalah saat itu juga.
Ternyata skenario Allah memang menuliskan pertemuan kita. Aku sedang di kantin, ketika kau mendekat dengan kepala tertunduk. Kau tahu, rasanya seperti di pelem-pelem. Haha... Tapi itu merupakan momen langka, aku yang mengunjungimu di Bogor, padahal biasanya kita bertemu di Ungaran. Meski pada akhirnya aku tak sempat sekadar mampir ke kampusmu atau kosmu.
Saat DM2 itu, makalahmu mengambil tema perbandingan mahzab. Aku yang memang sudah lama punya pertanyaan tentang mahzab ingin mengajukannya padamu, dan kau tertawa kecut ketika aku mengacungkan tangan. Belum lagi kau menunjukkan padaku buku yang kaugunakan untuk mencatat. Kau menunjukkan tanda tangan yang pernah kububuhkan di situ saat SMA, yang aku sendiri lupa persisnya kapan. Kau juga memperhatikan sedikit perbedaan pada tanda tanganku itu. Wow, itu masih buku yang sama?
Kau memang sudah jauh berubah. Kau lebih bijak dibanding ketika aku mengenalmu selama 3 tahun di SMA. Aku bahkan merasa telah meremehkan kemampuan leadership-mu, karena ternyata kau punya kemampuan memimpin yang luar biasa. Kalau tidak, mana mungkin kau akan mengemban begitu banyak amanah pada satu masamu di kampus, yang bahkan aku sendiri tak pernah mengalaminya? Kau bahkan jadi Kepala Departemen Kaderisasi. Ketika membaca tulisan-tulisanmu pun, aku juga merasa tidak mengenalmu dengan baik. Tulisanmu jelas jauh lebih berbobot dibanding tulisanku.
Nenek, rasanya banyak yang ingin kubagi denganmu. Aku rindu dengan diskusi-diskusi kita tentang rekayasa dakwah, aku rindu dengan cerita-cerita kita tentang "para orang tua" :), dan yang jelas aku rindu dengan keberadaanmu yang membersamaiku dalam medan yang sama. Tak kalah besar, aku juga rindu mendengarmu tilawah, nada tilawahmu yang khas selalu saja bikin adem telinga yang mendengarnya.
Tapi sayang, ketika kau pulang, lidahku kelu untuk mencurahkan kesedihanku. Bahkan tangis tertahanku pun tak lagi ada. Karena denganmu, segalanya menjadi lucu dan menyenangkan.
No comments