Header Ads

[L.Ov.E] 1# Soedarto

13.00

Dengan tergesa Ovi dan ayahnya mencari pintu masuk ruang verifikasi. Dia merasa beruntung diterima di jurusan Planologi Universitas Diponegoro. Pukul 6.00 tadi sebetulnya dia sudah siap berangkat dari rumahnya di Solo. Akan tetapi, ketika mengecek ulang berkas yang dibutuhkannya dalam verifikasi, dia hanya memiliki selembar SKHU asli dari SMA, padahal yang dibutuhkan adalah fotokopi dengan legalisasi.

"Maaf, Nduk, tadi pagi adikmu numpahin susu ke SKHU-mu, jadi basah," kata Ibu sambil menunjukkan beberapa lembar HVS fotokopi kepada Ovi. "Ibu sudah bilang sama Lia, minum susunya di meja makan saja, tapi dia malah lari-lari sampai ke meja belajarmu."

Akibatnya, Ovi pun harus mampir ke SMA untuk meminta legalisasi. Beruntung, Kepala Sekolah sedang ada di ruangannya, sehingga pegawai TU bisa menyerahkan kembali fotokopi legalisasi SKHU bernama Sofia Hanifa itu kepada pemiliknya beberapa menit kemudian.

Kini, Ovi mengikuti ayahnya menuju pintu samping sebagai start alur verifikasi. Di depan itu, ada seorang Menwa yang berjaga dengan membawa setumpuk nomor antrian. Ayah Ovi mengambilkan nomor antrian untuk putrinya itu. Sebuah kertas kecil warna kuning dengan angka 25 tertera manis di atasnya.

"Kok nomor 25, Mas?" tanya ayah Ovi.

Menwa tersebut menjelaskan, "Untuk kartu yang warnanya putih, dipanggil dulu saat ini, sampai nomor 1000. Setelah mencapai 1000, giliran nomor kuning dimulai dari 1 lagi."

"Ini kira-kira nanti dipanggil jam berapa?"

"Sekitar jam tiga," ujar Menwa.

Ovi mengajak ayahnya mencari masjid atau mushola terlebih dahulu. Tahu bahwa jika mengantri jam 1 baru akan dipanggil sore, ayahnya tadi mengusulkan untuk mengambil nomor antrian, seandainya saat itu bisa langsung mengurus verifikasi, kan bisa shalat jama' agak sore.

* * *

"Ummi udah pesen tiket pulang?" tanya Ume.

"Sudah. Sekarang kita balik lagi yuk ke Gedung Soedarto," kata ibu Ume. "Sudah hampir jam 3, katanya kemungkinan kamu bisa masuk jam segini."

Ibu dan anak itu pun berjalan kaki santai dari Masjid Baitul Ilmi yang terletak di sebelah Gedung Soedarto, melewati berbagai macam pedagang makanan yang bermunculan. Melihat orang minum es kelapa muda, mendadak Ume tergoda untuk membelinya. Ibu Ume yang juga sudah kehausan menunggu dari tadi mengizinkannya, bahkan meminta segelas untuknya.

Saat itu, ada seseorang yang mendekati mereka berdua. Seorang gadis dengan jilbab biru dan jas almamater Undip membawa beberapa selebaran di tangannya.

"Sudah verifikasi, Dik?" tanya gadis itu.

"Ini baru mau," ibu Ume yang menjawab. "Sebentar lagi kemungkinan baru masuk."

Gadis itu membulatkan bibirnya. "Putri Ibu namanya siapa?"

"Ummi Scientia Al Banna," jawab Ume. "Tapi dipanggilnya Ume."

Ibu Ume menimpali, "Iya, biar di rumah gak tertukar dengan saya." Wanita 45 tahun itu tersenyum. "Soalnya anak-anak manggil saya Ummi, kalau dia dipanggil Ummi juga, nanti sama-sama menoleh."

"Mi, udah jam 3 nih," Ume mengingatkan ibunya.

"Maaf, ya, Mbak, keburu tutup nanti, ini aja udah sore banget," pamit ibu Ume, segera berlalu tanpa ingat untuk menanyakan nama mahasiswi itu. Tapi, Ume sempat mendekati mahasiswi itu dan bertanya, "Kakak namanya siapa?"

"Panggil aja Mbak Sari, Dik, dari Teknik Elektro."

"Mbak Sari," kata Ume. "Boleh minta nomor HP-nya? Siapa tahu nanti mau nanya-nanya soal Teknik, kebetulan aku juga di Teknik, tapi Teknik Sipil."

Sari mendiktekan nomor itu untuk dicatat Ume.

Sampai di pintu masuk verifikasi, mereka mendapati situasi tak terduga. Di depan pintu masuk, seorang bapak sedang berkata dengan Menwa, "Anak saya antri nomor 25 kok tidak dipanggil, Mas? Nomor dua puluh kan sudah dipanggil 20 menit yang lalu."

"Wah, ternyata sudah tutup, Pak," jawab Menwa itu seperti salah tingkah."

"Mi, kok udah tutup, sih?" Ume mendongak memandang ibunya.

Bukannya menjawab, ibu Ume hanya mendekati Menwa dan bertanya, "Udah tutup, Mas? Anak saya nomor 21, katanya baru dipanggil jam tiga... di jadwal juga katanya verifikasi sampai 15.40."

"Ya tapi berkasnya untuk hari ini sudah habis, Bu," jelas Menwa. "Jadi bisa kembali besok lagi."

Bapak yang ternyata ayah Ovi itu pun menyahut, "Kok bisa habis, Mas? Ini kan jadwal verifikasi Fakultas Teknik, harusnya sudah disesuaikna dengan jumlah mahasiswa dong!"

"Wah, saya sudah pesan tiket kereta untuk pulang nanti malam, Mas! Masa suruh membatalkan dan kembali lagi?" protes ibu Ume. "Kami ke sini kan juga sesuai jadwal, kalau bisa di luar jadwal, kami sudah ke sini sejak Senin!"

Akhirnya Menwa membawa Ovi dan Ume masuk, dihadapkan kepada seorang bapak. Bapak itu memberikan masing-masing satu map hijau kepada keduanya (yang ternyata masih ada), dan mereka langsung dibawa menuju ruang pemeriksaan fisik sementara orang tua mereka dipersilakan menunggu di luar.Secara bersamaan, keduanya melakukan tes fisik oleh dua petugas berbeda, dan langsung menuju ruang pemeriksaan darah. Selagi menunggu hasil tes darah itu, Ume membuka percakapan, "Kamu jurusan apa?"

"Perencanaan Wilayah dan Kota," jawab Ovi. "Kamu?"

"Aku Sipil.""Oh iya, namaku Ovi, kamu siapa?"

"Ume," jawab Ume singkat. "Kamu asli Semarang atau dari mana?"

Percakapan keduanya pun berlanjut. Namun baru saja Ume mengatakan bahwa dia dari Kuningan, Jawa Barat, hasil tes darah bisa diambil. Keduanya bertukar nomor HP untuk saling berkomunikasi tentang prospek mereka sebagai anak Teknik nantinya.


================== ^_^ ==================
===========IKUTI TERUS KISAH INI==========
====KARENA PENULIS SENDIRI BELUM TAHU===
=====SAMPAI EPISODE BERAPA SERIAL INI=====
=================== ^_^ ==================


Dedicated to:
My Beloved "RoQu"
Love u all coz of Allah

No comments

Powered by Blogger.