Header Ads

Medan Juangku Ternyata di Sini

Seumur hidup, aku nggak pernah nyangka akan "berakhir" di Universitas Diponegoro alias Undip. Tak pernah sekali pun terpikir olehku untuk melanjutkan studi di Undip selepas SMA. Tak ada minat, tapi bukan berarti menolak. Tapi aku sekarang ada di sini, dan kini tanganku tergerak untuk menekan tombol-tombol di keyboard untuk mengenang perjalananku hingga aku bisa di sini...

=============================================================

Waktu kecil dulu, hanya ada satu profesi yang kucita-citakan: guru. Mungkin karena kedua orang tuaku adalah pengajar. Bapak guru, Ibu dosen. Meski teman-teman biasanya menjawab, "Dokter," ketika ditanya, niatku menjadi guru tak tergoyahkan.

Setelah lebih besar, aku masih setia dengan cita-citaku, walaupun belum jelas mau jadi guru apa. Kali ini aku menambahkan "penulis" dalam daftar keinginanku. Yah, aku memang suka menulis, terutama buku harian.

Saat SMP, aku mulai memikirkan spesifikasi bidang yang ingin kumasuki di perguruan tinggi nanti. Hanya ada dua mapel (selain Agama) yang kusukai dan aku cukup menguasai, Bahasa Inggris dan Matematika. Aku memilih Matematika, sebab menurutku Bahasa Inggris masih bisa dipelajari melalui pendidikan nonformal. Sempat menimbang kemungkinan mengambil Pendidikan Matematika di Unnes, tapi kok terlalu dekat dengan rumah. Aku ingin sekolah di luar kota. Menurut Pak Tafsir, Kepala SMP-ku yang sekaligus guru Matematika, perguruan tinggi yang bagus bidang Matematika-nya di ITB. Beliau pula yang membuatku jatuh hati pada Matematika, cara mengajar beliau yang selalu memotivasiku menguasai ilmu ini.

Sampai SMA, keinginan masuk Jurusan Matematika ITB menguasaiku. Tak ada alternatif lain yang terpikir olehku, baik dalam hal jurusan maupun perguruan tinggi. Beberapa orang mengatakan, "Nanti kerjanya apa?" ketika mendengar jawabanku untuk pertanyaan mau kuliah di mana, tapi aku sendiri tidak terlalu memikirkan kerjaan apa yang menantiku setelah lulus. Bisa saja aku jadi peneliti, atau penulis, sesuai cita-cita semula, dalam bidang Matematika. Bisa juga aku jadi pengajar Matematika, walaupun kedengarannya eman-eman kuliah di ITB cuma jadi guru. Apalagi "cuma" guru SMA. Tapi bisa juga jadi dosen, kan? Entahlah, aku hanya suka pada Matematika.

Kelas tiga SMA merupakan masa ketika semua anak sibuk mencari informasi dan mendaftar pada perguruan tinggi yang diminati. Masih saja aku belum menemukan jurusan dan perguruan tinggi apa yang ingin kumasuki sebagai pilihan kedua.

Pelajaran apa selain Matematika dan Bahasa Inggris yang aku suka dan kuasai? Hmm... sudah lama aku tertarik pada bidang komputer, dan suka mengotak-atiknya. Satu hal yang mengganjal mengenai bidang ini: nilai ulangan teori TIK-ku dua tahun di SMA selalu di bawah KKM. Kalau praktik, baru bisa.

Tapi ketika diajar oleh guru yang sama sekali baru di kelas tiga, nilai TIK-ku mulai berubah. Selain PowerPoint, semua materi yang diajarkan pun sama sekali baru buatku, dan ternyata nilai teoriku cukup bagus, bahkan tergolong sangat bagus untukku yang sudah dua tahun terakhir benar-benar parah dalam mapel ini. Akhirnya, aku berani memilih jurusan IT untuk kuliah nanti.

Untuk pilihan kedua perguruan tinggi, aku memilih UGM. Nggak tahu kenapa, tapi aku pengin aja masuk ke sana. Dan sebagai cadangan seandainya tidak diterima di ITB atau UGM, aku ambil Unnes. Cuma gara-gara ibuku dosen di sana aja.

Sekolahku tidak memfasilitasi informasi USM ITB, maka aku mencari sendiri info tersebut. Setelah menemukannya, ngeri juga melihat biaya pendaftaran yang hampir mencapai satu juta. Ternyata ortu mengizinkanku mengikuti USM ITB. Di kolom pilihan jurusan, aku mengisi STEI (Sekolah Teknik Elektro dan Informasi) untuk mengincar jurusan IT sebagai pilihan pertama, FMIPA menjadi pilihan keduasebagai loncatan mengambil Matematika, dan ketiga... dalam kebingungan, aku mengambil FITB (Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian) hanya gara-gara pernah maju olimpiade Kebumian (walaupun nggak menang).

Ketika sekolah memberikan informasi UM UGM dan SPMU (Unnes), aku langsung mendaftar. Aku memprioritaskan Matematika di UGM, berikutnya Ilkom dan TI. Sementara Unnes, aku memilih Pendidikan Matematika dan Sastra Inggris.

Suatu hari, aku sedang membuka FB, seperti biasa. Trus kepikiran... FB tuh buatan Yahudi, ya? Ada nggak sih, jejaring sosial yang Islami? Trus Intel juga, yang menyumbangkan profitnya ke negara Zionis... Jadi pengin bikin saingan produk-produk itu, dan menggunakan profitnya untuk mendukung perjuangan saudara-saudara di Palestina... Dan tiba-tiba saja, keinginan untuk diterima di jurusan IT menguasaiku begitu kuatnya. Membuatku lebih semangat belajar untuk bisa masuk IT-nya ITB. Menggeser keinginanku untuk melanjutkan di jurusan Matematika, meski dari Matematika bisa juga mengkhususkan diri di bidang matematika komputer.

Dalam tryout SNMPTN yang diadakan Ganesha Operation (GO), nilaiku ternyata belum bisa mencapai passing gradejurusan yang kupilih di ITB. Ada seorang teman yang memilih Matematika Undip. Tertera passing grade-nya sekian, tapi dia belum bisa mencapainya. Kulihat kembali skor yang kuperoleh, ternyata nilaiku dapat mencapai passing grade pilihan temanku itu. Gara-gara itu, ibuku menyarankan untuk mengikuti UM Undip. Sedikit ogah-ogahan karena aku sama sekali tak berminat ke Undip. Tapi Ibu terus mendesakku mencoba, dan pada hari terakhir pembayaran, aku kelimpungan mengejar guru BK yang secara kolektif akan membayarkan biaya pendaftaran UM Undip.

Karena emang tak ada niat untuk diterima di Undip, aku mengambil jurusan pun setengah asal-asalan. Apa pun yang berkaitan dengan komputer, itulah pilihanku. Pilihan pertama kuisi Sistem Komputer, pilihan kedua Ilmu Komputer. Aku bahkan tak tahu apa bedanya kedua jurusan itu, yang penting ada komputernya!

Berbeda jauh dengan ujian masuk ITB, UGM, dan UNNES yang aku berusaha semaksimal mungkin untuk meraih hasil yang terbaik, menjelang UM Undip aku tak belajar sama sekali. Aku bahkan tak tahu jadwalnya... maksudnya jam berapa peserta harus datang, jam berapa mulai mengerjakan... Yang kutahu, berangkat jam segini dan kupikir aku telat. Sampai di lokasi ujian aku bahkan masih ngos-ngosan, untungnya belum waktunya peserta masuk ruangan. Mengerjakan soal hanya dengan mengandalkan sisa belajar UM-UM sebelumnya.

Seminggu kemudian, teman-teman sekelasku heboh. Ada apakah gerangan? Oh, ternyata pengumuman UM Undip sudah keluar. Aku malah nggak tahu kapan pengumuman. Sampai di rumah, aku langsung menyalakan komputer, dan... subhanallah, tembus di pilihan pertama: Siskom. Beneran nggak nyangka, dan hasil ini membuatku lebih optimis akan hasil UM-UM yang lain.

Ternyata, namaku sama sekali tidak tercantum dalam daftar mereka yang diterima di UM UGM. Sempat kecewa banget, sampai mencoba memasukkan nomor ujianku berulang kali untuk memastika aku tidak salah ketik atau data yang di-upload belum tuntas, mengingat aku membukanya tepat pukul 00.00 hari pengumuman. Hasilnya sama: namaku tidak ada.

Pengumuman USM ITB dikabarkan akan diumumkan siang, namun di sekolah kedua temanku yang juga mengikuti USM ITB sudah menanyaiku, diikuti teman-teman yang lain. Aku baru tahu kalau hasil USM diumumkan lebih awal. Tak sabar rasanya ingin segera online di rumah, tapi sepulang sekolah itu aku masih ada jadwal liqo'. Untungnya bapakku ada di rumah, aku minta tolong beliau membukakan pengumuman. SMS Bapak memberitahuku bahwa aku diterima di ITB pada pilihan ketiga: Kebumian.

Ada rasa bangga bisa menembus USM ITB, tapi ada juga kecewa karena tidak diterima di STEI atau minimal MIPA. Sedikit minat yang ada terhadap Kebumian sudah beberapa waktu ini hilang tak berbekas. Mengingat harapanku waktu itu, dan fakta bahwa aku sudah diterima di Siskom Undip... Aku bimbang, apa yang harus kupilih?

Dalam kondisi seperti ini, aku pun shalat istikharah. Hasilnya, setelah berunding dengan Ibu, aku akan mencoba SNMPTN ke ITB, sementara itu aku tetap melakukan verifikasi Undip. Dengan pertimbangan, seandainya aku tidak lolos SNMPTN, aku masih punya tempat untuk melanjutkan sekolah sesuai jurusan yang kuminati.

Menjelang waktu verifikasi Undip, Unnes mengumumkan hasil seleksinya. Hampir tak ada perasaan apa pun melihat namaku tercantum di deretan nama yang diterima di Pendidikan Matematika. Dibandingkan Matematika Unnes, aku lebih memilih Siskom Undip. Bukan karena universitasnya, tapi karena jurusannya. Berlalulah proses verifikasi yang melelahkan itu. (Baca pengalamanku verifikasi di http://poenyalielha.multiply.com/journal/item/32)

Selanjutnya, Ibu lagi-lagi mengusulkan aku mencoba. Kali ini ke UI. Aku sendiri sudah capek, dan sama seperti Undip, aku sama sekali tak berminat ke UI, I don't know why. UI gitu loh. Well, sama seperti Undip juga, aku akhirnya mendaftar dengan berat hati. Tahu kenapa? Ibuku bilang gini, "Kalau di UI diterima di jurusan komputer, kan bisa kuliah di sana, Undip boleh dilepas. Kalau nggak diterima, baru nanti ikut SNMPTN ke ITB." Karena memang pengin "kabur" dari Semarang dan sekitarnya, segala upaya kucoba, dan aku setuju usul ini.

SIMAK UI mengizinkan pendaftarnya mengambil sampai 8 jurusan, maka aku mengambil 5: 2 bidang komputer (aku lupa nama jurusannya) dan Matematika untuk kelas reguler,serta Ilmu Komunikasi dan Sastra Arab paralel yang kuambil sekadar untuk mencoba membuktikan bahwa aku bisa diterima di UI. Yang Allah kabulkan adalah doa yang kusebutkan terakhir ini. Nomorku tercantum sebagai pendaftar yang diterima di jurusan Ilmu Komunikasi.

So, aku pun berusaha lagi agar bisa diterima di ITB. Aku baru tahu kalau panitia SNMPTN menetapkan peraturan bahwa salah satu pilihan PT harus berada di wilayah tempat ujian. Demi memilih dua tempat di ITB, aku pun memilih lokasi ujian di Bandung.

Aku sempat berpikir, jangan-jangan ibuku sebenarnya berdoa agar aku tidak kuliah jauh-jauh sehingga perguruan tinggi yang menerimaku sesuai minatku hanyalah Undip (kan doa ibu mustajab). Aku gagal lolos SNMPTN, sempat kecewa berat juga sih.

Tak perlu waktu lama untuk bisa ikhlas menerima takdirku di sini. Toh di mana pun aku berada, bukankah di situ tempatku berdakwah? Aku segera mengurus semua yang kuperlukan untuk belajar di Tembalang. Murobbiku menawarkan seorang kakak kelas SMA untuk mengantarkanku mencari kos, dan aku pun bertemu dengan wisma yang nyaman bernama Tsabita.

Ada enaknya juga sih, kuliah nggak jauh-jauh. Bisa sering pulang (padahal dulu aku pengin kuliah jauh biar nggak bisa pulang) untuk nyuci baju pakai mesin, dan terutama kalau pulang masih bisa mengikuti segala sesuatu yang mendadak dilaksanakan di kampus.

Dan di sinilah aku sekarang. Di sebuah medan juang bernama Jurusan Sistem Komputer, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.

No comments

Powered by Blogger.