Header Ads

"Maha"siswa

MAHASISWA.

Kalau kata itu dipecah, terdiri dari dua kata: maha dan siswa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "maha" diartikan sebagai sangat, amat, teramat. Kata "maha" ditulis sambung dengan kata dasar yang mengikutinya (contoh: mahasiswa), dan ditulis terpisah apabila kata yang mengikutinya telah mendapat imbuhan (contoh: Maha Pengasih).

Ada beberapa kata yang memiliki imbuhan "maha" di depannya. Sebagian disambung dengan sifat Tuhan, di antaranya Mahalembut, Mahabesar, Mahamulia, Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan sebagainya.

Aku jadi teringat seseorang pernah mengatakan, "Kita bukan lagi siswa, kita ini mahasiswa. Selain Tuhan, hanya kita yang memiliki gelar 'maha'." Sengaja kutulis kata "maha" dengan cetakan tebal, karena waktu itu yang mengatakan sangat menekankan pada kata itu.

Urgh! Sombong sekali, desisku waktu itu, meski aku yakin yang mengatakan tidak mendengarnya. Bagaimana tidak, dia seperti menyamakan manusia dengan Tuhan. Nyata sekali bahwa dia kurang memiliki pengetahuan tentang kata lain yang mendapat imbuhan maha yang melekat pada sifat manusia.

Untuk memastikan dugaanku tepat--bahwa selain mahasiswa masih ada sifat manusia lain yang diimbuhi "maha"--aku pun membuka KBBI online. Benarlah, jumlah entri sebagai sifat manusia yang diimbuhi "maha" tidak kalah banyak dengan entri yang menyatakan sifat Tuhan.

Lihat saja, ada kata mahabintang yang berarti orang yang sangat terenal karena prestasinya. Mahadewi yang merupakan sebutan untuk seorang putri atau permaisuri. Mahaduta diartikan sebagai duta besar. Mahaguru bisa diartikan sebagai guru besar, profesor. Mahamenteri yang merupakan ketua menteri. Mahapatih sering kita dengar sebagai patih tertinggi. Maharaja yang menjadi sebutan seorang raja besar. Maharani yang merupakan sebutan untuk raja perempuan.

Bahkan kata "maha" yang diikuti kata benda mati pun ada. Sudah akrab di telinga kita kata "mahakarya" yang berarti karya besar atau karya yang gemilang.

Jadi, kalau seorang mahasiswa merasa dirinya luar biasa hanya karena memiliki kata "maha" di depannya, sombong sekali. Apalagi setelah merasa luar biasa, hal yang bisa dilakukannya adalah tindakan konyol dan kekanak-kanakan.

Masih segar di ingatanku peristiwa yang terjadi dalam salah satu kampanye calon ketua dan wakil ketua BEM Fakultas sekitar seminggu yang lalu. Pada saat sesi tanya-jawab, ada beberapa penanya yang tidak diberikan kesempatan untuk bertanya karena memang waktu yang tersedia sangat singkat. Karena tidak diberi kesempatan bertanya, si calon penanya memutus aliran listrik yang digunakan sebagai energi untuk wireless. Mereka bahkan mengancam tidak akan menyalakan listrik sekalipun untuk kampanye calon presiden dan wakil presiden BEM Universitas setelahnya. Setelah negosiasi dengan panitia, akhirnya mereka bersedia menyalakan listrik kembali dengan syarat sesi tanya-jawab diperpanjang.

Aku merasa setengah geli setengah sebal dengan aksi mereka itu. Bagiku, aksi seperti itu hanya akan dilakukan oleh seorang anak kecil yang permintaannya tidak dituruti. Kalau mereka memang merasa sebagai mahasiswa yang bisa berpikir kritis dan dewasa, seharusnya mereka menerima bila memang waktu tidak memungkinkan mereka untuk bertanya. Atau kalau memang pertanyaan mereka penting, mereka bisa mengajukannya kepada para calon setelah kampanye selesai.

Mengemban kata "maha" di depan nama kita merupakan sebuah tanggung jawab. Kembali ke definisi kata "maha" di atas, mahasiswa dituntut untuk bisa berpikir lebih kritis dibandingkan siswa (tanpa imbuhan "maha"). Bukan untuk menyombongkan diri dengan menyamakan kepada Tuhan, tapi seharusnya kata "maha" yang kita sandang membuat kita mampu menyikapi semua hal yang terjadi di sekitar kita dengan lebih dewasa.

No comments

Powered by Blogger.