[Buatan AI] Perempuan Misterius
Cerita ini merupakan hasil "perbuatan" AI (ChatGPT). Saya hanya memberikan alur besarnya cukup detail, dan AI yang membuatkan naskah lengkapnya. Ada beberapa bagian yang perlu saya minta revisi beberapa kali.
Asyik juga membaca cerpen yang ditulis secara cepat dengan alur yang kita pilih sendiri, hehe. Secara umum, sebenarnya AI hanyalah sarana untuk memantik gagasan dari ide dasar. Kita manusialah yang harusnya memanfaatkan pancingan tersebut untuk berkreasi secara lebih orisinal.
Tapi, berhubung saya sedang kehabisan stok ide, saya meminta AI menuliskannya secara utuh. Jika ada kesempatan, saya ingin mengembangkannya dengan kata-kata yang saya pilih sendiri, tentunya.
Selamat membaca!
Gambar di-generate dari designer.microsoft.com/image-creator |
Bagian 1
Masjid itu kecil, sederhana, tapi selalu penuh kehidupan. Sejak menjadi takmir, aku merasa menemukan rumah kedua di sini. Ada kedamaian yang sulit dijelaskan ketika azan berkumandang dan jamaah berkumpul untuk shalat berjamaah. Namun, beberapa bulan terakhir, ada satu jamaah yang menarik perhatianku lebih dari siapa pun.
Dia selalu datang dengan pakaian yang sama: gamis hitam dan jilbab putih. Wajahnya teduh, pancaran matanya seperti membawa ketenangan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Ketika ia membuka mushaf kecilnya dan mulai melantunkan tilawah Al-Qur’an, suaranya lirih, tapi merasuk. Rasanya seperti mendengarkan bisikan lembut yang mampu mengusir segala keresahan. Kadang, aku memperhatikan caranya membalik halaman mushaf, perlahan-lahan, seakan setiap ayat yang dibacanya adalah harta yang harus dijaga.
Setelah shalat magrib, jika ada jadwal kajian, dia selalu duduk di saf wanita, menyimak dengan khidmat. Tatapannya tertuju pada ustaz yang sedang menyampaikan materi, dan aku bisa merasakan betapa dalam perhatiannya. Setiap gerak-geriknya sederhana, namun ada sesuatu yang memancarkan keanggunan yang sulit kujelaskan.
Kami tidak pernah berinteraksi, kecuali sesekali saat aku mengantarkan snack kecil kepada jamaah peserta kajian. Saat itu pun, pertemuan kami hanya berupa pandangan sekilas dan ucapan pelan, “Terima kasih.” Ucapannya selalu sopan, suaranya terdengar halus, membuatku merasa seperti berhadapan dengan seseorang yang begitu terjaga kepribadiannya.
Namun, di balik kekagumanku, selalu ada rasa penasaran yang tak terjawab. Kenapa dia selalu memakai gamis hitam dan jilbab putih? Apakah itu semacam komitmen pribadi? Atau hanya karena ia menyukai warna-warna itu? Dan, kenapa dia selalu datang ke masjid ini, meskipun ada masjid lain yang lebih besar dan lebih dekat dengan kompleks perumahan di sekitar sini?
Aku tidak pernah tahu jawabannya, dan aku terlalu ragu untuk bertanya. Sebagai takmir, tugasku melayani jamaah, bukan mencari tahu tentang kehidupan pribadi mereka. Tapi semakin sering aku melihatnya, semakin besar rasa ingin tahuku. Dia seperti teka-teki yang tak terpecahkan, meninggalkan jejak di sudut pikiranku setiap kali kulihat gamis hitam itu bergerak perlahan menuju saf wanita.
Bagian 2
Hari itu, seorang ibu yang merupakan jamaah tetap masjid mendatangiku dengan laptop di tangannya.
“Mas Angga,” panggilnya lembut.
“Iya, Bu. Ada apa?”
“Laptop saya bermasalah. Padahal, anak saya butuh untuk belajar. Saya tadi sempat minta Mbaknya itu buat bantu. Dia sudah coba, tapi sepertinya ada kendala. Mungkin Mas bisa bantu lihat?”
Aku melihat ke arah yang ditunjuk si ibu. Ternyata, perempuan itu. Perempuan yang belakangan ini menarik perhatianku. Ia tampak duduk di pojok saf perempuan, menunduk ke layar laptop dengan ekspresi serius.
Aku mendekatinya dengan sedikit ragu. “Permisi,” sapaku.
Perempuan itu mengangkat wajah, tampak sedikit terkejut, namun segera tersenyum tipis.
“Oh. Ada apa, Mas?”
“Bu Ratna bilang laptopnya bermasalah. Saya lihat tadi Mbak sudah coba bantu, tapi katanya masih ada kendala?”
“Iya,” jawabnya sambil menggeser laptop itu ke arahku. “Masalahnya sebenarnya sederhana, cuma saya nggak tahu password Wi-Fi masjid untuk download driver, dan ada komponen hardware yang sepertinya perlu dicek ulang. Saya nggak punya alatnya.”
Aku mengangguk, sedikit kagum dengan caranya menjelaskan. Jarang aku menemukan perempuan yang cukup paham soal IT. “Boleh saya coba?” tanyaku.
“Tentu, Mas. Silakan.”
Kami berdua mulai memeriksa laptop itu. Sambil mengetik dan mengutak-atik, aku sempat bertanya, “Mbak dulu jurusan IT juga?”
Perempuan itu mengangguk sambil tersenyum. “Iya, saya lulusan IT. Tapi sekarang lebih sering pakai buat kerja administrasi, jadi nggak terlalu banyak utak-atik teknis lagi.”
“Wah, sama dong,” jawabku spontan. “Saya juga lulusan IT.”
Percakapan kami berlanjut singkat, tentang kampus dan pengalaman kerja. Aku tahu dia berasal dari kota sebelah dan kini bekerja di daerah sini. Namun, pandanganku tak sengaja tertuju pada sebuah cincin perak yang melingkar di jari manisnya. Hal itu membuatku ragu untuk melanjutkan obrolan lebih jauh.
Setelah beberapa lama, laptop itu akhirnya selesai diperbaiki. “Sudah bisa sekarang. Saya juga sudah install driver yang tadi kurang,” kataku.
“Terima kasih, Mas. Ini sangat membantu,” ujarnya tulus.
Ia mengembalikan laptop itu kepada Bu Ratna, yang berterima kasih dengan wajah lega. Perempuan itu kemudian kembali ke safnya, sementara aku melanjutkan tugas-tugasku sebagai takmir, meski pikiranku sempat teralihkan oleh kejadian tadi.
Bersambung...
No comments