Header Ads

Tour-nate (Bagian 2)

Ke mana pun seseorang pergi, biasanya tak lepas dari jelajah kuliner, terlebih ketika tempat yang dikunjungi memiliki perbedaan budaya yang cukup jauh dengan daerah asal.

Kami pun sama. Saya dan rombongan antusias ketika, pada hari pertama kami menginjak tanah Kota Pala ini, kami diajak keluar oleh tuan rumah untuk menikmati ikan bakar. Meski demikian, kami langsung merasa antiklimaks begitu mobil yang kami tumpangi berhenti di sebuah bagunan yang kesannya modern, dan di pintu masuknya tertulis, "Bakso Lapangan Tembak".

Alasan tuan rumah saat itu, "Takutnya enggak bisa makan yang amis-amis, makanya kami carikan makanan yang familiar saja."

Wah, sebagian besar dari kami ini petualang, lo. Suka mencoba hal-hal baru. Karena itu, pada hari kedua, dua tuan rumah yang menjadi "tour guide" kami membawa kami mencoba beberapa makanan baru.

Pertama, nasi kuning. Saya agak lupa, nasi kuning yang kami cicipi di salah satu kedai itu nasi kuning asli Ternate atau berasal dari Gorontalo. Yang jelas, nasi kuning itu dilengkapi dengan suhun, abon, dan sebutir telur rebus. Oh, iya, ada dagingnya juga, meskipun lagi-lagi saya lupa apakah itu daging sapi, daging ayam, atau daging ikan.

Oh, iya, ada hal unik ketika kami makan di sana. Pedagang nasi kuning itu berulang kali menanyakan sesuatu dengan menyebut kata "leper". Karena ucapannya seperti kata lèpèk atau piring kecil yang sering digunakan jadi alas cangkir dalam bahasa Jawa, kami mengira dia menanyakan, "Apa kalian sudah dapat piring kecil?" Apalagi, kami makan satu piring berdua (sengaja supaya kapasitas perut masih tersisa untuk mencicipi makanan lain setelahnya); siapa tahu penjual itu berinisiatif agar kami membagi makanan dengan piring kecil.

Rupanya, yang dia maksudkan adalah... sendok! Sepertinya dia mengecek apakah sendok yang diberikannya pada kami cukup atau tidak.

Siangnya, kami mampir ke Rumah Makan Ci Yati untuk makan papeda dan beberapa menu ikan.

Di meja, sudah tersedia beberapa mangkuk umbi-umbian (singkong atau ketela, ya?) dan beberapa macam sayur, termasuk tumis pepaya dan terong mentah. Yap, terong ungu mentah disajikan sebagai lalapan. Walaupun anggota rombongan lain tampak bersemangat menikmati sayur-sayur itu, saya menghindarinya. Terong, bagi saya, lebih enak kalau dimasak dulu.

Setelah kami duduk, barulah makanan lain berdatangan. Ada semangkuk bubur papeda, yang cara makannya adalah dengan menggulung-gulungnya dengan sepasang sumpit sampai membentuk gumpalan besar, lalu diletakkan di piring. Supaya tidak lengket di piring, piring itu sebaiknya sudah diisi dengan kuah. Ada dua pilihan kuah, yaitu kuah ikan kuning dan kuah sayur yang agak bening dan tidak amis (terong, sepertinya). Saya pilih kuah kuningnya.

Kata guide kami, menu seperti itu adanya di siang hari. Di malam hari, rumah makan tersebut menyediakan menu ikan bakar.

Sore hari, kami jalan-jalan mandiri tanpa ditemani oleh guide. Kami memilih nongkrong di kedai... Pandara, kalau tidak salah. Menikmati jajanan khas yang cukup unik: pisang yang diiris tipis dan digoreng kering (tanpa tepung) seperti keripik, ditemani sambal colo-colo, ikan teri asin, dan kacang kenari. Lucunya, sambal, ikan teri, dan kacang kenari ini disajikan terpisah.

Cara makannya?

Ada lepek (beneran lepek kalau ini) seperti mangkuk kecil untuk mencampur sambal, ikan teri, dan kacang, lalu cocolkan pisang ke campuran sambal itu. Buat saya, keempat komponen itu memang enak secara terpisah, tapi sepertinya susah disatukan.

Untuk minumannya, kami pilih air guraka. Minuman ini terbuat dari rempah-rempah dan disajikan dengan potongan kacang kenari; mungkin seperti wedang ronde di Jawa. Rasanya agak pedas, tetapi efeknya memang menghangatkan badan. Tak heran bangsa Barat sanggup menjajah tanah kita berlama-lama. Walaupun saya merasa kurang cocok menikmatinya di Ternate yang panasnya luar biasa (buat saya), bagi bangsa dari negara yang punya musim dingin tentulah minuman rempah seperti ini sangat menyenangkan.

Malamnya, rombongan kami mampir di sebuah pasar tradisional. Cari durian, katanya. Sebagai non-penggemar durian, saya hanya memandang berkeliling, takjub dengan suasana pasar itu yang sungguh benderang. Rasanya, jarang melihat pasar tradisional yang aktif sampai malam begini.

Sementara itu, rombongan saya asyik menikmati durian lokal di tempat itu juga. Kata penjualnya, durian Ternate dan Tidore tidak sama.

Apa bedanya?

"Durian Tidore rasanya sudah beda, mungkin karena sudah menyeberangi laut!"

Sebagai oleh-oleh untuk orang-orang terdekat, kami memilih ikan cakalang fufu atau ikan asap di pasar. Perlu pengemasan khusus supaya bau amisnya tidak menyebar ke mana-mana, tetapi tampaknya si penjual sudah terbiasa menghadapi konsumen seperti kami.

2 comments:

Powered by Blogger.