Tour-nate (Bagian 1)
Ternate adalah pulau "besar" ketiga yang saya kunjungi (selain Jawa, tentunya) setelah Bali dan Lombok.
Nama Ternate selalu mengingatkan saya pada pelajaran Sejarah waktu SD. Ternate dan Tidore, dua kerajaan Islam yang namanya nyaris tak terpisahkan dalam pelajaran tersebut. Entah apakah karena ingatan tersebut, kesan pertama saya terhadap Ternate adalah suasana Islami-nya cukup terasa.
Pagi-pagi sekali, kami ingin mengejar pemandangan matahari terbit, mumpung pantai berada di sebelah timur kota. Namun, hari sedang mendung, jadi tidak banyak sinar matahari yang bisa dilihat. Akhirnya kami foto-foto saja di sekitar Pantai Falajawa dan Taman Landmark Kota Ternate.
Yang menarik, terdengar sayup-sayup suara shalawat diputar entah dari mana. Bahwa ada musik di tempat wisata, itu tidak terlalu mengherankan. Namun, pilihan "musik"nya itu, lho, yang bikin saya terkagum-kagum. Alih-alih musik dangdut atau lagu pop, yang digaungkan justru shalawat.
Sorenya, kami nongkrong mencicipi minuman air guraka di salah satu kedai pinggir pantai. Seorang pengamen mendekati kami yang menjadi satu-satunya pengunjung saat itu. Dia menyanyikan lagu pop entah apa, walau nadanya terdengar tidak asing.
Awalnya kami tidak terlalu memperhatikan, tetapi timbul keinginan dari kami untuk menanyai pengamen itu sebelum memberikan uang kepadanya. Saya memintanya menyanyikan lagu khas daerah sana, dan dia tampak bingung.
"Lagu apa, ya?" begitu katanya.
"Apa saja, yang khas Ternate atau berasal dari daerah sini," kata saya, berharap dia akan menyanyikan lagu hiburan Prau Layar kalau di Jawa, atau setidaknya lagu daerah seperti Ayo Mama atau Rasa Sayange.
"Saya tahunya qasidahan," dia menjawab ragu-ragu.
"Boleh," kami semua menyemangati.
Dalam bayangan saya, qasidah itu, ya, seperti yang dinyanyikan Nasida Ria. Setidaknya, masih pakai bahasa Indonesia. Rupanya, dia menyanyikan lagu dalam bahasa daerah yang kata-katanya benar-benar asing. Nadanya pun khas setempat, alih-alih nada Timur Tengah seperti Nasida Ria.
Lagu itu lumayan panjang. Suara pengamen itu membuat suasana sore di pinggir laut terasa syahdu.
Setelah selesai, kami bertanya, "Apa judul lagu itu?"
"Sio Mama. Bercerita tentang seorang anak yang rindu dengan mamanya," terangnya.
Pilihan tema yang menarik, batin saya. Mungkin karena terlalu banyak lagu pop yang mengusung tema roman. Bahkan, lagu Ayo Mama saja terasa sedikit "vulgar" sebagai lagu daerah, kalau dipikir-pikir lagi.
Pengamen itu pergi setelah kami memberinya selembar puluhan ribu.
Kami masih duduk-duduk sampai menjelang magrib. Saat itu, pemilik toko sudah mematikan musik yang tadi disetelnya. Kali ini yang terdengar adalah suara murattal Qur'an.
No comments