Header Ads

Resolusi

Akhir tahun 2023 lalu, orang-orang beramai-ramai membuat resolusi menyambut tahun baru. Ada beberapa tulisan menarik di sosial media, intinya adalah resolusi sebaiknya tak perlu muluk-muluk, sebab kita akan kecewa sendiri jika di akhir tahun tidak mencapainya. Lebih baik, daftar saja langkah-langkah kecil yang ingin kita lakukan selama setahun, sehingga, di akhir tahun nanti, ada milestone yang kita raih.

Saya sendiri bukan orang yang suka membuat resolusi akhir/awal tahun. Akan tetapi, membaca beberapa tulisan tadi, saya menyadari bahwa ternyata saya lebih suka (dan secara tak sadar membuat) "resolusi" Ramadan.

Ramadan sering kali disebut sebagai bulan perbaikan diri. Lihatlah, orang beramai-ramai menampakkan sisi islami masing-masing. Yang tadinya jarang ke masjid, kini lebih rutin ke masjid, walaupun hanya saat tarawih. Yang tadinya tidak berjilbab, kini mulai memanjangkan pakaian dan mengenakan kerudung. Yang tadinya baca Qur’an tak lebih dari satu halaman dalam sehari, kini bisa khatam setidaknya satu kali. Obrolan-obrolan tidak bermanfaat seperti gibah mulai berkurang, walaupun setelah berbuka seolah terlampiaskan. Meski begitu, tampak jelas ada usaha perbaikan ke arah yang lebih baik.

Sayangnya, resolusi itu biasanya hanya bertahan sebulan. Begitu lebaran tiba, semua kembali dimulai dari nol. Bahkan, Ramadan belum selesai saja, saf di masjid mulai maju... alias tinggal beberapa baris saja. Baju kembali tidak dilengkapi kerudung. Mau ngaji jadi malas-malasan lagi. Misuh-misuh? Lanjut! Jadi, sebagaimana resolusi tahunan kita, resolusi Ramadan itu pun tetap wacana.

Tak bisa dimungkiri, suasana Ramadan memang kondusif untuk beribadah dan beramal baik lainnya. Selain bahwa setan dibelenggu, lingkungan kita pun mendukung dengan adanya berbagai semarak Ramadan. Ada pula motivasi besar akan adanya pahala yang dilipatgandakan untuk setiap kebaikan. Sulit menandingi kualitas dan kuantitas ibadah kita selama Ramadan.

Oleh karena itu, menurut Ustaz Salim A. Fillah, tolok ukur keberhasilan Ramadan kita bukanlah kualitas diri saat Syawal dengan Ramadan, tetapi saat Syawal dengan saat Syakban. Jika saat Syakban kita tilawah satu lembar per hari, seharusnya saat Syawal kita bisa tilawah lima lembar per hari. Jika saat Syakban kita hanya ke masjid sepekan sekali, harapannya saat Syawal kita bisa ke masjid setidaknya sekali sehari. Selanjutnya, istikamahkan saja pada 10 bulan selanjutnya hingga bertemu Ramadan lagi.

Ada satu diskusi menarik yang hadir di kotak masuk saya ketika melontarkan pertanyaan ini melalui fitur Story di Instagram: Yang paling penting sebenarnya adalah menghadirkan perasaan senang dengan rutinitas Ramadan, membangun kebiasaan baik ini, hingga kita merasa ada yang hilang jika kita tidak lagi melakukannya setelah Ramadan.

Misalnya, saat Ramadan, kita bisa berpuasa sebulan penuh. Karena sudah terbiasa, seharusnya kita merasa "aneh" jika tidak berpuasa pada Syawal. Salah satu hikmah adanya puasa sunah Syawal selama 6 hari adalah untuk menjaga ritme ibadah kita; walaupun mengalami penurunan kuantitas, tetapi tidak drastis. Dari puasa 30 hari berturut-turut dalam sebulan, lanjut puasa setidaknya 1-2 kali dalam sepekan.

Mungkin, salah satu sebab anjloknya kuantitas amal kita adalah, karena kita pasang target yang bisa jadi tidak realistis bagi diri sendiri selama Ramadan. Saking tingginya, kita hanya seperti kejar target saja tanpa adanya rasa enjoy melaksanakan aktivitas-aktivitas tersebut. Akibatnya, begitu Ramadan usai, kita merasa "bebas" dan sudah "lulus" sehingga tidak merasa perlu melanjutkan kebiasaan baik itu.

Sebagaimana yang saya sebutkan di awal, ada baiknya kita tidak membuat target Ramadan yang terlalu bombastis yang memberatkan diri sendiri. Susun daftar kebaikan apa saja yang ingin kita rutinkan pada Syawal dan 10 bulan lainnya.

Selama Ramadan, mulai biasakan amalan-amalan yang sudah kita catat itu dengan melakukannya secara rutin setiap hari, mungkin dua atau tiga kali lipat lebih banyak daripada yang ingin kita kerjakan di luar Ramadan. Bangun perasaan senang dan nyaman ketika melakukannya; cari tahu bagaimana kita bisa merasakan kenyamanan itu, manfaatkan lingkungan yang mendukung untuk menguji coba fasilitas atau suasana seperti apa yang menjadikan kita bisa menikmati amalan itu.

Nantinya, sejak Idulfitri, rekonstruksi atau duplikasi suasana tersebut sehingga kita bisa mengulang aktivitas Ramadan itu dengan senang hati. Munculkan kenangan-kenangan indah selama Ramadan sehingga ada rasa ingin mengulang keindahan yang membuat kita rindu jika melewatkannya.

Jika Allah izinkan kita berjumpa dengan Rajab dan Syakban selanjutnya, kita evaluasi: milestone apa yang telah kita raih dalam satu tahun tersebut, dan apa lagi yang ingin kita tingkatkan pada Ramadan yang akan datang.

2 comments:

  1. Betul juga. Sering kali waktu Ramadan kejar target, begitu usai semuanya balik awal. Mungkin banget karena hal-hal di atas. Merasa 'sekadar momentum' aja. Jadi pengingat buat saya juga, nih. Terima kasih remindernya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama, Kakak... Semoga ibadah Ramadan itu sampai sekarang masih berbekas, ya...

      Delete

Powered by Blogger.