Petualangan Sherina 2: Dulu dan Kini
Seingat saya, bermula dari aplikasi LINE yang pada 2014 membuat mini drama berdasarkan film Ada Apa dengan Cinta, ada keinginan masyarakat untuk menyaksikan sekuel film-film yang pernah tayang sepuluh hingga puluhan tahun sebelumnya. Ada Apa dengan Cinta 2 memang akhirnya rilis dua tahun setelah versi LINE, walaupun menurut saya, sekuel versi LINE lebih berkesan daripada sekuel resminya.
Sekuel berbagai film lama lain pun bermunculan. Semua menawarkan nostalgia dengan menyasar para penonton lawasnya. Petualangan Sherina, selanjutnya disingkat Petsher, tak mau ketinggalan. Uniknya, Petsher yang dianggap mereformasi tayangan layar lebar di awal 2000-an memproduksi sekuelnya lebih lambat daripada film-film lain yang tayang setelahnya.
Bukan masalah bagi saya, karena Petsher 2 menanggung ekspektasi tersendiri dari penontonnya. Petsher 1 sukses karena menawarkan cerita yang segar, tidak kacangan, dan berbeda dengan film-film lain pada zamannya, bahkan yang tayang dan menjadi populer setelahnya. Penonton tentu mengharapkan alur cerita yang sama uniknya dengan film pertamanya.
Secara keseluruhan, saya tidak dikecewakan. Petsher 2 membawa ide cerita yang unik. Walaupun alur dasarnya masih sama, seputar menghadapi penjahat lalu menang, belum banyak film populer yang mengangkat tema lingkungan dan satwa liar. Ini senilai dengan Petsher 1 yang mengangkat tema agraria dan sedikit pertarungan ekonomi.
Oh ya, saya akan sedikit banyak membandingkan film pertama dan keduanya di resensi ini, karena film kedua ini jelas-jelas merupakan "pengulangan" film pertamanya. Bahkan, lagu-lagu yang dibawakan pun sebagian besarnya merupakan daur ulang dari lagu-lagu pada film pertama.
Bagi penonton-penonton baru, mungkin mereka terheran-heran menyaksikan sebuah film yang isinya nyanyi melulu. Namanya juga film musikal, kata para penggemar Petsher. Meski begitu, sepertinya saya paham kenapa para penonton baru ini merasa kurang sreg dengan banyaknya nyanyian ini.
Pada Petsher 1, para penari latar setiap nyanyian adalah orang-orang yang secara langsung terlibat dalam adegan yang dinyanyikan. Misalnya saja, lagu Jagoan, para penarinya adalah geng baru Sherina versus geng Sadam. Atau, pada lagu Persahabatan, Sherina mengajak semua teman sekelasnya menyanyi dan bahkan ada adegan kecil Sherina seolah meminta izin pada gurunya (Dewi Huges) untuk mengajak teman-temannya keluar dan bernyanyi di halaman. Ada kesan natural dalam setiap koreografinya.
Petsher 2 sepertinya lebih ingin mendekati cerita-cerita musikal Disney. Siapa pun bisa ikut menari. Lagu Nostalgia Bersama dinyanyikan oleh Sherina dan Sadam, dan hanya antara mereka berdua saja. Kendati demikian, para penari latar adalah orang-orang lain yang... who are they? Ngapain mereka ikut nari?
Agak sedikit disayangkan bahwa Sindai (Quinn Salman) tidak kebagian membawakan satu lagu pun, padahal citra Quinn lebih lekat sebagai penyanyi. Saya juga berharap kedua orang tua "fiktif" Sherina (Mathias Muchus dan Uci Nurul) mendapatkan porsi lebih banyak sebagaimana di film pertamanya. Well, tidak sebanyak itu juga, sih, tetapi tetap ada peran mereka di tengah-tengah petualangan. (Ingat debat bisik-bisik antara sepasang orang tua ini soal mau lapor polisi atau tidak?)
Soal tokoh antagonis, jujur saya sedikit merasa antiklimaks. Motif para penjahat ini kayak... yah, gitu doang?
Pada Petsher 1, Kertarajasa (Djaduk Ferianto) hadir sebagai sosok yang ambisius dan memiliki pengaruh kuat di mata publik. Ratih (Isyana Sarasvati) dan Syailendra (Chandra Satria) pada Petsher 2? Pembawaan mereka yang cenderung komikal sepertinya kurang "nyambung" dengan berbagai aksi kriminal yang mereka inisiasi.
Malah, Pingkan (Kelly Tandiono) sepertinya lebih cocok disebut antagonis utamanya. (Btw, Pingkan ini mengingatkan saya pada Chen, pengawal pribadinya Ha Jae Kyung di serial Boys Over Flower, haha!) Mukanya serius, insting jahatnya dapet, dan punya tujuan yang lebih jelas daripada majikannya.
Ini sedikit berkebalikan dengan Petsher 1, yang menokohkan Pak Raden (Butet Kartaredjasa), tangan kanan Kertarajasa dalam eksekusi kejahatannya, lebih komikal daripada atasannya.
Kenapa penulis cerita memilih menjadikan karakter mereka demikian, saya tidak tahu. Mungkin supaya tidak terlalu vulgar dan menjadi "ide" berbuat jahat untuk anak-anak. Atau mungkin juga supaya tidak terkesan mencemarkan nama baik para pejabat negara.
Selain soal paralelisme yang pekat, kesan terkuat yang saya rasakan adalah, Petsher 2 tampaknya agak terjebak antara menjadikan film ini sebagai nostalgia bagi para penonton lawas yang kini sudah tumbuh dewasa, dengan segala dinamikanya, dan menjadikan ini film keluarga yang layak ditonton oleh semua umur, termasuk anak-anak, sebagaimana Petsher 1.
Sudah banyak yang menilai bahwa rating "semua umur" untuk Petsher 2 sebenarnya tidak tepat karena film ini mengandung banyak kekerasan eksplisit seperti adegan baku hantam antara Sherina dan Sadam melawan para tokoh antagonis.
Petsher 2 juga tampaknya ingin sekali menonjolkan sosok Sherina kini sebagai seorang wanita dewasa dengan pesona kecantikannya. Ini terlihat dari adegan imajinatif ketika Sherina dan Sadam terjebak di sebuah gudang, kemudian mereka menyanyikan lagu Mengenang Bintang. Keduanya menari bersama dalam dunia khayal. Sherina tampil seperti seorang balerina; seolah Sherina dalam balutan jins dan kemeja di dunia nyata tidak cukup merepresentasikan keindahan momen tersebut.
Atau, sebenarnya "perjalanan" mereka menuju dunia imajinasi ini merupakan simbol dari kejadian lain pada saat itu?
Hal kedua yang memberi kesan ini pada saya adalah perjalanan persahabatan antara Sherina dan Sadam. Ada satu stereotip bahwa tidak ada persahabatan laki-laki dan perempuan yang murni platonik tanpa romansa, dan tampaknya Petsher 2 bertekad mematahkannya. Ini bisa saja berhasil, kalau saja...
Para pemain menyelesaikan lagu Hari Kita Berdua (gubahan Persahabatan yang juga menutup film Petsher 1), lalu layar menggelap. Saya pikir, cerita sudah berakhir dan layar akan menampilkan credit scene. Ternyata, masih ada adegan Sherina dan Sadam melipir dan saling mendekatkan wajah, tetapi mereka langsung berpaling mendengar seseorang di kejauhan berseru, "Tolong!"
Sahabat macam mana yang mendekatkan wajah sampai sedekat itu seolah hendak berciuman?
Mungkin, ada pengaruh dari film-film populis, terutama film Barat, yang hampir di setiap filmnya menyertakan adegan kissing. Walaupun Petsher 2 memilih bahwa Sherina dan Saddam tidak sampai melakukan itu (mungkin supaya tetap lolos rating "semua umur") dan membiarkan penonton menafsirkan secara bebas, tapi tetap saja ada indikasi ke arah sana.
Belakangan, saya lebih sering menonton film yang didasarkan pada buku. Saya jadi terjebak untuk membandingkan film dengan bukunya. Dalam kasus saya belum pernah baca bukunya, saya merasa ada scene-scene yang terlalu cepat dan membingungkan, yang baru saya pahami setelah kemudian membaca bukunya.
Jadi, menonton Petsher 2 merupakan "istirahat" otak dari overthinking membandingkan antara buku dan film. Tetap saja membandingkan dengan film pertamanya, sih, tapi itu baru setelah saya keluar dari studio. Saya bisa menihilkan ekspektasi ketika menontonnya.
Secara umum, saya cukup menikmatinya, sampai-sampai, berkat miskomunikasi, saya menontonnya dua kali di bioskop (sebagaimana saya dulu juga menonton Petsher 1 dua kali).
Efek visual juga memuaskan. Cara mereka mengambil gambar cukup alami, memperlihatkan keindahan objek-objek khas di latar tempat tanpa terkesan berlebihan. Iklan-iklan produk juga masih dalam level yang bisa diterima.
Musik score paling berkesan buat saya adalah musik di pesta anniversary Ratih dan Syailendra. Keren banget idenya untuk menggubah lagu dari Petsher 1 yang tadinya bernuansa melankolis menjadi musik mengentak yang cocok dijadikan pengiring dansa dan atraksi.
Mau kasih rating berapa untuk film ini?
Hmm... saya kira 8 dari 10. Sepakat?
Jadi kangen Didi Petet |
No comments