Menaati Hasil Musyawarah
Sepekan lalu, dalam salah satu kajian pekanan, saya kembali diingatkan tentang beberapa prinsip dalam musyawarah, yaitu ketaatan, khususnya taat pada hasil musyawarah.
Dalam sebuah kelompok atau perkumpulan, musyawarah menjadi forum utama untuk mengambil keputusan-keputusan penting. Dengan banyaknya kepala dengan berbagai ide dan kepentingan, tentunya tidak semuanya bisa diakomodasi, apalagi jika keputusan itu terkait kemaslahatan bersama.
Dalam sejarah para nabi, kita menjumpai banyak cerita tentang musyawarah.
Saat datang perintah untuk menyembelih putranya, Nabi Ibrahim mengajak putra yang bersangkutan itu bermusyawarah terlebih dahulu. Beruntungnya, anaknya pun adalah anak yang salih, sehingga meneguhkan hati sang ayah untuk menjalankan perintah tersebut.
Pada zaman Nabi Sulaiman, setidaknya dua kisah musyawarah kita dengar. Musyawarah Ratu Saba' (dikenal dengan nama Bilqis) dengan para pembesar negerinya atas surat dari Nabi Sulaiman, dan musyawarah Nabi Sulaiman saat hendak menyambut Bilqis yang akan bertandang ke istananya.
Lebih banyak lagi peristiwa musyawarah yang kita dengar pada shirah Nabi Muhammad saw. Perang Badar. Perang Uhud. Perang Khandaq.
Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah, mereka semua konsekuen dengan keputusan musyawarah tersebut walaupun hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Saat Perang Uhud, misalnya, usulan Rasulullah adalah mereka bertahan di Madinah, tetapi para sahabat, terutama yang tidak berkesempatan mengikuti Perang Badar, menyarankan agar mereka menyongsong musuh di medan Uhud. Kita tahu hasilnya, kaum muslimin mengalami kekalahan. Akan tetapi, hanya Abdullah bin Ubay dan kaum munafik lainnya yang menyesali keputusan maju perang. Menggunakan bahasa gaul sekarang, mungkin kata-kata Abdullah bin Ubay kira-kira begini, "Kan? Dibilang Rasulullah juga apa? Kalian, sih, ngeyel." Padahal, walaupun dirundung kesedihan akibat kesyahidan paman kesayangannya, Hamzah, Rasulullah tak pernah menyalahkan hasil musyawarah.
Pemateri kajian yang saya ikuti saat itu menekankan, kalau sudah diputuskan dalam musyawarah, ya, kita harus taat, apa pun hasil keputusan itu selama tidak melanggar syariat: setidak-suka apa pun kita dengan hasilnya, seyakin apa pun kita dengan dampak negatif atas keputusan itu dan dampak positif yang bisa dihasilkan dengan keputusan alternatifnya.
Beliau mencontohkan, ada suatu acara yang beliau kelola yang rencananya akan diakhiri dengan potong tumpeng. Namun, waktu yang mepet membuat beberapa panitia berseloroh, "Skip aja potong tumpengnya." Mendengar itu, beliau langsung mengambil sikap tegas, "Dari awal kita sudah sepakat akan ada potong tumpeng, maka apa pun yang terjadi, itu akan tetap kita laksanakan."
Beberapa hari setelah mengikuti kajian tersebut, saya bertemu salah seorang sahabat saya waktu di kampus dulu, dan saat ini sama-sama tinggal di Jogja, tetapi sudah hampir setahun kami tidak berjumpa. Karena itu, perbincangan kami didominasi nostalgia masa-masa kuliah dulu.
Satu hal yang sangat membekas bagi kami tentang penggemblengan oleh senior-senior di kampus dulu adalah: silakan berdialog, berargumentasi, bahkan "berantem" (tentu dengan akhlak dan adab yang baik), kalau perlu, dalam forum musyawarah. Selanjutnya, ketika hasil musyawarah sudah "diketok palu", tugas kita adalah TAAT. Jangan ada lagi omongan di belakang, "Seandainya..." atau "Kan, sudah saya bilang..." atau bahkan, "Saya, tuh, sebenarnya mau usul ini, tapi malas saja urun pendapat...."
Seandainya hasil musyawarah itu terbukti salah, mempertahankan kesatuan, persatuan, dan keutuhan komunal jauh lebih utama daripada memenangkan pendapat walaupun itu benar. Kenapa? Salah satunya, dengan keutuhan komunal, kesadaran kolektif yang muncul akan menciptakan kekuatan untuk menangani dampak negatif yang ada. Bayangkan jika setiap orang kukuh dengan pendapat masing-masing, bahkan di luar musyawarah... yang ada justru individu atau sekelompok orang yang saling menyalahkan. Akibatnya? Perpecahan. Menang jadi arang, kalah jadi abu.
Allah lebih menyukai umat yang bersatu padu, bukan bercerai berai.
Lagipula, saat kita bisa mengelola ketidaksetujuan itu dengan baik, bukankah kita sedang belajar tetang keikhlasan, ketundukan, dan kerendahan hati?
No comments