Kenangan Wonosobo dan Foto-Foto Dieng
Rabu lalu, kantor mengadakan perjalanan "dinas" ke Dieng. Orang mungkin bilang ini wisata, tapi sejak awal para pimpinan sudah mengumumkan nama kegiatan: Work from Dieng. Lebih-lebih, semalam sebelum keberangkatan, Bos Besar sudah mengumumkan akan membahas kasus-kasus umum yang ditemukan dalam pekerjaan harian, yang penyelesaiannya tidak perlu dengan membuka laptop, dalam perjalanan.
Untuk mencapai Dieng dari Jogja, rute yang diambil adalah lewat Wonosobo, kota yang tak asing buat saya. Dulunya, hampir setiap lebaran, saya selalu mudik ke kota tersebut. Yah, saya orang Semarang, keturunan orang Wonosobo. Bagi orang Semarang dan Wonosobo, lokasi wisata terdekat ya Jogja. Sebaliknya, destinasi wisata orang Jogja kalau tidak Semarang, ya, Wonosobo. Sejak saya merantau ke Jogja, sudah ada dua kali perjalanan kantor ke Semarang, satu kali perjalanan wisata bersama teman ngaji ke Dieng, sekarang perjalanan bersama kantor lagi ke Dieng lagi.
Sekali-kali, mbok ya jalan-jalan ke Lombok atau Sumatra, kek. Haha.
Bagi rekan-rekan saya, daya tarik perjalanan kali ini memang objek wisata Dieng, yang separonya masuk wilayah Kabupaten Banjarnegara. Akan tetapi, saya lebih tertarik bernostalgia dengan kota Wonosobo. Sudah empat lebaran saya lewatkan tanpa mengunjungi kota kelahiran Bapak. Sekali karena sedang pindah rumah (yang kemudian malah jadi basis mudik kerabat), tahun depannya dan selanjutnya menjumpai masa pandemi.
Rute yang ditempuh oleh rombongan kantor adalah Jogja-Secang-Temanggung-Wonosobo. Begitu memasuki Kertek, Wonosobo setelah lewat Kledung, Temanggung, perhatian saya terfokus untuk mencari satu rumah makan: Gayatri. Dulu, setiap kali perjalanan ke Wonosobo, kami biasa menyempatkan mampir ke rumah makan satu ini.
Setelah melewati Pasar Kertek, perjalanan itu menjadi semacam napak tilas kenangan.
Rumah sakit ini dulu pernah kami singgahi untuk besuk seorang saudara. Kami, saya dan keluarga, mampir ke sana setelah turun dari piknik di Telaga Menjer. Jalan bercabang di titik nol kilometer Wonosobo memisahkan kedua jalur kota, masing-masing jalur searah. Jalur masuk ke kota... dulu kami biasa turun dari kendaraan umum (bus atau travel) beberapa ratus meter setelah titik nol kilometer itu, lalu melanjutkan perjalanan ke rumah Eyang dengan jalan kaki. Agak jauh, memang, tapi seru.
Bus berbelok ke Jalan Ahmad Yani. Kami sekeluarga dulu biasa menyusuri jalan ini, berjalan kaki dari rumah Eyang, pada sore atau malam hari di hari raya. Setelah paginya makan opor, kami memilih mencari kuliner khas kota ini: mi ongklok. Kalau beruntung, ada saja penjaja mi ongklok yang melewati jalan ini.
Tak jauh di depan, ada Plaza Wonosobo persis di sebelah Rita Pasaraya. Waktu saya kecil dulu, Plaza ini salah satu tempat "nongkrong" favorit bersama Bapak dan Ibu (saya masih anak tunggal). Ada kolam di sana, tempat kami biasa melemparkan makanan untuk ikan-ikan yang tinggal di dalamnya.
Pada salah satu lebaran terakhir kami di sana (salah satu yang hanya saya, Bapak, dan satu adik saya yang mudik; bagi-bagi dengan yang stay di Semarang karena ada keluarga lain yang mudik ke Semarang), di sinilah Bapak dan adik saya duduk-duduk menunggu waktu berbuka. Kami baru tiba dari Semarang, dan saya baru ingat tidak membawa peniti. Kedua lelaki itu menunggu di Plaza, saya masuk ke Rita Pasaraya dan berbelanja.
Berikutnya, bus melewati Alun-Alun Wonosobo. Inilah tempat kami biasa shalat Id. Kalau waktu mepet, kami bergiliran dijemput naik motor oleh saudara-saudara. Kalau waktu diperkirakan masih cukup, kami memilih berjalan kaki dari rumah Eyang. Jadi rindu suasana lebaran di sana. Ada banyak pedagang tersebar, dari yang jual mainan sampai makanan. Semasa kecil, beli balon hampir jadi tradisi bagi saya dan saudara-saudara. Kami jaga betul batu kecil yang terikat, supaya balon tidak terbang. Sesampainya di rumah, barulah kadang-kadang batu itu lepas, menyebabkan balon terbang mentok sampai ke langit-langit rumah.
Jalur yang ditempuh tidak melewati jalan menuju rumah Eyang. Sedikit kecewa, sebenarnya, tetapi ada baiknya juga. Melewati jalan-jalan itu membuat air mata mengalir deras, dibangkitkan oleh memori masa lalu. Bagaimana kalau saya harus menapaktilasi pula jalan menuju rumah Eyang? Mungkin saya bisa minta sopir berhenti dan menurunkan saya di sana. Apalagi karena saya menyadari, ini pertama kalinya saya kembali mengunjungi Wonosobo setelah Bapak pergi.
Baiklah, sebaiknya saya mengalihkan perhatian pada dataran tinggi tujuan. Mentafakuri keindahan alam Dieng, mungkin Allah berkenan membasuh duka.
Jadi serasa ikut menelusuri jalan-jalan yang dilewati.... Pemandangannya kelihatan adem sekali. Jadi pengin ke Wonosobo :D
ReplyDeleteYuk, lalu tuliskan di blog, hehe
Delete