Naik Motor
Sampai SMA, saya belum pernah belajar mengendarai motor. Bukannya ogah belajar, tapi motor yang ada di rumah lumayan tinggi buat ukuran tubuh saya yang enggak sampai satu setengah meter. Kendaraan yang bisa saya kendarai cuma sepeda onthel, yang waktu SMA saya gunakan ke sekolah.
Kata orang-orang, asalkan bisa mengendarai sepeda onthel, mengendarai motor matic tidak menjadi masalah. Bedanya cuma bahwa motor tidak perlu dikayuh dan penggeraknya ada di gas di setang.
Saya sempat tidak percaya... sampai semester ketiga kuliah.
Sabtu itu, akan ada acara rohis jurusan untuk maba. Pengurus angkatan saya (saat itu ada di semester tiga) bertugas sebagai panitia. Tepat sehari sebelum acara, kami ada praktikum sampai magrib, padahal tadinya kami berencana mengadakan syura terakhir sore itu.
Menyedihkannya, saya satu-satunya perempuan yang jadi panitia. Normalnya, mbak-mbak senior di wisma pasti tidak akan mengizinkan seorang akhwat syura bareng ikhwan selepas magrib. Berhubung kami masih ada di lingkungan kampus dan baru keluar lab bersama-sama, saya enggak laporan kenapa pulang telat, hehe.
Enggak telat-telat amat, kok. Belum juga jam delapan, syura tersebut selesai.
"Pulangnya gimana, Lil?" tanya ikhwan-ikhwan itu. Bakda magrib, kampus relatif sepi. Jarang mahasiswa melintas. Angkot juga hampir semuanya sudah tidak masuk ke area kampus, sudah berbelok ke wilayah permukiman jauh sebelum gerbang kampus.
"Jalan kaki," jawab saya tanpa beban. Dari kampus ke kos memang bisa ditempuh dengan jalan kaki, saya sudah sering berangkat ke kampus berjalan kaki. Lagipula, siapa tahu ada angkot "kemalaman" yang masih lewat kampus dan sekalian keluar.
"Jangan, lah," komentar salah satu dari mereka. "Naik motor, gih."
"Udah biasa, kali," elak saya.
"Enggak apa-apa, pakai motornya si S aja, yang pendek," usul yang lain.
"Eh, saya enggak bisa naik motor," tolak saya lagi.
"Tapi bisa naik sepeda, kan?"
"Ya... iya, sih..."
"Kalau bisa naik sepeda, naik matic gampang, kok. Tinggal meluncur aja," desak mereka. "Nanti kita bareng-bareng temenin, deh."
Akhirnya saya bersedia dengan satu syarat. Karena posisi parkiran jauh lebih rendah daripada jalan, motor itu mereka keluarkan dulu sampai di tepi trotoar.
Saya bahkan lupa, gimana caranya saya bisa menyalakan mesin motor saat itu. Apakah si pemilik motor yang menyalakannya, lalu memeganginya sedemikian rupa sampai saya naik?
Yang jelas, saya mengendarai motor tidak dengan meletakkan kaki di pijakan motor (padahal pijakan motor matic cukup lebar), tetapi meluruskannya sampai nyaris menyentuh jalan! Haha. Buat jaga-jaga kalau kehilangan keseimbangan sih. Meski biasa mengendarai sepeda, tapi, kan, sepeda itu ringan, ya? Bandingkan saja dengan berat motor!
Jadilah saya naik motor sepanjang jalan dengan kaki mengangkang dikawal ikhwan yang jumlahnya paling sedikit tiga. Setidaknya, ada satu jalan sebelum gerbang kampus yang agak menurun, jadi saya tidak menekan gas sama sekali.
Namun, begitu keluar gerbang, mereka terheran-heran karena saya belok kiri ke sebuah gang. Saya memilih jalan pintas ini, soalnya jalan utamanya kembali menanjak, dan saya tidak berani menanjak! Kampus Tembalang Undip ini memang konturnya bukit-bukit, banyak kenaikan dan keturunan... eh, tanjakan dan turunan.
Di ujung gang, saya berhenti dan turun.
"Sampai sini aja, ya," ucap saya pada para "pengawal" saya itu.
"Lo, enggak sekalian sampai wisma?"
"Jalan kaki juga dekat dari sini," kata saya, dan memang demikian adanya. Toh, wilayah itu cukup ramai. Alasan lainnya, kos saya letaknya di kanan jalan, dan saya takut mengendarai dengan menyeberang, haha.
Sudah, deh. Itu salah satu pengalaman paling memalukan... tetapi menyimpan pelajaran. Kali lain saya ketemu sepeda motor, saya sudah tidak setakut itu mengendarainya, walaupun memang masih gagap.
waaaahh salah satu funfact hidupmu ya inii 🤩😄
ReplyDeleteku udah pernah cerita ini belum sih? haha
Deletekalah sama racer smansa lah pokoknya, wkwk
Keberanian untuk memulai. Patut diapresiasi mba🤓
ReplyDeletekudu dipaksa keadaan, biasanya akhirnya bisa, haha
Delete