Insyaallah
Ada satu cerita menarik dalam Surah Alkahfi. Ayat 23 dan 24 dari surah yang rutin kita baca tiap Jumat ini berisi teguran Allah kepada Nabi Muhammad saw. Menurut riwayat, beberapa orang Quraisy mendatangi Rasulullah saw. dan bertanya tentang ruh, kisah Ashabulkahfi, dan kisah Dzulqarnain. Rasulullah saw. menjawab, "Aku akan menjawab pertanyaan kalian besok." Keesokan harinya, wahyu "terlambat" datang sehingga beliau belum bisa menjawab pertanyaan tersebut, membuat kaum kafir Quraisy mengolok-olok beliau. Turunlah ayat berikut.
Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, "Sesungguhnya kau akan mengerjakan itu besok pagi," kecuali (dengan menyebut) "insyaallah". Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah, "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberi petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini."
Ayat tersebut merupakan perintah bagi kita, kaum muslimin, untuk mengucapkan "insyaallah" setiap kali berjanji untuk sesuatu yang akan datang. Ibarat kata, kita, kan, tidak tahu apakah kita besok bisa memenuhi janji tersebut atau tidak, maka kita menyandarkan penepatan janji itu pada ketentuan Allah pula.
Masalahnya, sering kali kita berlindung di balik kata "insyaallah" ini untuk menghindari komitmen dalam perjanjian. Misalnya, nih, kita diminta menghadiri suatu acara, sedangkan dalam hati kita masih ragu-ragu mau datang atau tidak, lalu kita bilang, "Insyaallah, deh, ya." Kita sendiri sudah "merencanakan", kalau kita datang berarti menepati janji, kalau tidak datang, kita ngeles, "Kan, aku bilangnya 'insyaallah'."
Ini yang membuat orang-orang jadi tidak percaya pada lafal insyaallah. "Yang pasti, dong, ya atau tidak, jangan 'insyaallah'," demikian biasa kita dengar.
Seandainya kita tahu, ucapan "insyaallah" itu berarti kita mengusahakan segenap kemampuan kita untuk bisa memenuhi janji itu. Perkara-perkara yang bisa "membatalkan" janji itu hanya datang dari sesuatu di luar kuasa kita. Misalnya, kita sudah mau berangkat ke tempat acara, lalu qadarullah jalanan macet parah yang membuat kita terlambat jauh dari perkiraan.
Di sisi lain, kalau kita sudah tahu jalan yang akan kita lalui biasa macet, itu berarti kemacetan sudah bisa diprediksi. Itu berarti, seharusnya kita berangkat jauh sebelum waktu yang ditentukan. Kalau macetnya memang di luar perkiraan, setidaknya kita bisa mengabari orang yang mengundang kita. Zaman sudah canggih, kan? Hampir setiap orang punya smartphone atau minimal ponsel biasa, saya kira. Beda lagi kalau ternyata tidak ada sinyal atau baterai habis; nah, itu berarti memang usaha kita sudah mentok dan tinggal tawakal. Inilah yang dimaksud dalam lafal "insyaallah" sesungguhnya.
Kalau kita memang tidak yakin bisa memenuhi sesuatu, ya, sampaikan saja sejujurnya. Tak perlu memberi harapan palsu dengan lafal tersebut.
Hanya saja, itu bukan berarti kita menjadi pengecut yang menghindar dari berjanji. Itu bisa jadi ujian atas komitmen kita. Inilah saatnya kita menjalankan ayat lain, "Apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah."
Belajar lagi makna dari kata insya allah. Masya allah, mantap
ReplyDeleteBiar enggak jadi PHP ðŸ¤
Delete