Amigos X Siempre: Nilai versus Cara
Sumber Gambar: Instagram @dragolockisubs |
Beberapa bulan lalu saya pernah menulis sedikit tentang kesan saya saat menonton ulang telenovela Amigos X Siempre. Waktu itu, saya mengangkat satu adegan yang berkaitan dengan isu sex by consent yang juga merupakan jalan cerita dari telenovela tersebut, walaupun belum menontonnya sampai selesai. Kali ini, lama setelah saya akhirnya selesai menonton tiap episodenya, saya ingin mengulas lebih banyak tentang tontonan masa kecil kita (paling tidak, saya, deh, hehe) ini.
Oh, iya, sebelumnya, saya perlu menyampaikan apa yang lupa saya tulis di catatan sebelumnya. Saya menontonnya melalui situs dragolockisubs.com, yang menerjemahkan dan menambahkan subtitle bahasa Indonesia ke dalam klip-klip telenovela tersebut. Jadi, beberapa kutipan dialog yang akan saya sampaikan di sini didasarkan pada terjemahan yang ada di situs tersebut, ya.
Seperti yang saya sampaikan pada tulisan sebelumnya, semasa kecil, saya dan sebagian besar penonton (berdasarkan komentar-komentar yang saya baca di media sosial) lebih fokus pada cerita aktivitas harian para tokoh, interaksi mereka dalam berhubungan sosial (baca: soal pertemanan atau siapa berpasangan dengan siapa), dan perseteruan antara tokoh protagonis dengan antagonis.
Baru setelah menonton ulang sebagai orang dewasa, saya dan para penonton nostalgic ini menangkap pesan besar yang ingin disampaikan penulis cerita, yaitu kesehatan mental. Ini terlihat jelas pada tokoh Ana, yang awalnya sangat rendah diri dan terus menerus bersedih akibat trauma oleh kematian ibunya, tertekan oleh ayah dan para gurunya (termasuk staf) di sekolah yang menginginkan kesempurnaan disiplin dan akademis di sekolahnya sehingga demikian abusif, dan hampir tidak punya teman selain Lourdes.
Lourdes sendiri mempunyai seorang adik bernama Carlitos, yang mengalami down syndrome sehingga harus belajar di sekolah khusus dan cukup tertekan akibat beberapa pertengkaran kedua orang tuanya. Dalam salah satu episode, para siswi diminta membuat tulisan untuk mading, dan Lourdes mengumpulkan tulisan tentang down syndrome berdasarkan pengalaman adiknya.
(Dalam klip yang saya tonton, sebelum jeda iklan biasanya ada pesan-pesan tertentu yang disampaikan oleh beberapa tokohnya. Sayangnya, Dragolocki tidak memberikan subtitle untuk pesan ini sehingga saya tidak paham isinya. Akan tetapi, dari logo UNICEF yang kadang menyertai pesan ini, seringkali bersama pemeran Carlitos dan si tokoh ibu, saya berasumsi telenovela ini bekerja sama dengan UNICEF untuk berkampanye soal kesehatan mental, khususnya terkait anak-anak dengan down syndrome ini.)
Ada juga sepasang kakak beradik Gilberto dan Renata, yang berada di tingkat yang sama. Renata salah satu murid dengan nilai akademis terbaik, sedangkan Gilberto mengalami disleksia yang membuatnya gagap dan sangat ketinggalan di kelasnya. Sayangnya, mereka memiliki orang tua yang sangat bertolak belakang. Ayah mereka sangat menjunjung tinggi anak laki-laki sebagai penerus dirinya, sehingga memberikan tuntutan tinggi pada Gilberto. Di sisi lain, Renata berusaha keras memenuhi sehala standar yang ayahnya itu inginkan pada Gilberto, tetapi kecerdasan Renata itu tak berarti apa-apa bagi ayahnya, yang menganggap anak perempuan hanya akan menjadi ibu rumah tangga yang menghiasi rumah dan melakukan aktivitas-aktivitas sosial (lebih seperti sosialita). Ibu mereka bersifat kekanak-kanakan, hanya mementingkan penampilan dan kemewahan dirinya, dan tidak terlalu memperhatikan hasrat anak-anaknya.
Kehidupan mereka semua berubah sejak kedatangan Salvador, paman Ana, bersama putra angkatnya, Pedro. Lama tinggal di Amerika dengan segala kebebasannya, mereka menganggap sekolah yang dikepalai oleh ayah Salvadol, Julia Vidal, sebagai kungkungan, salah satunya adalah bagaimana Neftali, kepala kedisiplinan sekolah, memberikan hukuman-hukuman sadis di luar nalar kepada para siswa.
Salvador kemudian memulai sebuah misi untuk mengubah sekolah itu menjadi lebih "manusiawi". Setelah Pedro mulai membebaskan Ana dari kungkungan kesedihannya, kedua anak ini menjadi agen utama misi Salvador. Jargon yang mereka bawa tidak main-main: libertad, alias kebebasan.
Perubahan dasar yang dilakukan Salvador adalah mengubah sistem pembelajaran, menjadikannya berbasis pemahaman. Salvador sempat menguji Renata dengan sebuah definisi, yang ketika satu istilah dalam definisi itu ditanyakan artinya, Renata mengaku tidak tahu karena hanya menghafal definisi itu dari buku. Salvador pun mengatur beberapa kunjungan siswa ke museum atau stasiun radio supaya siswa-siswi belajar langsung di lapangan.
Salvador juga mencoba menyelami kepribadian setiap anak sehingga bisa menangani mereka sesuai permasalahan yang dialami masing-masing. Pada Gilberto, misalnya, Salvador mengidentifikasi bahwa kegagapan dan rendahnya nilai akademisnya adalah karena disleksia dan kurangnya kepercayaan diri. Setelah diyakinkan akan kemampuannya, Gilberto pun sempat melesatkan prestasinya dan menghilangkan kegagapannya, sebelum akhirnya kembali ke kondisi semula akibat peristiwa traumatis yang mengguncang jiwanya.
Meski begitu, satu hal yang menjadi perhatian utama saya adalah, hampir dalam setiap film (juga buku atau karya lainnya) yang mengusung tema kebebasan sepertinya menganggap bebas, ya, bebas. Sesuka hati. Tidak terlalu banyak aturan. Seolah tidak ada perbedaan antara kebebasan pada metode atau cara dengan kebebasan pada nilai.
Ini juga berlaku pada telenovela Amigos.
Sekolah Vidal tadinya memiliki dekalog atau terjemahan bebasnya adalah 10 karakter yang diharapkan dari siswa-siswinya. Sebelum kedatangan Salvador, mereka wajib merapal kesepuluh nilai itu setiap apel pagi, adegan yang ditangkap penonton sebagai aktivitas yang membosankan dan monoton bagi para siswa. Terlebih lagi, Neftali sempat menggaungkan nilai tersebut melalui pengeras suara yang dipasang di berbagai sudut sekolah tiap jam istirahat. Namun, ketika menjadi kepala sekolah, Salvador seolah hendak menghapuskan kesepuluh nilai tadi dan mengajak para siswa untuk merevisi 10 nilai tersebut.
Apakah 10 nilai tersebut buruk? Saya kira tidak. Itu adalah nilai umum yang berlaku di hampir semua tempat, misalnya tentang kejujuran, kedisiplinan, kehormatan, dan sebagainya. Alih-alih merombak nilai tersebut, kenapa tidak mengubah cara penyampaiannya saja? Dengan permainan atau studi kasus, misalnya.
Di lain waktu, ada adegan paling lucu ketika anak-anak saling kirim salam lewat radio. Awalnya, ini digunakan salah satu anak untuk mengungkapkan perasaannya pada orang yang disukainya, tetapi rencana ini didengar oleh anak lain yang tahu bahwa si calon penerima salam ini sudah menyukai orang lain. Berbagai salam "palsu" disampaikan oleh anak-anak itu via radio, sampai-sampai si penyiar radio menyebar gosip baru soal hubungan asmara mereka.
Tentunya, hal ini membuat kelabakan para guru. Kepala sekolah Julia Vidal setuju bahwa tindakan yang diberikan pada para murid yang terlibat ini diserahkan pada pimpinan masing-masing zona: Salvador untuk anak perempuan, Fransisco untuk anak laki-laki.
Fransisco, yang digambarkan sebagai tokoh antagonis yang kejam, memarahi para siswa laki-laki dengan kata-kata berikut.
Peraturan Institut menjelaskan jarak yang harus dijaga antara laki-laki dan perempuan. Kalian mengejek peraturan dengan bermain pacaran seperti orang bodoh. Kalian akan punya waktu saat kalian lulus SMA dan menjadi dewasa untuk bersenang-senang dengan wanita. Tapi sekarang di sini, itu benar-benar dilarang.
Sementara itu, Salvador menganggap bahwa kelakuan anak-anak tersebut terjadi karena tidak adanya kebebasan para siswa untuk menyampaikan apa saja yang ada di pikirannya. Karena itu, di kelas anak-anak perempuan, berlangsunglah percakapan berikut.
Lourdes: Apakah kita dilarang kalau kita menyukai anak laki-laki?
Salvador: Tidak, Lourdes. Tentu saja tidak, itu sangat normal. Yang dilarang adalah kalian mengirim pesan dan saling menuduh atau mengejek perasaan teman kalian yang menyukai seorang anak laki-laki.
Patricia: Kalau seorang perempuan menyukai seorang laki-laki, apakah salah untuk memberi tahunya?
Salvador: Tidak. Itu tidak apa-apa. Dengar, kalian sudah berada pada umur untuk memikirkan anak laki-laki. Satu hari, yang terjadi, kalian menyukai seseorang. Di hari lain, kalian mempunyai keberanian. Hal yang sama terjadi pada anak laki-laki terhadap kalian, jangan khawatir. Jangan takut untuk merasakan hal-hal itu. Itu normal. Itu adalah hidup.
Mungkin saya memandangnya dengan kacamata Islam yang memiliki aturan khusus tentang interaksi antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, di sisi lain, interaksi laki-laki dan perempuan ini juga banyak diatur dalam berbagai sekolah di Barat, terutama yang berbasis agama. Ada sekolah-sekolah yang memang memisahkan laki-laki dan perempuan, bahkan ada juga sekolah yang mengkhususkan diri sebagai sekolah laki-laki atau sekolah perempuan. Artinya, jarak antara laki-laki dan perempuan sebenarnya bukan hal asing bagi standar Barat; bisa dibilang itu adalah nilai yang juga diyakini banyak kalangan di Barat sebagai standar kesopanan.
Untuk ukuran Barat, apa yang disampaikan Fransisco sebenarnya adalah hal yang wajar (dan benar). Sekolah, ya, sekolah; punya aturan yang harus ditaati. Fokus sekolah adalah belajar, bukan pacaran. Kalau mau pacaran, ya, nanti, kalau para siswa sudah lebih dewasa. Cuma, cara penyampaiannya memang bisa diperdebatkan.
Pendekatan yang dilakukan Salvador awalnya baik, yaitu mengonfirmasi perasaan anak-anak, bahwa menyukai lawan jenis itu normal sebagai manusia. Masalahnya, para siswa itu masih kelas 6 SD, lo. Masih anak-anak untuk ukuran Barat (yang biasanya menganggap seseorang baru akil balig di usia 17 atau 18). Bagaimana mungkin anak-anak dimotivasi untuk menyampaikan saja perasaannya pada lawan jenis?
Saya sendiri memilih mengombinasikan pendekatan Salvador dengan nilai yang diusung Fransisco. Misalnya, "Bukan hal yang salah jika kalian menyukai lawan jenis. Itu normal. Namun, belum saatnya kalian terlena dengan perasaan tersebut. Akan ada masanya ketika kalian bisa memulai hubungan dengan lawan jenis. Nah, kalian pun tak perlu mengejek teman kalian yang menyukai lawan jenis."
Lebih enak, kan? Norma yang berlaku (atau diharapkan) masyarakat saat itu dapat, metode penyampaiannya juga tepat. Mengapa nilai dan cara ini harus selalu dipertentangkan?
Soal batasan interaksi antara laki-laki dan perempuan ini tidak berhenti sampai di situ. Para guru sempat meminta anak-anak merobek buku IPA mereka yang menggambarkan bentuk tubuh manusia. Mereka menganggapnya sebagai bagian dari pornografi yang berperan dalam pola pergaulan bebas antara siswa dan siswi. Tentu saja, Salvador hadir untuk menentang tindakan para guru, beralasan bahwa itu adalah bagian dari ilmu yang ditulis oleh ahlinya.
Di sini, saya menangkap bahwa lagi-lagi Salvador gagal memahami pokok permasalahan yang diresahkan para guru dan memberikan solusi yang tidak menyelesaikan persoalan. Benar, kondisi tubuh manusia adalah ilmu, dan merobek buku sedikit adalah tindakan yang kurang tepat. Lalu, bagaimana dengan kegelisahan para guru soal pornografi dan pergaulan bebas? Salvador malah semakin mengabaikan nilai yang satu ini dengan mencampur kelas laki-laki dan perempuan serta menghancurkan tembok sekolah yang memisahkan zona laki-laki dan perempuan.
Itu berarti, yang dilakukan Salvador bukan hanya mengkritisi metode pengajaran yang ada, tetapi juga mengubah semua nilai yang sudah diyakini dan berlaku.
Perubahan lain yang dilakukan Salvador tetapi menurut saya tidak perlu yang adalah penghapusan total seragam. Saya mikirnya kayak... ya, ngapain, gitu? Apakah dengan berpakaian seragam seseorang jadi tidak berpikiran terbuka? Tidak bisa mengekspresikan dirinya? Kan bisa saja pakaian seragam tetap ada, tapi siswa perempuan boleh mengatur rambutnya sesuai keinginannya, tidak lagi harus dikucir tinggi dan diberi bandana. Dengan penghapusan total seragam, model pakaian yang dipilih Ana, bagi saya, malah tampak seperti pakaian anak-anak berandalan yang sempat mereka lawan karena misi balas dendam Neftali.
Dari semua itu, saya mendapat kesan bahwa perubahan yang ingin diinginkan Salvador sekadar "yang penting beda" dari kondisi sebelumnya. Dia seolah menganggap apa saja yang ada di sekolah itu sebelum kedatangannya adalah buruk, dan semua yang dibawanya adalah yang baik.
Karakter Salvador ini bisa jadi merupakan representasi dari banyak kalangan saat ini yang "merasa keren" dengan mendobrak berbagai nilai dan hukum yang ada: menganggap semua hukum itu kolot, tidak relevan dengan perubahan zaman; lalu membawa cerita tentang penerapan kejam norma tersebut yang dianggap pemaksaan. Masalahnya hanyalah soal cara penyampaian dan penerapan yang tidak tepat saja, tetapi nilainya yang malah dianggap salah.
Ada kalanya nilai dan norma perlu disesuaikan dengan kehidupan modern, tetapi banyak pula nilai yang seharusnya baku dari masa ke masa dan berlaku universal jika tidak ingin dunia menjadi kacau balau. Kita dipaksa berpikir bahwa cara penyampaian dan penerapan yang salah berarti nilai itu juga salah, padahal, kan, tidak. Tinggal perbaiki saja cara penerapannya, kan?
Tidak seperti film atau serial lain yang bisa saya tonton berulang kali, hanya sekali saya menonton Amigos dari awal sampai akhir (kecuali beberapa episode ketika saya menuliskan resensi ini sebagai data pendukung saja). Secara umum, temanya memang agak berat, apalagi pangsa pasarnya adalah anak-anak usia SD, tapi lebih cocok untuk remaja dan yang lebih dewasa.
Ada beberapa hal yang membuat saya merasa cukup menontonnya sekali saja. Pertama, banyak adegan mistisnya. Ini membuat saya agak bingung dengan bentuk cerita ini: realitas atau fantasi? Bahwa Ana bisa menggerakkan benda-benda hanya dengan memandangnya, mungkin ini bisa diterima sebagai salah satu keistimewaannya. Akan tetapi, bagaimana dengan pengasuh Santiago yang punya kemampuan meramal dengan kartu tarot? Bagaimana dengan patung kodok yang membawa sial bagi siapa pun yang memindahkannya dari gua tempatnya berada? Satu orang dengan keistimewaan masih wajar bagi cerita realistis, tapi kalau jadi banyak hal supranatural, apa bukan jadi cerita fantasi atau mistis?
Kedua, beberapa plot diceritakan terlalu panjang sampai bertele-tele. Kisah para tokoh utama ini terdampar di hutan setelah kecelakaan pesawat memakan terlalu banyak episode. Perseteruan antara Salvador dengan Fransisco memperebutkan kedudukan direktur sekolah juga mbulet, bolak-balik aja masalahnya di situ. Khas opera sabun, eh?
Ketiga, mungkin ini ada pengaruhnya dengan telenovela lain yang saya tonton sebelumnya, yaitu Carita de Angel. Entah kenapa, saat kemudian menonton Amigos ini, cara bicara para pemerannya terdengar kaku, berat... tidak seluwes pemeran Carita de Angel, padahal sama-sama produksi Meksiko. Cara bicara yang lebih enak didengar adalah tokoh Julia Vidal, Crispin, dan Maximo: tokoh-tokoh orang sepuh, haha. Mungkin karena orang sepuh yang memerankan juga pemain senior, ya?
Saya biasanya menikmati lagu-lagu soundtrack atau musik latar (scores) film atau serial yang saya tonton, bahkan kadang saya lebih gigih berburu dan mendengarkan musik-musik pendukung ini daripada filmnya. Beberapa lagu di Amigos memang enak didengar, tetapi banyak juga soundtrack yang bukan selera saya. Favorit saya adalah Mi Ángel de Amor yang menekankan kasih ibu kepada anaknya. Scores lain susah dicari versi originalnya; yang tersebar di internet hanya lagu-lagu berlirik.
Mendengarkan lagu utama yang berjudul Amigos X Siempre secara terpisah mengingatkan saya pada masa telenovela ini tayang di televisi, pukul dua siang kalau tidak salah, lalu sorenya saya berangkat ke sekolah untuk ikut ekskul drum band. Mendengarkan lagu tersebut sebagai pembuka setiap episode saat dewasa ini, rasanya malah kepikiran beratnya alur cerita yang ada.
Overall, saya memberi penilaian untuk telenovela ini 5 dari 10. Recommended buat yang ingin sekadar nostalgia.
Ternyata ada balutan pesannya, ya, sampai ngegandeng UNICEF. Dulu saya kira ini cuma serial 'klasik' anak-anak. Mungkin karena waktu nonton juga masih anak-anak, jadi belum paham :D
ReplyDeleteHampir semua cerita anak kalau dipikir-pikir, sebenarnya menyisipkan pesan-pesan tertentu untuk orang dewasa 😃
Delete