Revisiting Jakarta (2): Meeting You
Ketika rencana ke Jakarta hampir pasti, gw bikin woro-woro lewat status WA, mengumumkan rencana gw ke Jakarta dan berharap bisa bertemu beberapa kawan di sana. Ada beberapa orang tertentu yang gw harap notice kode gw tersebut.
Siapa lagi yang paling gercep membalasnya kecuali dua orang kesayangan gw itu? U&I. Bukan Upin dan Ipin, ya, wkwkwk; UmmiL dan Iip. Jauh-jauh hari mereka udah nge-book jadwal, walaupun keberangkatan gw sendiri belum bisa dipastikan tanggalnya.
Awalnya mereka ngundang gw ke rumah mereka, tapi setelah diskusi lebih jauh, kayaknya lebih enak kalau ketemuan bertiga sekalian, ya? Kami janjian di Lapangan Banteng, yang lokasinya tak jauh dari Monas dan Masjid Istiqlal, pukul sepuluh pagi.
Jadi, gw tiba di rumah sodara gw di Depok jam 7, dan cuma punya kira-kira sejam buat istirahat dan bersiap-siap. Dengan rekor UmmiL yang bukan cuma on-time tapi always in-time (janjian jam 10, bisa-bisa dia udah di lokasi sejak jam 9), enggak mungkin gw ngaret, kan?
Saking in-time-nya dia, gw sempat enggak percaya dia bilang belum mandi jam 8. Itu juga karena Iip memulai serangan fajar dengan mengumumkan, "Otw," jam 7.47.
Jika berasumsi dia bukan sedang melebih-lebihkan, gw masih punya harapan, nih, buat ngalahin dia kali ini dan tiba lebih dulu... atau setidaknya nomor dua setelah Iip. Sekali-sekali, lah, dia dateng paling telat, wkwkwk. Gw buru-buru mandi dan cabut dari rumah sodara sebelum jam 9.
Dalam perjalanan gw menuju stasiun UI, si UmmiL melaporkan secara aktual, "Baru sampe Depok," lengkap dengan foto pasukannya di bawah papan penanda lokasi stasiun.
"Buruan, Bang," kejar gw ke driver, tapi cuma dalam hati.
Tepat ketika gw tiba di stasiun, gw melihat ada kereta di jalur yang menuju Jakarta. Gw berharap itu kereta berhenti sedemikian rupa sehingga ekor kereta tidak menghalangi jalur penyeberangan antarperon, tetapi gagal. Karena kereta berhenti dengan menghalangi lintasan penyeberangan, para petugas stasiun berjaga di gate supaya jangan ada orang yang melewati rel pada saat itu.
Hadeuh, apa jadinya kalau gw nekat loncat ke salah satu pintu kereta, ya? Wkwkwk. Jadi film action nanti. Itu juga gw ketahan tinggi pintu kereta yang tidak mendukung tinggi badan gw.
Setelah kereta itu berangkat, gw dan para calon penumpang arah Jakarta lainnya akhirnya bisa menyeberang.
Tak lama UmmiL kembali update posisi, "Lagi mau ke Depok Baru."
Kalau lihat live tracking posisi KRL di aplikasi, kayaknya kita bakal sekereta, nih.
Saat kereta berikutnya tiba, gw berusaha memindai melalui tiap jendela, kalau-kalau bisa lihat rombongannya UmmiL. Gagal. Karena posisi gw ada di paling ujung stasiun, gw masuk ke gerbong wanita paling belakang, gerbong yang konon menjadi panggung pertunjukan naluri pertahanan diri wanita.
Gerbong itu lumayan penuh. Sempat heran juga gw, karena 6 tahun lalu waktu gw ngebolang di Jakarta saat weekend, gerbongnya kosong. Meski begitu, menurut UmmiL yang mengaku ada di gerbong 5, lewat Manggarai nanti kereta udah lebih sepi.
Gagal, deh, misi ngeduluin UmmiL sampai di tempat tujuan duluan. Malah bisa dibilang gw tetep aja dateng paling "akhir", hanya ketinggalan 3 gerbong dari dia. Wkwkwk.
Benar kata UmmiL, di Manggarai banyak orang turun. Walaupun masih penuh, tapi udah lebih sepilah, ya. Gw memanfaatkan ini buat menyusuri gerbong, mencari gerbong 5.
Gw bisa melintasi 2 gerbong, tapi sampai di sana mentok. Isinya agak padat, mana banyak lakinya. Untung, di Cikini sebagian penumpang gerbong tersebut turun lagi, jadi gw bisa lanjut ke gerbong selanjutnya, yang dari pintunya udah kelihatan rombongan si UmmiL di ujung satunya.
Finally, for the first time in 3 years, I met them!
Ada si kembar Eleanors yang bajunya juga kembaran, bikin gw hampir enggak bisa bedain, apalagi mereka pakai masker. Akhirnya gw bedain dari posisi bandul di tasnya: yang satu ada di kiri, yang satu di kanan (walaupun sekarang gw lupa, siapa yang bandul tasnya di mana, haha). Ada baby Elyash di gendongan emaknya. Plus bapaknya juga, tentunya.
Sementara itu, Iip melaporkan bahwa dia dan keluarganya udah ada di lokasi, dengan gambar pendukung si Hamzah yang lagi naik odong-odong.
Rombongan UmmiL plus gw turun di Stasiun Juanda dan menuju Lapangan Banteng dengan... jalan kaki!
Tadinya, gw pengin naik kendaraan sampai ke sana. Tapi, ya... masa gw kalah sama bocah yang baru sekolah, plus seorang emak yang gendong bayi? Jompo amat, gw!
Bukan cuma jauhnya, sih, cuma gw rada bingung sama rute Jakarta gitu, kan. Mana beberapa kali nyeberang jalan raya; ini yang bikin gw deg-degan. Tapi bersama mereka... okelah, gw kuatkan langkah.
Saat itu gw akhirnya membuktikan selorohan bahwa di Indonesia enggak butuh pelican crossing, tapi cukup dengan mengangkat tangan. Beberapa kali kami nyeberang jalan padat lalu lintas, lajunya pun lumayan cepat menurut gw, tapi begitu bapaknya the Els mengangkat tangan tanda hendak menyeberang, ajaib, semua kendaraan berhenti! Termasuk kendaraan yang tadinya gw lihat rada ngebut, tiba-tiba berhenti tapi enggak brutal; alus aja gitu ngeremnya.
Padahal, di baik di Semarang maupun Jogja (di Jogja jarang nyeberang, sih, sebenernya), gw beberapa kali mengangkat tangan gitu, enggak semua mau langsung berhenti. Ada fase melambat yang cukup lama, dan setelah kendaraan-kendaraan itu berhenti, gw baru berani nyeberang.
Nah, di sini, kendaraan masih kelihatan melaju cukup dekat pun, udah diajak nyeberang sama bapaknya the Els. Cuma ya itu tadi, begitu kita tinggal setengah meter, semua kendaraan itu tahu-tahu udah berhenti gitu aja.
Butuh seribu atau dua ribu langkah untuk sampai ke Lapangan Banteng. Kami bergegas mencari Iip dulu, yang katanya lagi makan di dekat tempat mainan odong-odong. Nah, dengan petunjuk cuma segitu, kami malah jadi keliling seantero lapangan karena enggak tahu spot yang dimaksud sebelum akhirnya menemukan mereka di sudut yang agak jauh dari keramaian.
Waaah, kalau sama UmmiL aja udah enggak ketemu selama tiga tahun, gw udah enggak ketemu sama Iip berapa lama, ya? Waktu itu Hamzah masih bayi, masih latihan merangkak. Dan terakhir kalinya kita bertiga ketemu bareng... Hamzah baru lahir! Sekarang dia udah gede aja, udah jadi Abang Hamzah buat Fatimah yang seumuran Elyash.
Melihat bocah-bocah itu ketemu... ucul banget!
Apalagi waktu disuruh saling bersalaman. Hamzah udah semangat mengulurkan tangannya, Eleanors malah malu-malu. Apa karena mereka udah tahu kalau enggak boleh bersalaman dengan yang non-mahram? Wkwkwk.
Tapi gw akui, Eleanors ini hebat banget. Usia segitu, mereka setia dengan jilbab dan maskernya sampai pulang. Walaupun yang dewasa-dewasa ini sesekali udah lepas masker saat di tempat terbuka dan enggak banyak orang di sekeliling kami, mereka masih konsisten pakai masker, lho!
Masyaallah, shalih-salihah, ya, kalian, anak-anak.
Hamzah yang udah puas naik odong-odong kini berpindah ke stand mewarnai. Giliran Eleanors yang naik odong-odong pesawat-pesawatan. Sementara para bapak menemani anak-anaknya main, para emak gendong bayi mereka, gw sibuk foto-foto! Haha. Gini deh nasib jomlo di tengah keluarga beranak dua atau lebih.
Setelah Eleanors puas main di spot tersebut, UmmiL mengajak rombongan pindah ke tribun. Gw stay sebentar menemani Iip yang lagi menyuapi Fatimah. Tepar, gais, habis muterin lapangan seluas beberapa hektar itu.
"Tahu, enggak," gw mengawali curhat ke Iip. "Tadinya mau berangkat gasik biar bisa sampai duluan sebelum UmmiL. Tapi telat lima detik aja sama kereta."
Iip ketawa. "Itu juga motivasiku tadi, datang paling awal ngalahin UmmiL. Makanya pagi-pagi kirim serangan fajar dulu."
Gw ngakak, dong. Dia doang yang berhasil dalam misinya, gw kagak.
Tak lama setelah itu, gw dan rombongan Iip menyusul UmmiL ke tribun. Di sana memang lebih enak buat ngobrol. Tempatnya luas, cerah pula.
Eh, enggak cerah-cerah amat, sih. Langit mendung, bahkan beberapa detik sempat gerimis. Tapi tempatnya terbuka banget, dan enggak banyak orang di sekeliling kami. Jadi, ya, enak aja buat buka masker dan ngobrol bebas. Alhamdulillah.
Salah satu momen yang paling unik adalah ketika kita tanpa sengaja saling memberi oleh-oleh atau hadiah. Ini udah gw tuliskan di http://habrul-mujadilah.blogspot.com/2022/10/memberi-dan-kembali.html, ya, biar enggak terlalu panjang di sini.
Saking asyiknya melepaskan obrolan yang dipendam tiga tahun lebih, salah satu topik bahasan yang gw dan UmmiL rencanakan malah enggak diungkapkan sama sekali. Yaitu, kenapa pas dia nikah, gw sama Iip bisa-bisanya ngado barang-barang kecil kayak sendok, tutup cangkir, dan perintilan-perintilan lainnya. Gw sarankan mending dibahas pas ketemuan aja, soalnya kalo nulis di chat, agak rumit ceritanya. Eh, hari itu malah kelewatan enggak dibahas.
Bapak-bapak momong anak, emak-emak ngerumpi di belakang |
Kami shalat Dhuhur di mushola (atau masjid, ya?) kantornya bapaknya the Els. Nah, sepanjang perjalanan ke sana sampai setelah shalat, si Hamzah lagi-lagi berusaha berteman dengan Eleanors. Dia terus kejar-kejar mereka, merekanya juga terus-terusan lagi. Hahaha.
Hih, jadi gemes pengin punya anak sendiri. Eh!
Habis shalat, kita masih jalan kaki lagi! Udah lebih lima ribu langkah, kayaknya, muter-muter seharian itu. Niatnya mau ke Pos Bloc sekalian cari makan, tapi gedungnya sedang dipakai untuk acara, dan saat masuk, pengunjung harus scan PeduliLindungi. Ya gw kan enggak pernah install tuh app, ya. Biasanya kan udah terintegrasi sama aplikasi ojol.
Enggak jadi masuk, dah. Penuh pula di dalam. Kami makan-makan aja di luar sampai jam dua.
Gw sempat nyeletuk, "Eh, foto-foto dulu, dong. Tempatnya bagus buat spot foto, nih." Bagus buat di-upload di medsos maksudnya, wkwkwk.
Gw buru-buru ngeluarin barang-barang yang dikasih mereka tadi, trus gw fotoin, deh, sambil ngebayangin tulisan apa yang bakal mengiringi foto kado tersebut.
"Heh, kirain foto kita-kita, ternyata cuma foto barang," tukas mereka. Hahaha.
Sebelum berpisah, akhirnya Eleanors mau diajak salaman sama Hamzah. Cieee, akur!
Mereka pulang ke rumah masing-masing, sementara gw melanjutkan perjalanan ke Bekasi.
* * *
Selain mereka berdua, belum ada lagi yang respons status WA yang gw sebut di awal tulisan ini tadi bahwa gw ke Jakarta. Ketika gw tiba di Jakarta pagi itu, beberapa kali gw update status WA lagi, mengabarkan posisi gw di stasiun di Jakarta. Masih berharap beberapa orang tertentu notice dan bersedia menemani sore gw setelah pertemuan di Lapangan Banteng.
Kalau memang enggak ada lagi yang bisa gw temui, rencana cadangan gw, sih, naik KRL ke Tangerang, satu dari dua rute KRL yang belum pernah gw coba (satunya rute Ancol--Tanjung Priok). Gw paling suka jalan-jalan aja naik kereta, entah itu KRL atau MRT (atau LRT, tapi gw belum pernah coba), dari stasiun ke stasiun aja.
Sebelum gw berangkat ke Lapangan Banteng, orang yang "beruntung" (haha!) itu adalah Fatim, yang tinggal di Bekasi. Dia tanya, "Lilo di Jakarta? Kondangankah?"
Wkwkwk, tuh, kan. Pasti, deh, dikiranya kondangan, karena enggak ada aksi nasional belakangan ini, hehe. Kayaknya image gw kalo ke Jakarta, ya, antara kondangan atau aksi.
Setelah bertukar chat beberapa lama, gw membuat keputusan mendadak.
"Ntar sore, kamu kosong, enggak? Meet up, yok!"
Dia menyambutnya dengan semangat, walaupun mengaku enggak bisa jauh-jauh. Jadilah gw yang nyamperin ke rumahnya.
"Depok ke Bekasi jauh, lho," Fatim udah mewanti-wanti duluan. Tapi entah kenapa, gw merasa daerah Jabodetabek itu dekat-dekat aja kalau naik KRL. Hehe.
Tahu gw mau ke Bekasi, UmmiL menyarankan, dari Pos Bloc, gw ke Stasiun Pasar Senen aja, alih-alih ke Juanda atau Gondangdia. Soalnya Senen dilewati kereta tujuan Bekasi.
Ternyata eh ternyata... KRL tujuan Bekasi emang lewat Senen, tapi cuma melintas, enggak berhenti. Satu-satunya jalur KRL berhenti adalah rute yang sebaliknya, yaitu justru yang dari Bekasi. Gw tanya petugas di situ, katanya gw kudu naik ke arah Kemayoran dulu, baru ikut kereta ke arah sebaliknya. Dan bukan cuma gw, sih, ada beberapa orang lain yang juga agak bingung soal rute dari Senen ke Bekasi.
Beneran, dong, kata Fatim, Bekasi-nya jauh. Dari stasiun masih 30 menitan lebih, kirain cuma 15 menit, haha. Mana sempat bingung rumahnya, karena nomor di map beda sama nomor di lapangan.
Pas lagi kebingungan gitu, sebuah motor mendekat. Dari wajahnya, gw pikir itu suaminya Fatim, yang mengonfirmasi rumah tujuan gw.
Tahu, enggak, apa persamaan ketiga orang yang gw temui hari ini? Ketiganya punya anak yang baru beberapa bulan umurnya, dan kakaknya udah agak gede. Pada cepet-cepet amat ini punya anaknya, haha.
Selain ngobrolin aktivitas-aktivitas dakwah kekinian (how I miss that ideological discussion!), gw juga berkesempatan melihat hasil cetak foto waktu nikahan dia. Jarang-jarang, lho, gw bisa lihat hasil cetak foto kondangan yang gw datangi. Biasanya paling-paling di-share di WA, itu pun hasiil jepretan kamera HP, bukan kamera pro.
Sayang sekali gw enggak bisa lama di sana. Saat azan Maghrib, gw pulang.
Gw udah hampir lupa, betapa tinggi tangga di Manggarai. Sayangnya, itu satu-satunya rute KRL dari Bekasi ke Depok, harus transit di Manggarai, kecuali gw mau ganti naik kendaraan aspal dulu ke stasiun lainnya.
Daaaan... setelah seharian jalan kaki naik tangga Manggarai, muter-muterin Lapangan Banteng dan sekitarnya, dan lagi-lagi naik tangga Manggarai... total langkah kaki gw seharian itu cuma 7.000-an langkah!
Itu pun udah termasuk rekor tertinggi gw menurut rekaman aplikasi step counter. La, kalau sehari harus jalan kaki minimal 10.000 langkah, kudu kayak apaaaaa?
* * *
Ada satu orang yang sebenarnya ingin gw temui, dan seharusnya ada kesempatan untuk itu, tapi, qadarullah, enggak bisa ketemu.
Sudah di atas jam 10 malam, dan mata gw udah kriyip-kriyip sambil rebahan, ada chat masuk. Dari Devina.
"Lu lagi di Jakarta?"
Yah, Dev, gw kode sejak pagi, lu baru balas sekarang.
Karena udah tepar, chat itu baru berlanjut keesokan harinya. Dia cerita, kalau malam sebelumnya, dia baru aja jalan ke Margo City.
Yeee... kalau elu bilang dari semalam, Dev, gw samperin deh. Kan deket tuh, dari rumah sodara gw. Malam gw juga udah kosong, siapa tahu bisa genepin langkah harian jadi 10.000, wkwkwk.
"Di sini sampe kapan?"
Gw ngakulah kalau malam itu gw langsung balik ke Jogja, jadi hari itu enggak bisa ketemu.
Yang jelas, pertanyaan pertama dia tentang aktivitas gw di Jakarta... sudah bisa ditebak, ya?
"Lo ada kondangan makanya ke sini?"
Kan!
seru banget masyaAlloh.. berasa flashback dong hahaha
ReplyDeletethank you sudah menulis sekaligus menyimpan kenangan di sini 🤗🥰
Gercep amat yang komen, wkwk.
DeleteAlready missing you again :*
Sepertinya Stasiun Manggarai ini kondang sekali ke-hectic-annya, ya...
ReplyDeleteTrain to Manggarai, hehe...
DeleteBaca ceritanya, serasa ikutan naik KRL..... hehehe.....
ReplyDelete