6 atau 9?
Pernah lihat meme yang menunjukkan dua orang sedang berdebat apakah angka di antara mereka adalah angka 6 atau 9?
Gambar diambil dari blog.dannygho.com, tapi sepertinya sudah banyak gambar serupa yang beredar |
Meme itu sering muncul diiringi nasihat untuk tidak menghakimi sudut pandang orang lain. Menurut caption yang mengiringinya, kita diminta untuk memperluas pikiran dan menempatkan diri kita pada posisi orang lain supaya bisa memahami sudut pandang orang lain.
Secara umum, ajaran tersebut terdengar bijak, bukan? Hanya saja, saya masih merasa ada yang tidak tepat pada kalimat tersebut, seringnya karena meme tersebut digunakan sebagai justifikasi untuk melakukan pelanggaran aturan. Spesifiknya, jika ada orang yang sedang mendakwahkan ajaran agama kepada orang lain, dia akan "diserang" dengan meme itu, katanya bahwa dia harus menghormati orang yang tidak menjalankan aturan agama, bahwa mereka ini harus ditoleransi, bahwa kita harus membuka pikiran dan memahami sudut pandang mereka, dan sebagainya.
Hmm... bukannya mereka sendiri yang sedang menyempitkan pandangan terhadap aturan agama?
Suatu ketika, saya melihat status seseorang yang mengunggah meme tersebut. Berbeda dengan yang lain yang pernah saya lihat, caption meme tersebut mengatakan, "Carilah kebenaran, bukan pembenaran."
Seolah ada yang menyalakan lampu di kepala saya. Ya, carilah kebenaran, bukan pembenaran.
Masalahnya, bagaimana caranya dua orang yang berselisih paham tersebut bisa mendapatkan kebenaran tentang angka yang dilihatnya?
Cara paling sederhana adalah: tanyakan kepada pembuatnya. Bukankah pembuatnya adalah yang paling paham apa yang dia buat? Termasuk membuat sesuatu yang membingungkan pembacanya, si pembuat tetaplah yang paling paham.
Demikian juga dalam hidup. Bisa jadi kita berdebat tentang hal-hal yang semestinya terjadi, atau itu merupakan hak atau kewajiban, apakah itu kebebasan atau kekangan. Daripada demikian, bukankah akan lebih jelas kita tanyakan saja kepada yang membuat atau menciptakan kita?
Siapa?
Tuhan.
Allah.
Dia yang menciptakan kita, Dialah yang paling tahu tentang kita.
Terus, bagaimana caranya kita "berkomunikasi" dengan Allah? Ada pepatah mengatakan, "Kalau ingin bicara dengan Allah, berdoalah. Kalau ingin Allah bicara denganmu, bacalah Al-Qur'an."
Mungkin kita memang tidak bisa bicara langsung dua arah dengan Allah sebagaimana Nabi Musa a.s. atau Nabi Muhammad s.a.w. Akan tetapi, Allah sudah kasih kita petunjuk melalui Al-Qur'an atau melalui risalah yang dibawakan rasul-Nya.
Jika diibaratkan kembali dengan angka 6 atau 9 itu, Al-Qur'an dan sunnah adalah manual book-nya. Ada tips dan trik untuk mengenali apakah itu angka 6 atau 9, misalnya dengan mencari keberadaan garis bawah, atau perintah agar kita memandangnya dari sisi sebelah mana.
Kalau sudah disuruh untuk memandang dari sisi yang ada lingkarannya, kita akan tahu bahwa jawabannya adalah 6. Itu berarti, orang yang bersikeras untuk memandangnya dari arah berlawanan sehingga tetap mengklaim bahwa angka itu adalah 9, dia orang yang bodoh, sombong, dan tersesat.
Topik perdebatan seharusnya bukan lagi 6 atau 9, tapi apakah itu simbol angka 6 atau huruf G kapital yang dituliskan sedemikian rupa sehingga keduanya mirip.
Pada tahap ini, yang kita perlukan untuk memecahkan "misteri" tersebut adalah dengan melihat konteks keseluruhan. Jangan hanya terpancang pada simbol tersebut, tetapi lihat juga di kanan-kirinya, ada huruf atau angka lain yang menjadikan simbol tersebut bermakna. MAN66A atau MANGGA.
Realitasnya, ketika kita menemukan sesuatu, kita tak bisa langsung menghukuminya sesuai dengan perspektif kita sendiri. Misalnya saja, orang bilang Islam itu merendahkan perempuan karena hanya mendapat satu bagian harta warisan, padahal laki-laki dapat dua bagian. Itu melulu yang dibahas. Kalau kita mau zoom out dan melihat konteks keseluruhannya, kita akan menemukan kenapa laki-laki dapat dua, yang pada akhirnya itu juga merupakan hak wanita.
Bagaimana kalau di sekitar simbol yang entah angka 6 atau huruf G itu adalah campuran antara huruf dan angka yang tak ada bunyinya? AB1564JI atau AB15G4JI?
Langkah berikutnya adalah tanyakan pada ahlinya: ulama, guru, atau pihak lain yang berkompeten di bidang tersebut.
Kalau tanya polisi, akan didapatkan bahwa serangkaian simbol tersebut adalah pelat nomor kendaraan Jogja: AB 1564 JI (ini nomor ngarang saja sih, hehe, mohon maaf kalau salah atau ada yang punya). Berarti, sudah jelas bahwa simbol yang dipertanyakan adalah angka 6, bukan huruf G kapital.
Kalau tanya pada petugas administrasi, dia akan mengenalinya sebagai kode identitas seseorang atau barang tertentu. Kalau tanya anak alay, bisa jadi itu kode antara dia dengan temannya. Yang dia tuliskan adalah AB15 64JI atau dibaca ABIS GAJI. Hehe.
Jadi, rangkaian 8 karakter tersebut bisa berbeda-beda maknanya sesuai penafsirnya. Tak dipungkiri, memang, ada khilafiyah antara beberapa ahli. Akan tetapi, di situlah poinnya. Fatwa itu dikeluarkan oleh ahli, bukan kita orang awam. Kewajiban menutup aurat itu disepakati semua ulama, tetapi apakah definisi aurat mencakup wajah atau tidak, ulama berbeda pendapat tentang itu. Tinggal kita memilih ikut pendapat yang mana, tetapi bukan berarti kita lantas sok-sokan ikut berfatwa bahwa menutup aurat itu jadi tidak wajib.
Kesimpulannya, kita memang wajib mencari kebenaran, bukan pembenaran. Carilah kebenaran itu kepada sumber yang tepat, supaya kebenaran yang kita dapat juga tepat.
Sumber gambar: https://randysrandom.com/6-vs-9-eternal-struggle/ |
"Tanyakan pada pembuatnya". Good point, Mb.
ReplyDeleteYep, karena mereka lebih tahu~
DeleteMasya allah, ceritanya sederhana antara 6 atau 9 tapi ternyata keluar huruf G. Bener-bener kaya akan makna. "Carilah kebenaran, bukan pembenaran"
ReplyDelete