Kado Indah Bernama Ukhuwah
Sebuah Perkenalan
Malam pertamaku di Tsabita, Ovi dan Nela menemaniku ngobrol. Masih asing dengan suasana baru, kukira mereka udah semester berapa... gitu. Jadi aku manggil mereka, "Mbak." Langsung diprotes sama Ovi, "Jangan manggil 'Mbak', to." Haha, ternyata si Ovi justru satu setengah tahun lebih muda dariku. Baru pertama kenal, aku memilih menggunakan Bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Ternyata, Ovi dan Nela malah memintaku menggunakan Bahasa Jawa. Ketika Ayu datang dari Serang, kami bertiga mengerjainya dengan selalu menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi.
Beberapa hari kemudian, barulah penghuni yang lain bermunculan. Orang-orang memberitahuku bahwa ada seorang Tsabiters yang satu jurusan denganku, tapi aku tak tahu siapa. Pada suatu sahur, Tsabiter di sebelahku bertanya, "Kamu jurusan apa?"
"Siskom," jawabku.
"Sama berarti."
"Kamu Siskom juga?"
Oh, jadi dia yang dibilang satu jurusan denganku. Tapi saat itu pun aku masih tak tahu siapa namanya. Baru setelah di kampus, aku tahu dia bernama Arini. Aku ingat betul suatu malam dia menagih tugas meringkas materi PMB Fakultas yang siangnya lupa kukumpulkan pada kakak pembimbingku. Berlanjutlah malam itu dengan sharing tentang jurusan kami. Ditunjukkannya laporan praktikum yang belum-belum membuatku ngeri saking tebalnya.
Ketika aku baru masuk wisma, kakak yang sekamar denganku masih ada acara ke luar kota. Dua sampai tiga hari aku sendirian menempati kamar ini, membaca buku-buku yang disimpannya di rak. Ternyata oh ternyata, dibandingkan denganku yang cerewet ini, beliau termasuk pendiam banget. Tiga hari sudah kami menempati ruang yang sama, belum pernah ngobrol dekat. Aku cuma mengenalnya dengan sebuah nama: Setyo Astuti.
Sejak awal aku sudah mengingat Mb Kiki karena sosoknya memang mudah diingat. Belum lagi, dini hari itu adalah giliran kami membeli lauk untuk sahur. Walaupun masih cukup jauh dari adzan subuh, tapi kami sudah kehabisan lauk di warung-warung makan yang diserbu orang-orang yang juga sedang sahur. Mb Kiki membawaku berkeliling dari warung makan ke warung makan, dan akhirnya kami berhenti di warung makan dekat wisma.
Yang cukup unik adalah Mb Retno. Diskusi malam itu seru banget. Mb Retno bercerita pengalamannya di BEM, yang bikin aku tertarik memasuki bidang sospol itu (padahal di SMA aku Rohis banget). Keasyikan diskusi sepanjang malam, aku pun berniat untuk sering-sering berdiskusi dengannya.
Oya, di Tsabita juga ada Inung. Mulai mengenalnya ketika, bertiga dengan Ovi, kami diundang buka puasa bersama di masjid Polines untuk pembagian halaqah. Lalu ada Mb Tami, yang kukira cukup "sangar" waktu pertama kali dekat dengannya saat i'tikaf di Maskam. Ternyata Mb yang satu ini kocak juga, dan punya sifat khas yang bikin aku seneng godain.
Dua orang pembina wisma kami adalah Mb Meike yang berjiwa sospol dan tegas, dan Mb Ira yang akademis (kurang 0.01 poin lagi untuk IPK-nya, beliau lulus cumlaude) dan keibuan. Pada syuting alias syuro penting membahas struktur wisma, Mb Meike menggunakan istilah-istilah pemerintahan untuk menyebut "jabatan struktural" Tsabita. Dari Presiden, Menteri Agama, Menteri Lingkungan Hidup, bahkan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang otomatis dipegang oleh kedua pembina. Lucu juga melihat ekspresi Mb Kiki waktu peserta syuting menunjuknya menjadi Presiden. Tak ada yang menyatakan diri siap ketika Mb Meike menawarkan posisi Staf Ahli Kepresidenan. Saat ditanya, aku menjawab, "Mending sekretaris aja, Mb." (Kualat karena "berani" minta amanah kali, ya, jadinya diikuti oleh setumpuk amanah sekretaris untukku di mana-mana). Akhirnya, posisi Staf Ahli dipegang oleh partner sekamar Mb Kiki: Ovi.
Saat itu aku sedang sendirian di wisma, datang seorang yang menyatakan diri sebagai penghuni baru Tsabita. Dia mengatakan, sebelumnya sudah diberikan satu kamar untuknya. Karena tak ada yang lain di wisma, aku membukakan kamar dan mempersilakannya menaruh barang-barangnya di dalam. Dia bernama Kiki. Dua nama Kiki di Tsabita membuat Tsabiters menyepakati nama Kikia untuk memanggil Mb Kiki dari Tekim, dan Kikio untuk memanggil Mb Kiki dari Sipil.
Sudah dua bulan sejak awal semester, masih ada sisa tempat untuk dua orang di Tsabita. Lalu datanglah sepasang kakak beradik dari Banjarnegara: Mb Nana yang sedang menempuh S2 di Unnes dan Devi si anak FKM 2010. Meski bukan berasal dari Teknik, Devi tidak mengalami kesulitan untuk bergaul dengan anak Teknik yang heboh abiz. Bahkan dia sendiri termasuk orang yang bisa meramaikan Tsabita, baik siang maupun malam, hingga kami sering meledeknya anak TKM (Teknik Kesehatan Masyarakat).
Bukti Kasih Sayang Tsabiters
Sering aku dengar bahwa orang yang sedang milad dikerjain habis-habisan: mulai dari diguyur air, dilempari telur, dilumuri tepung, atau bahan-bahan lain sesuai kreativitas teman-temannya. Kakak sepupuku yang pernah diperlakukan seperti itu sampai pingsan pada malam harinya, saat dia sedang keluar kamar. Belum pernah pula aku menyaksikan secara langung orang milad yang sedang dilempari berbagai macam bahan itu, hanya mendengarnya dari cerita teman-teman.
Seumur hidupku selama tepat 19 tahun, belum pernah sekalipun ada yang mengerjaiku waktu milad. Sempat kepikiran, di PKM waktu rapat KP sore harinya bakal dikerjain sama temen-temen. Ternyata, dugaan itu tidak terjadi.
Sudah lama pula aku pengin mentraktir Tsabiters, tapi undangan walimahan dari Ibu pemilik Tsabita membuatku mengurungkan niatku. Toh, di sana bakal makan-makan. Ternyata tidak semua Tsabiters ikut. Hanya lima orang yang menghadiri walimahan itu usai shalat maghrib.
Pulang dari walimahan, Mb Retno ribut mengajakku ke PKM. Katanya ada barangnya yang ketinggalan di sana.
"Apanya yang ketinggalan, Mb?" tanyaku.
"Al Qur'an, binder..." suara Mb Retno mengambang. "Charger..."
"Shalat dulu aja, ya?"
"Lha ntar keburu malam..."
Aku ngotot harus Isya' dulu. Habis itu maksa-maksa Mb Retno yang jadi imam. Mb Retno mencoba mengelak, "Ntar gak konsen, aku."
"Udah, gak papa."
Akhirnya Mb Retno pun mau. Habis itu, aku dan Mb Retno keluar. Mb Retno bersiap dengan motornya. Mb Kiki ikut ke depan, ribut mencari sandal ungunya. Mb Retno kembali masuk berusaha membantunya, sementara aku menunggu di luar.
Tahu-tahu, lenganku ditarik kuat oleh dua sosok makhluk dari belakang. Sadar dengan apa yang terjadi, aku sama sekali tidak memberontak. Dua makhluk bernama Retno dan Kiki itu menyandarkanku pada salah satu tiang di teras, lalu mengikatku pakai rafia. Pada saat itu juga, bermunculan Tsabiters lainnya: Ovi, Inung, Devi, Ayu, Mb Tuti, Mb Ira...
Dua ember penuh air pun dibawa ke hadapanku. Mb Retno mengambil kacamataku, sementara Inung mengeluarkan HP-nya dan memotret Tsabiters yang bergerombol di sekitarku. Dalam kondisi seperti itu, masih sempat-sempatnya aku berpose bersama mereka.
"Sekdepnya dulu aja yang mulai nih," ujar Mb Kiki sambil menyerahkan gayung kepada Inung, satu-satunya sekdep yang kumiliki.
Yang diserahi gayung malah bilang, "Kok aku sih? Orangnya udah pasrah gini, jadi nggak tega."
Meski mengatakan begitu, Inung tetap melaksanakan amanah Mb Kiki. Dengan mengucapkan, "Maaf ya, Nak," dia pun mengguyurkan segayung air kepadaku yang menutup mata pasrah. Berikutnya entah siapa lagi yang heboh menyiramkan bergayung-gayung air kepadaku, sebab mataku masih terpejam. Dilumuri tepung pun aku nggak nyadar, kalau saja Mb Kiki tidak menyebutkan kata "tepung" ketika menuangkannya ke tubuhku.
Pada usiaku yang mencapai 19 tahun ditambah sekitar 15 jam, rekor belum pernah dikerjain saat milad pun berakhir.
Paling heboh memang Mb Retno dan Mb Kiki. Sepertinya hanya Mb Ira yang masih "waras" dalam keadaan seperti ini. Meski tertawa, beliau tidak ikut-ikutan mengerjaiku. Bahkan sewaktu aku pura-pura lemas sampai hampir jatuh (kalau saja tidak ditahan oleh rafia), Mb Ira berseru, "Hei, udah dong, itu pingsan gitu." Segera saja aku tegak lagi dan membuka mata, ikut tertawa bersama mereka.
Di sela-sela "penyiksaan" itu, ada keharuan menyusup dalam hati. Setelah ditinggal sendirian di depan dengan lumuran tepung dan air (kasih telur terus digoreng, kayaknya enak tuh), Mb Retno pun melepaskan ikatanku. Aku masuk ke wisma perlahan. Mencari sasaran.
Ternyata, para eksekutor itu tak berani menunjukkan diri. Masih berpakaian bersih, Ovi dan Mb Kiki mengunci diri di kamar yang berlainan. Maka sasaran pertamaku adalah Mb Ira yang sedang di luar kamar, memeluknya, tapi belum bisa mengungkapkan perasaanku. Maka aku pun mengambil spidol dan menulis di whiteboard yang biasa digunakan untuk syuting wisma atau memberikan pengumuman kepada Tsabiters:
"Seumur hidupku, baru kali ini aku milad disiram rame2. I believe, ini karena cinta kalian padaku. Love u coz Allah, dear all Tsabiters. ^_^"
Mengetuk pintu yang di dalamnya ada Ovi, dia bersikukuh tidak mau membukanya. Padahal aku cuma pengin unjuk rasa. Hehe... Ingin memeluknya sebagai ucapan terima kasihku, meski "ketakutan"-nya bahwa aku hanya ingin mengotorinya ada benarnya, tapi dengan porsi yang sedikit sekali.
Di depan pintu, tiba-tiba aku tak bisa menahan air mata yang keluar. Devi sempet heboh, mungkin mengira aku nggak ikhlas dengan perlakuan mereka. Tapi bukan itu alasannya. Sungguh, aku malah bahagia banget diperlakukan seperti itu.
Dalam kondisi basah (karena ikut dikerjain), Mb Retno membersihkan teras sendirian. Aku beralih mendekatinya... dan memeluknya erat sekali. Sampai speechless saking terharunya, hanya kata "terima kasih" yang mampu kuucapkan. Begitu pula ketika akhirnya Mb Kiki dan Ovi berani menunjukkan dirinya.
Ovi sampai bilang, "Semur-umur, belum pernah lihat Lila nangis."
Iya juga, ya... Kalau diingat-ingat, seumur-umur aku juga belum pernah nangis di hadapan Tsabiters. Inung sempat berkomentar, "Kalau lihat tulisannya Lila, rasanya juga pengin nangis."
Tapi ini tangis bahagia... Meski Mb Kiki dan Ovi masih menjaga diri agar tidak terlalu banyak terkena tepung dan air yang melekat di pakaianku, mereka belakangan mau mendekatiku dan (sebagai ganti pelukan) memberikan tangannya untuk kudekap erat.
Adakah ukhuwah yang lebih indah? Tak ada kata yang tepat untuk mendefinisikan syukur yang membuncah ini. Mungkin yang paling dekat adalah sebuah kata cinta: Aku mencintai kalian semua karena Allah.
Alhamdulillah, syukurku pada-Mu, Ya Rabb, atas saudara sebaik mereka.
Sekadar Jarak Semoga Tak Memutus Ukhuwah Ini
Tahun akademik baru akan segera datang. Satu tahun masa kontrak wisma telah habis. Memang sih, kontrak Tsabita masih diperpanjang. Tapi seperti yang terjadi di "kos binaan" (begitu istilah ibuku untuk menyebut wisma) pada umumnya, rolling wisma pun tak bisa dihindari. Hanya empat Tsabiters yang akan tetap menjadi Tsabiters pada tahun akademik berikutnya. Yang lain berpencar ke wisma lain. Mb Ira bahkan harus meninggalkan kami, karena diterima S2 di ITB.
Sebentar lagi... yah, hanya tinggal beberapa hari lagi sepertinya waktu yang tersisa untuk kami bisa bersama. Masih menunggu hari yang tepat untuk rihlah perpisahan, sebuah momen yang pasti akan "menutup" kebersamaan Tsabiters. Atau lebih tepatnya, menutup kebersamaan kami SEBAGAI Tsabiters. Sebab, meski bukan lagi sesama Tsabiters, kita tetap saudara, kan? Ukhuwah ini takkan renggang hanya karena bukan lagi sama-sama Tsabiters.
Semoga Allah menguatkan ikatan kita, mengekalkan cinta kita... dan menyatukan kita dalam "wisma" abadi bernama JANNAH.
* * *
Pertama kali ditulis pada 17 Maret 2011, setelah aku membersihkan diri dari tepung dan air yang kalian lemparkan padaku (padahal tugas pas numpuk!). Tapi baru bisa selesai 4 bulan 3 hari kemudian, tepatnya 20 Juli 2011.
Masih banyak kisah lain bersama kalian, semoga suatu saat bisa jadi novel :)
No comments