Beras dan Gula
Ketika Bapak meninggal karena Covid-19 pada Agustus 2020 lalu, banyak kerabat berdatangan menyampaikan belasungkawa. Tentu, karena pandemi itu pula, kedatangan mereka tidak serentak. Ada yang hari itu, ada yang beberapa pekan setelahnya, ada pula yang beberapa bulan setelahnya.
Sebagaimana kebiasaan masyarakat kita, ketika ada yang kesripahan, berbagai kerabat akan datang dan membawakan berbagai kebutuhan pokok, seperti beras, teh, gula, dan sejenisnya. Filosofinya, ini bisa meringankan beban keluarga yang ditinggalkan salah satu anggotanya ini, apalagi yang meninggal adalah kepala keluarga.
Di satu sisi, tentu kami sangat bersyukur dengan pemberian mereka, terutama karena perhatian yang mereka berikan. Soalnya, tidak tanggung-tanggung, beras yang mereka bawa bisa beberapa karung sendiri.
Masalahnya (itu pun kalau bisa disebut "masalah"), keluarga kami sudah beberapa waktu membiasakan makan beras merah. Sesekali saja kami menanak nasi putih, kalau beras merah sedang habis dan belum sempat ke pasar lagi, atau ketika ada tamu. Beras yang berkilo-kilo itu jadi stok untuk berbulan-bulan, maka selama lebih dari setahun kami sama sekali tidak pernah membeli beras putih. Sebagian kami berikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan.
Yang lebih sulit "dihabiskan" adalah gula. Kalau beras merupakan makanan pokok, beras putih berfungsi sebagai back up kalau beras merah kosong, jadi beras itu masih sering kami makan. Nah, gula?
Sudah lama pula keluarga kami mengurangi konsumsi gula sampai batas minimum. Selain untuk tamu, kami hanya memakai gula merah dan gula khusus diabetes. Dalam masa pandemi, tentu saja jumlah tamu yang datang berkurang pesat. Lalu, gula yang berbungkus-bungkus ini mau diapakan? Dicamilin?
Serupa dengan beras, gula juga kami bagi-bagikan kepada beberapa orang. Lucunya, stok gula ini bagaikan diolah bidadari Nawangwulan saja: nggak habis-habis! Sebagian diberikan, datang sebungkus gula lagi. Kali ini dari tetangga yang mengadakan tahlilan atau selamatan.
Apa kayak gini, ya, konsep sedekah yang sering diceritakan asatidz? Berikan hartamu, maka Allah akan mengganti dengan lebih banyak. Dulu juga pernah ada trainer yang mengadakan game kecil di sebuah acara: setiap orang diberikan lima buah batu yang harus dikosongkan dengan cara diberikan kepada temannya, tapi tidak boleh menolak pemberian. Walhasil, ada saja batu yang kita pegang sebagai pemberian dari peserta lain.
Persoalan gula dan beras ini... kayaknya juga sama. Hanya mengambil secukup kebutuhan, berikan sisanya pada orang lain, dan... voila! Akan "kembali" dalam jumlah yang lebih besar.
Jadi, masih ragu untuk bersedekah?
No comments