Dari Diskusi ke "Jalanan": Catatan Aksi Piala Citra untuk Walikota Semarang
Rabu (22/4) malam, KAMMI Semarang mengadakan diskusi publik dengan tema "Menelaah Kinerja Pemerintah Kota Semarang". Diskusi diadakan di Seven Days Cafe & Resto, dan dalam informasi awal disebutkan dimulai pukul 18:30. Meski demikian, acara terpaksa molor karena dua dari tiga pembicara yang diundang, masing-masing adalah Walikota Semarang dan perwakilan DPRD Kota Semarang, belum sampai di lokasi. Pembicara ketiga dari Pattiro Semarang, yang sedianya adalah direkturnya sendiri Dini Inayati, ST namun diwakili oleh Wahyuni Lasniah, ST, akhirnya mengawali diskusi sekitar pukul 20:15. Sejujurnya saya kurang menyimak analisis kritis yang disampaikan Mbak Yuni, tapi di bagian akhir saya menangkap contoh, ada peternak sapi yang diberi bantuan berupa mesin jahit. "Kan nggak nyambung," komentar Mbak Yuni.
Menjelang pukul 21.00, pihak Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang yang diwakili Kepala Bagian Otonomi Daerah Drs. Sapto Adi, MM hadir dan menyampaikan sekilas tentang hasil kinerja Pemkot hingga awal 2015 ini. Berikut ringkasan materi yang disampaikan Pak Sapto:
Pada sesi tanya jawab, ada 5 penanya yang menekankan poin yang berbeda-beda.
Seingat saya, pertanyaan tentang BRT belum terjawab. Atau kalaupun dijawab, hanya sekilas-sambil lalu, karena saya yang sempat berpaling sebentar dari catatan tidak menangkapnya.
Berdasarkan jumlah peserta, acara ini terbilang sukses. Sebelumnya kami hanya menargetkan 30 peserta, atau kalaupun ada tambahan jadi 40, tapi ternyata ada 60 orang yang mengisi daftar hadir. Jumlah itu belum termasuk beberapa yang lupa mencantumkan nama, atau mereka yang duduk di bagian lain kafe karena tempat yang dipesan panitia sudah penuh. Bukan asal klaim lho, dua di antara mereka juga mengajukan pertanyaan.
Meskipun begitu, dari kehadiran pembicara, diakui ini belum sempurna. Perwakilan dari DPRD ternyata tidak bisa datang, karenanya setelah sesi Pak Sapto selesai sekitar jam 22:00, acara ditutup. Pak Hendi sendiri, menurut informasi dari yang mengontak beliau, sebelumnya menyatakan "diagendakan", tetapi pada hari H diwakilkan. Bu Dini yang sebelumnya fix juga ternyata sedang dalam perjalanan dari Pekalongan sehingga mendelegasikan Mbak Yuni untuk mewakili Pattiro.
Secara pribadi, saya kurang puas terhadap apa yang disampaikan Pak Sapto. Memang, seperti kata beliau, program pemerintah itu banyak sehingga tidak bisa disampaikan secara detail dalam diskusi itu, tapi bukankah seharusnya ditunjukkan gambaran besar atau hasil kerja inti yang dampaknya signifikan? Misal, berapa persen turunnya angka kemiskinan? Seberapa besar wilayah rob dan banjir yang sudah berhasil ditangani? Kalau beliau bilang dalam hal budaya diukur melalui indikator di atas, sudah sejauh mana partisipasi masyarakat dalam acara kebudayaan? Bagaimana karakter masyarakat Semarang sepanjang kepemimpinan Pak Hendi? Sejak dulu Semarang memang kota perdagangan dan jasa, bukan kota agraris atau maritim, maka peningkatan seperti apa yang sudah dilakukan Pak Hendi berkaitan dengan visinya?
Bahkan dari perhatian sekilas saya waktu Mbak Yuni menyampaikan analisisnya, saya bisa menangkap data yang Mbak Yuni bawakan jauh lebih lengkap daripada apa yang disampaikan Pak Sapto.
Ternyata bukan cuma saya yang tidak puas terhadap hasil diskusi kali ini. Ketika saya tunjukkan catatan di atas, Akh Ashim sempat berkomentar, "Anggaran itu jawaban bener tapi ngaco." Anggapannya tentu lebih berlandaskan, karena dia anak Ekonomi, pastinya jauh lebih paham soal itu daripada anak Teknik macam saya. Sebagai lanjutannya, keesokan harinya diadakan konsolidasi untuk aksi pada hari Jum'at saat sidang paripurna penyampaian LKPJ.
Ketika saya sampai di teras gedung DPRD Semarang pada Jum'at (24/4), sudah ada lebih banyak wartawan dibandingkan calon peserta aksi. Sampai sekitar jam 10:15, massa hanya mencapai jumlah 16, maka kami langsung mulai saja aksinya. Dibuka di halaman yang dijadikan tempat parkir mobil beberapa meter di depan teras gedung, lantas kami berjalan kembali menuju teras. Bukan teras juga sih sebetulnya, lebih tepatnya halaman depan teras yang masih dipayungi atap gedung.
Mulanya aksi berjaan amat sangat damai. Kami seolah teriak-teriak sendiri, meskipun corong megaphone diarahkan ke dalam aula melalui pintu lobi yang terbuka. Orasi kami seolah hanya untuk para awak media yang diharapkan dapat menuliskan aspirasi kami dengan sejujurnya. Begitu pula dengan teatrikal penyerahan replika styrofoam Piala Citra Tanpa Prestasi untuk Pak Walikota, dalam hal ini diperankan oleh Akh Deni yang berjas, berdasi, dan mengenakan topeng Pak Hendi. Yah, mungkin ada satu-dua petugas yang menjaga aksi kami, tapi belum terasa kehadirannya.
Dari sinilah semuanya bermula. Kami berharap piala itu dapat diserahkan langsung kepada Pak Walikota yang asli, bukan "bajakan". Barisan depan yang terdiri dari ikhwan pun mencoba masuk ke lobi lewat pintu tengah, tapi dihalangi petugas pengamanan. Melihat pintu di sisi kanan sama sekali bebas dari penjagaan, saya mengajak dua akhwat lain masuk lewat sana. Berhasil masuk sebetulnya, tapi atas nama solidaritas (cieeh) dan persatuan, kami pun kembali ke barisan yang ditolak.
Massa kembali ke posisi semula setelah penolakan, mendadak ada banyak sekali petugas pengamanan di sekitar kami. Jumlahnya saya kira hampir dua kali lipat massa (yang pada titik ini mencapai angka 19). Petugasnya laki-laki semua, pikir saya, jadi kalau ada kontak fisik, terpaksa harus menghindar nih. Tapi kemudian dari arah jam 11, di depan pintu sebelah kiri, terlihat beberapa petugas pengaman berjilbab. Dengan pandangan terus berganti antara orator dan petugas perempuan itu, saya bersiap mengincar titik itu kalau mau dorong-dorongan lagi. Hehe...
Tapi ternyata konflik tidak lagi berhubungan dengan fisik. Piala Citra sempat mau dititipkan pada salah seorang pejabat (saya lupa namanya siapa dan dari mana), tapi bapak ini justru menolak pernyataan sikap yang kami tulis. Dibilangnya datanya dari mana? Lah, waktu diskusi kemarin pun, perwakilan pihak Pemkot juga hadir tanpa data.
Selanjutnya Pak Kuncoro dari Kesbangpol juga menolak statement kami yang menyatakan Walikota tanpa prestasi. Menurut beliau, KAMMI dapat hibah 20 juta, apa itu bukan prestasi? Beliau juga menantang KAMMI menyebutkan, pemerintah mana yang juga memberi dana 20 juta ke KAMMI?
Sayangnya tanggapan dari pihak kami saat itu hanya agar si bapak jangan mengungkit itu. Padahal kalau dipikir lagi, statement itu sangat jelas menunjukkan, nyaris tersurat, bahwa hibah 20 juta yang diberikan itu diharapkan dapat membungkam mulut KAMMI, agar KAMMI adem ayem saja tanpa mengkritisi pemerintah. Lagian, kalau memberi dana hibah 20 juta saja (yang sebetulnya sudah ada peraturannya bahwa itu hak ormas) dianggap sudah berprestasi, pantesan aja Semarang nggak maju-maju.
Sebelum pergi sambil marah-marah, si bapak juga sempat mengomentari Akh Miqdad (korlap) yang cuma pakai sandal jepit, sehingga tidak pantas masuk gedung DPRD. Si korlap ini kemudian menyindir, kalau rakyat miskin seperti dia (yang pakai sandal jepit) tidak diperbolehkan masuk ke gedung DPRD yang mewah ini.
Dalam pernyataan sikapnya, Akh Khanif selaku Ketua KAMMI Semarang sekaligus koordinator aksi menekankan, bahwa aksi kali ini justru bentuk kepedulian terhadap pembangunan Semarang dan cerminan penilaian masyarakat Semarang, bukan untuk menjatuhkan (atau apa lah, kalimat persisnya saya lupa). Dalam hati saya menambahkan, aksi ini bukan untuk melengserkan Pak Walikota, toh tanpa dilengserkan pun sebentar lagi lengser sendiri.
Secara umum, orasi penutup berisi harapan agar seluruh jajaran pemerintah bisa amanah dalam menjalankan tugas dari rakyat.
Ketika pembacaan doa (massa duduk, petugas pun diajak duduk tapi menolak), saya teringat cerita ibu saya: dalam suatu acara bersama pejabat, pembaca doa memohon, "Hukumah pemimpin-pemimpin kami yang menzhalimi rakyat," menghasilkan applause meriah untuk pertama kalinya dalam sesi pembacaan doa. Saya pun mengharapkan doa semacam itu mumpung momentumnya tepat, atau untuk versi halusnya setidaknya begini, "Ampuni dosa pemimpin kami apabila dia khilaf, hukumlah mereka untuk dosa yang direncanakan yang menghasilkan kezhaliman bagi rakyat, jangan hukum rakyat atas apa yang mereka perbuat."
Tapi rupanya Akh Zaka masih cinta damai, dan menutup rangkaian doanya dengan doa rabithah.
Sebelum bubar, kami bersalaman dengan petugas pengamanan sambil bershalawat. Sebelumnya Piala Citra sudah dititipkan pada salah satu bapak pejabat yang saya lupa namanya, yang akhirnya lebih kalem saat menerimanya.
Aksi berakhir damai. Tapi ada pihak yang sengaja merusak kedamaian ini.
Berita pertama tentang aksi ini saya dapat dalam perjalanan pulangnya. Beritanya masih biasa, dalam arti sesuai dengan yang terjadi di lapangan, walaupun beberapa pilihan katanya masih diwarnai opini.
Situasi ramai itu datang ketika ada satu media (perlu disebut namanya kah?) menuliskan Pak Kuncoro menagih laporan pertanggungjawaban (LPJ) KAMMI Semarang terkait dana hibah itu. Ketika membacanya pertama kali, saya coba mengingat-ingat, kapan si bapak bilang begitu. Ukh Dida yang waktu aksi ada di sebelah saya juga tidak mendengar ucapan "KAMMI belum kirim LPJ". Dia mengutip kalimat Pak Kuncoro, "Tahun 2012-2014 KAMMI dapat dana hibah sebesar 20 juta. Apakah itu bukan prestasi? Pemerintah mana yang memberi dana ke KAMMI 20 juta?"
Tapi baiklah, saya tidak akan menyatakan bahwa Pak Kuncoro sama sekali tidak berkata begitu. Mungkin ada yang terlewatkan oleh kami berdua, atau beliau mengatakannya dengan berbisik sehingga hanya korlap dan wartawan yang mendengar. Jika diasumsikan beliau memang mengatakan itu, KAMMI Semarang sudah memberikan bantahan lewat situs resminya, yang di situ juga menyatakan bahwa KAMMI Semarang sudah menyampaikan LPJ yang dimaksud. Menurut saya sangat lebai kalau kemudian ada oknum-oknum tak terkait yang justru meminta bukti LPJ KAMMI. Siapa lo? Memangnya kalau sudah ada bukti LPJ KAMMI, kalian bakal meminta maaf secara terbuka, segencar ketika kalian mencaci kami?
Selamat, pengalihan isu ini berhasil. Orang-orang lebih senang membagikan link yang menyebutkan KAMMI belum kirim LPJ dibandingkan dengan dituntutnya LKPJ Walikota. Kalau orang-orang ini ribut menyatakan KAMMI tidak bertanggung jawab dengan tidak mengirimkan LPJ, harusnya mereka pun lebih ribut ketika program-program yang dijanjikan Walikota tidak tercapai.
Ironisnya, termasuk dalam oknum-oknum yang katanya ingin klarifikasi, tapi berita miring yang dibagikan itu diiringi komentar nyinyir, adalah orang-orang yang kami anggap saudara seperjuangan kami. Sebagian merupakan orang-orang yang dulu berteriak lantang mempertanyakan ke mana mahasiswa sekarang, tapi ketika kami turun, mereka justru ikut mencemooh. Sebagian merupakan orang-orang yang mendorong mahasiswa untuk tetap kritis meskipun "diundang makan" oleh pemerintah, tapi ketika kami tak mempan "disogok" 20 juta, mereka justru menjadi assabiqunal awwalun yang menuding kami tanpa memberikan isu berimbang.
Ketika kami berusaha menyuarakan aspirasi dan menahan fitnah media, tapi justru saudara-saudara kami yang membantu orang-orang melupakan isu utamanya, di situ kadang saya merasa sedih.
Bahkan dari perhatian sekilas saya waktu Mbak Yuni menyampaikan analisisnya, saya bisa menangkap data yang Mbak Yuni bawakan jauh lebih lengkap daripada apa yang disampaikan Pak Sapto.
Ternyata bukan cuma saya yang tidak puas terhadap hasil diskusi kali ini. Ketika saya tunjukkan catatan di atas, Akh Ashim sempat berkomentar, "Anggaran itu jawaban bener tapi ngaco." Anggapannya tentu lebih berlandaskan, karena dia anak Ekonomi, pastinya jauh lebih paham soal itu daripada anak Teknik macam saya. Sebagai lanjutannya, keesokan harinya diadakan konsolidasi untuk aksi pada hari Jum'at saat sidang paripurna penyampaian LKPJ.
Ketika saya sampai di teras gedung DPRD Semarang pada Jum'at (24/4), sudah ada lebih banyak wartawan dibandingkan calon peserta aksi. Sampai sekitar jam 10:15, massa hanya mencapai jumlah 16, maka kami langsung mulai saja aksinya. Dibuka di halaman yang dijadikan tempat parkir mobil beberapa meter di depan teras gedung, lantas kami berjalan kembali menuju teras. Bukan teras juga sih sebetulnya, lebih tepatnya halaman depan teras yang masih dipayungi atap gedung.
Mulanya aksi berjaan amat sangat damai. Kami seolah teriak-teriak sendiri, meskipun corong megaphone diarahkan ke dalam aula melalui pintu lobi yang terbuka. Orasi kami seolah hanya untuk para awak media yang diharapkan dapat menuliskan aspirasi kami dengan sejujurnya. Begitu pula dengan teatrikal penyerahan replika styrofoam Piala Citra Tanpa Prestasi untuk Pak Walikota, dalam hal ini diperankan oleh Akh Deni yang berjas, berdasi, dan mengenakan topeng Pak Hendi. Yah, mungkin ada satu-dua petugas yang menjaga aksi kami, tapi belum terasa kehadirannya.
Dari sinilah semuanya bermula. Kami berharap piala itu dapat diserahkan langsung kepada Pak Walikota yang asli, bukan "bajakan". Barisan depan yang terdiri dari ikhwan pun mencoba masuk ke lobi lewat pintu tengah, tapi dihalangi petugas pengamanan. Melihat pintu di sisi kanan sama sekali bebas dari penjagaan, saya mengajak dua akhwat lain masuk lewat sana. Berhasil masuk sebetulnya, tapi atas nama solidaritas (cieeh) dan persatuan, kami pun kembali ke barisan yang ditolak.
Massa kembali ke posisi semula setelah penolakan, mendadak ada banyak sekali petugas pengamanan di sekitar kami. Jumlahnya saya kira hampir dua kali lipat massa (yang pada titik ini mencapai angka 19). Petugasnya laki-laki semua, pikir saya, jadi kalau ada kontak fisik, terpaksa harus menghindar nih. Tapi kemudian dari arah jam 11, di depan pintu sebelah kiri, terlihat beberapa petugas pengaman berjilbab. Dengan pandangan terus berganti antara orator dan petugas perempuan itu, saya bersiap mengincar titik itu kalau mau dorong-dorongan lagi. Hehe...
Tapi ternyata konflik tidak lagi berhubungan dengan fisik. Piala Citra sempat mau dititipkan pada salah seorang pejabat (saya lupa namanya siapa dan dari mana), tapi bapak ini justru menolak pernyataan sikap yang kami tulis. Dibilangnya datanya dari mana? Lah, waktu diskusi kemarin pun, perwakilan pihak Pemkot juga hadir tanpa data.
Selanjutnya Pak Kuncoro dari Kesbangpol juga menolak statement kami yang menyatakan Walikota tanpa prestasi. Menurut beliau, KAMMI dapat hibah 20 juta, apa itu bukan prestasi? Beliau juga menantang KAMMI menyebutkan, pemerintah mana yang juga memberi dana 20 juta ke KAMMI?
Sayangnya tanggapan dari pihak kami saat itu hanya agar si bapak jangan mengungkit itu. Padahal kalau dipikir lagi, statement itu sangat jelas menunjukkan, nyaris tersurat, bahwa hibah 20 juta yang diberikan itu diharapkan dapat membungkam mulut KAMMI, agar KAMMI adem ayem saja tanpa mengkritisi pemerintah. Lagian, kalau memberi dana hibah 20 juta saja (yang sebetulnya sudah ada peraturannya bahwa itu hak ormas) dianggap sudah berprestasi, pantesan aja Semarang nggak maju-maju.
Sebelum pergi sambil marah-marah, si bapak juga sempat mengomentari Akh Miqdad (korlap) yang cuma pakai sandal jepit, sehingga tidak pantas masuk gedung DPRD. Si korlap ini kemudian menyindir, kalau rakyat miskin seperti dia (yang pakai sandal jepit) tidak diperbolehkan masuk ke gedung DPRD yang mewah ini.
Dalam pernyataan sikapnya, Akh Khanif selaku Ketua KAMMI Semarang sekaligus koordinator aksi menekankan, bahwa aksi kali ini justru bentuk kepedulian terhadap pembangunan Semarang dan cerminan penilaian masyarakat Semarang, bukan untuk menjatuhkan (atau apa lah, kalimat persisnya saya lupa). Dalam hati saya menambahkan, aksi ini bukan untuk melengserkan Pak Walikota, toh tanpa dilengserkan pun sebentar lagi lengser sendiri.
Secara umum, orasi penutup berisi harapan agar seluruh jajaran pemerintah bisa amanah dalam menjalankan tugas dari rakyat.
Ketika pembacaan doa (massa duduk, petugas pun diajak duduk tapi menolak), saya teringat cerita ibu saya: dalam suatu acara bersama pejabat, pembaca doa memohon, "Hukumah pemimpin-pemimpin kami yang menzhalimi rakyat," menghasilkan applause meriah untuk pertama kalinya dalam sesi pembacaan doa. Saya pun mengharapkan doa semacam itu mumpung momentumnya tepat, atau untuk versi halusnya setidaknya begini, "Ampuni dosa pemimpin kami apabila dia khilaf, hukumlah mereka untuk dosa yang direncanakan yang menghasilkan kezhaliman bagi rakyat, jangan hukum rakyat atas apa yang mereka perbuat."
Tapi rupanya Akh Zaka masih cinta damai, dan menutup rangkaian doanya dengan doa rabithah.
Sebelum bubar, kami bersalaman dengan petugas pengamanan sambil bershalawat. Sebelumnya Piala Citra sudah dititipkan pada salah satu bapak pejabat yang saya lupa namanya, yang akhirnya lebih kalem saat menerimanya.
Aksi berakhir damai. Tapi ada pihak yang sengaja merusak kedamaian ini.
Berita pertama tentang aksi ini saya dapat dalam perjalanan pulangnya. Beritanya masih biasa, dalam arti sesuai dengan yang terjadi di lapangan, walaupun beberapa pilihan katanya masih diwarnai opini.
Situasi ramai itu datang ketika ada satu media (perlu disebut namanya kah?) menuliskan Pak Kuncoro menagih laporan pertanggungjawaban (LPJ) KAMMI Semarang terkait dana hibah itu. Ketika membacanya pertama kali, saya coba mengingat-ingat, kapan si bapak bilang begitu. Ukh Dida yang waktu aksi ada di sebelah saya juga tidak mendengar ucapan "KAMMI belum kirim LPJ". Dia mengutip kalimat Pak Kuncoro, "Tahun 2012-2014 KAMMI dapat dana hibah sebesar 20 juta. Apakah itu bukan prestasi? Pemerintah mana yang memberi dana ke KAMMI 20 juta?"
Tapi baiklah, saya tidak akan menyatakan bahwa Pak Kuncoro sama sekali tidak berkata begitu. Mungkin ada yang terlewatkan oleh kami berdua, atau beliau mengatakannya dengan berbisik sehingga hanya korlap dan wartawan yang mendengar. Jika diasumsikan beliau memang mengatakan itu, KAMMI Semarang sudah memberikan bantahan lewat situs resminya, yang di situ juga menyatakan bahwa KAMMI Semarang sudah menyampaikan LPJ yang dimaksud. Menurut saya sangat lebai kalau kemudian ada oknum-oknum tak terkait yang justru meminta bukti LPJ KAMMI. Siapa lo? Memangnya kalau sudah ada bukti LPJ KAMMI, kalian bakal meminta maaf secara terbuka, segencar ketika kalian mencaci kami?
Selamat, pengalihan isu ini berhasil. Orang-orang lebih senang membagikan link yang menyebutkan KAMMI belum kirim LPJ dibandingkan dengan dituntutnya LKPJ Walikota. Kalau orang-orang ini ribut menyatakan KAMMI tidak bertanggung jawab dengan tidak mengirimkan LPJ, harusnya mereka pun lebih ribut ketika program-program yang dijanjikan Walikota tidak tercapai.
Ironisnya, termasuk dalam oknum-oknum yang katanya ingin klarifikasi, tapi berita miring yang dibagikan itu diiringi komentar nyinyir, adalah orang-orang yang kami anggap saudara seperjuangan kami. Sebagian merupakan orang-orang yang dulu berteriak lantang mempertanyakan ke mana mahasiswa sekarang, tapi ketika kami turun, mereka justru ikut mencemooh. Sebagian merupakan orang-orang yang mendorong mahasiswa untuk tetap kritis meskipun "diundang makan" oleh pemerintah, tapi ketika kami tak mempan "disogok" 20 juta, mereka justru menjadi assabiqunal awwalun yang menuding kami tanpa memberikan isu berimbang.
Ketika kami berusaha menyuarakan aspirasi dan menahan fitnah media, tapi justru saudara-saudara kami yang membantu orang-orang melupakan isu utamanya, di situ kadang saya merasa sedih.
Kami adalah orang-orang yang berpikir dan berkendak merdeka. Tidak ada satu orang pun yang bisa memaksa kami bertindak. Kami hanya bertindak atas dasar pemahaman, bukan taklid, serta atas dasar keikhlasan, bukan mencari pujian atau kedudukan.
Kami adalah orang-orang pemberani. Hanyalah Allah yang kami takuti. Tidak ada satu makhluk pun yang bisa menggentarkan hati kami, atau membuat kami tertunduk apalagi takluk kepadanya. Tiada yang kami takuti, kecuali ketakutan kepada-Nya.
Kami adalah para petarung sejati. Atas nama al-haq kami bertempur, sampai tidak ada lagi fitnah di muka bumi ini....
Kami adalah penghitung risiko yang cermat, tetapi kami bukanlah orang-orang yang takut mengambil risiko....
اللَّÙ‡ُÙ…َّ Ø¥ِÙ†ِّÙŠ Ø£َعُوذُ بِÙƒَ Ù…ِÙ†ْ الْÙ‡َÙ…ِّ ÙˆَالْØَزَÙ†ِ ÙˆَØ£َعُوذُ بِÙƒَ Ù…ِÙ†ْ الْعَجْزِ ÙˆَالْÙƒَسَÙ„ِ
ÙˆَØ£َعُوذُ بِÙƒَ Ù…ِÙ†ْ الْجُبْÙ†ِ ÙˆَالْبُØ®ْÙ„ِ ÙˆَØ£َعُوذُ بِÙƒَ Ù…ِÙ†ْ غَÙ„َبَØ©ِ الدَّÙŠْÙ†ِ ÙˆَÙ‚َÙ‡ْرِ الرِّجَالِ
* * *
Update 28/04/2015 06:28
Kesbangpol telah menyatakan tidak pernah menyebutkan bahwa KAMMI belum mengumpulkan LPJ dana hibah, sehingga dapat disimpulkan berita tersebut hanya rekayasa media yang bersangkutan (oh, sebutin ajalah) yaitu Merdeka.com.
No comments