Mencintai Film Sendiri
Udah sejak setahun lalu gue pengin banget refreshing dengan sendirian nonton film di bioskop. Well, kalau kelayapan sendiri ke mall sih lumayan sering, tapi biasanya gue udah punya list tempat yang akan dituju, nggak cuma window shopping nggak jelas. Paling sering sih cafe atau tempat makan, toko buku (buat numpang baca buku yang plastiknya udah terbuka), dan sesekali optik-optik yang harga kacamatanya bisa jutaan (padahal gue dudukin aja bakal remuk) cuma buat periksa mata gratis. Oya, yang jelas mall yang gue tuju harus punya mushola yang layak dan mudah ditemukan, jadi waktu shalat nggak terganggu.
Tapi bioskop... biasanya gue browsing dulu ada film apa aja, dan kebanyakan film-film barat, horror, dan romance yang nggak masuk selera gue. Tahun lalu sih gue sebenernya ngincer 99CdLE, tapi pas gue punya waktu ternyata udah gak tayang. Sebelumnya gue pengin nonton Edensor, tapi juga udah turun waktu gue punya duit. Miris!
Seminggu belakangan ini, dalam kondisi kesuntukan yang bikin pengin kabur dari rutinitas, gue nekat ngajakin adik cewek gue nonton ke CL. Film apa pun yang lagi tayang dah! Soal duit, mumpung adik gue juga lagi libur UN, harga tiket masih 30K; tambah transport kurang-lebih 50K. Tambah jajan... nah ini yang bikin budget bengkak.
Dua film yang gue incar: Guru Bangsa Tjokroaminoto dan Fast & Furious 7. Gue pikir adik gue lebih milih FF7 dibanding Tjokroaminoto, tapi di rumah dia sendiri ragu-ragu. Berdua, kita pun berangkat masih sambil bingung mau nonton apa.
Sampai di tempat, belum ada jam 11, tapi antrean tiket udah sampai luar. Adik gue udah desak terus buat segera ngantre, tapi gue masih kalem aja. Males lah ngantre sepanjang ular itu, mana punggung gue masih sakit buat berdiri lama gara-gara sempet jatuh kena punggung. Gue coba ngajak diskusi dulu, mau nonton apa. Sambil browsing, gue nemu sinopsis Tjokro, dan bikin gue milih itu. Tapi adik gue mendadak kukuh nonton FF7, dan langsung masuk antrean. Saking panjangnya antrean, satpam sampai mengarahkan yang mau nonton selain FF7 bisa masuk antrean baru. Lagi-lagi gue bujuk adik gue, toh antrean lebih singkat, tapi sampai di depan penjual tiket, dia keburu ngomong FF7, gue pun nggak punya kesempatan mengalihkan lagi. Bahkan dia pun langsung nunjuk tempat duduk di sebelah pintu, yang paling bikin gue kesel: mana enak lagi nonton banyak orang wara-wiri di sebelahnya?
Kedongkolan gue lumayan reda waktu Dhuhur-an dulu sebelum masuk. Satu-satunya yang menghibur gue waktu itu adalah, FF7 tayang jam 12.15, jadi masih ada cukup waktu buat shalat dulu, sementara Tjokro tayang pas jam 12.00 dan durasinya lebih dari 2,5 jam, agak mepet buat shalat.
And, it was an awkward moment when you met your brother and his friends there. Yap, dua menit sebelum masuk, gue ketemu sama adik cowok gue bersama dua temennya yang juga mau nonton film yang sama! Itu juga gara-gara mereka niatnya mau nonton Insurgent di Paragon, tapi ternyata nggak tayang (entah lagi nggak atau emang udah nggak), dan mau beralih nonton FF7 tiketnya 10K lebih mahal daripada CL, jadi mereka pun cus ke CL. Udah gitu, di sini hanya dua dari mereka yang bisa duduk bareng gara-gara kehabisan 3 tempat berjejer.
Nah, di akhir iklan-iklan yang biasanya tayang sebelum film dimulai inilah ada satu slide ajakan yang menjadi ide utama kenapa gue nulis ini. Slide itu nggak sampai 10 detik, konten tepatnya lupa, yang jelas intinya ajakan untuk nonton film nasional. Sempat terjadi gumaman singkat di sekeliling gue, dan gue menyadari ironinya: orang-orang yang menerima pesan itu justru sedang akan menonton film luar negeri.
Di awal-awal film, gue mendadak ingat: ini pertama kalinya gue nonton film luar negeri di bioskop. Sebelum ini gue cuma beberapa kali ke bioskop, dan karenanya gue masih ingat bahwa semua kunjungan gue selalu untuk nonton film Indonesia. Pertama kali waktu TK (sehingga gue sendiri harus berpikir keras, apakah kenangan ini nyata atau cuma ingatan tentang mimpi), seluruh siswa diajakin nonton Fatahillah di bioskop di Ungaran (nah, gue lupa apakah waktu itu bioskopnya maish berdiri), dan gue pulang di tengah-tengah jalannya film. Berikutnya, waktu kelas 3 SD, Petualangan Sherina, diajakin ibu gue di Semarang, trus beberapa hari kemudian waktu di Jogja diajakin lagi sama sepupu. Setelah itu sampai SMP gue belum pernah ke bioskop lagi.
Waktu SMA, gue diajakin ibu gue nonton AAC sama KCB 1. Waktu KCB 2 tayang, gue ngikut rombongan om gue yang pergi nonton bareng beberapa ortu lain, jadi gue bocah sendiri di situ. Waktu SMA juga, untuk pertama kalinya gue nonton tanpa didampingi ortu: gue pergi bareng temen-temen gue nonton Laskar Pelangi. Waktu kuliah, berhubung bulik gue bawa anaknya yang masih SD dan balita, film yang dipilih Habibie & Ainun. Tak lama setelah itu, bersama Iip dan UmmiL, gue berencana nonton Breaking Dawn Part 2 di Paragon, tapi berhubung pas antre tiket baru tahu kalau pas liburan tahun baru pakai harga tiket hari libur, kita keluar antrean dan membatalkan acara nonton (belakangan gue bersyukur nggak jadi nonton: ternyata banyak adegan dewasa yang nggak layak ditonton adiknya UmmiL yang waktu itu dia ajakin). Terakhir Assalamu'alaikum Beijing yang gatot mau nonton sendiri gara-gara keburu diajak bareng sama ibu gue.
Gue jadi ingat berita yang baru beberapa hari sebelumnya gue baca, salah seorang pihak produksi dalam negeri (lupa siapa) pernah bilang, secara konten film Indonesia nggak kalah dengan film luar negeri, kekurangan kita cuma di teknologi. Tapi gue pikir, teknologi itu bukan "cuma". Seringkali pesan yang ingin disampaikan luntur gara-gara terlalu banyak "gangguan" yang disebabkan kurangnya teknologi.
Well, minimnya teknologi bukan berarti filmnya jadi kurang bagus secara efek. Misal, gue nggak bilang kalau teknologi Jepang itu jelek, tapi animasi Doraemon atau Naruto kalau dibandingin sama kartun-kartun Disney bakal kerasa bedanya. Gerakan animasi Disney begitu halus, sampai gerak bibir pun sesuai dengan dialog tokoh (gue pernah nonton kartun Snow White edisi bahasa Inggris sama Spanyol, dan meskipun adegan tiap scene sama persis, tapi gerak bibirnya berbeda sesuai bahasa yang sedang digunakan), sehingga terlihat nyata. Sementara Doraemon maupun kartun-kartun Jepang lainnya gerakannya nggak sehalus Disney, garis-garis dan perpindahan animasinya kadang kaku, tapi kita tetep enak nontonnya, tetap ada realitas yang kita rasakan. Malahan "kekakuan" itu jadi kekhasan kartun Jepang.
Bagaimana kartun Indonesia? Untuk yang sepopuler Upin & Ipin pun gue belum nemu, jadi untuk perbandingan terpaksa gue pakai kartun yang waktu kecil sering gue tonton lewat VCD player. Gerakannya kaku banget! Adegan orang jalan aja lebay, kayak orang yang jalannya dibuat-buat untuk sekadar nggaya. Ada scene yang jelas-jelas sama dipakai untuk dua adegan berbeda.
Okelah, kita memang harus mencintai produk dalam negeri. Tapi produsen dalam negeri juga harus berusaha memperbaiki hasil produksinya. Mencintai apa adanya bukan berarti maksa orang buat nerima kejelekan tanpa memperbaiki.
Maka, untuk bisa bersaing dengan film luar yang teknologinya bagus itu, harus ada dari kita yang memproduksi film dengan kualitas setara. Sekalipun teknologi kita minim, jangan korbankan kualitas terbaik yang bisa kita hasilkan. Lebih dari itu, harus ada dari kita yang menguasai teknologi canggih itu dan memilikinya. Agar film-film moralis yang dihasilkan jauh lebih diminati dibandingkan film-film negatif berteknologi tinggi.
Baiklah, resolusi setelah nonton FF7: gue azzamkan harapan agar sebelum usia 30, mampu memproduksi film berkualitas terbaik yang menyampaikan nilai-nilai Islam dan Indonesia. Bismillah!
well, jadi gimana final statement buat film FF7-nye? -,-
ReplyDeleteBiasa aja sih, banyak yg harus disensor -_-
ReplyDelete