Memperingati Reformasi, Melatih Jasadi: Catatan Aksi 21 Mei 2015
Seolah belum cukup, beberapa hari sebelum aksi akbar itu, mahasiswa ditempa isu bahwa ideologinya terjual demi "the last supper" (walaupun mungkin baru "first") di Istana. Okelah, gue gak ikut-ikutan buat menilai apakah perilaku mahasiswa yang memenuhi undangan ini layak atau gak. Gue lebih tertarik berspekulasi tentang si pengundang. Gak perlu gue rinci dugaan konspirasi di balik makan malam itu, termasuk kenapa dilakukan kurang dari seminggu menjelang rencana aksi akbar. Udah banyak juga yang mengulas bahwa kalau memang itu diplomasi, harusnya presiden yang menemui rakyat (diwakili mahasiswa) di tempat yang lebih terbuka dan merakyat, dan mnegenurut gue memang harus diperhatikan juga kenapa presiden yang katanya the master of blusukan ini gak melaksanakan hobi masa lalunya itu. Ditambah lagi, daripada buang-buang duit buat nyogok mahasiswa biar membatalkan aksinya, gue pikir bukannya lebih efektif "membungkam" para mahasiswa ini dengan menganggarkan duit yang dipake menjamu itu buat menyejahterakan rakyat kecil? Subsidi BBM aja dicabut demi pembangunan, katanya, tapi masih sempat menyediakan makanan yang tentunya bukan cuma nasi kucing ini buat mahasiswa.
Pada akhirnya, gue berhasil menemukan semangat yang hilang itu. Karena instruksi dari Pusat udah cukup lama, konsolidasi bareng komisariat bisa dijadwalkan dua hari sebelum aksi, setidaknya memberikan sehari penuh untuk mempersiapkan massa dan perlengkapan. Konsolnya cukup rame; seinget gue, selama ada di KP KAMMI Semarang, baru kali ini peserta konsol sebanyak itu (sayangnya gue lupa bikin presensi buat ngitung jumlahnya).
Oh iya, perlu gue sampaikan juga bahwa meskipun yang ramai dibincangkan adalah aksi 20 Mei, KAMMI se-Indonesia sepakat untuk mengadakan aksi 21 Mei. Banyak pertimbangannya, salah satunya adalah bahwa aksi ini menekanan pada peringatan 17 tahun reformasi.
Oke, cukup pengantarnya. Gue pengin langsung cerita kejadian yang lebih seru di hari H.
Gue cukup excited waktu lihat (calon) massa aksi yang memadati rerumputan tak jauh dari bunderan Jalan Pahlawan, atau gak jauh dari Patung Diponegoro Pleburan. Perkiraan awal di atas 50 lah. Tapi pas lihat presensi usai aksi (dan sampai sekarang belum gue itung, akibat membludaknya jumlah peserta di luar kertas presensi yang disediakan, sehingga urutannya tak sempat dinomori), gue yakin jumlahnya lebih dari 100.
Awalnya sih aksinya standar KAMMI lah, baris-nyanyi-orasi. Bedanya, massa mengenakan atribut topeng Vendetta. Waktu itu gue juga belum bisa mengungkapkan alasan persisnya, sehingga gue menolak ketika diminta diwawancarai, tapi setelah browsing gue menemukan bahwa dalam novel grafis V for Vendetta karya Alan Moore, yang "menceritakan tentang seorang anarkis yang menentang pemerintah saat itu mengajarkan tentang bagaimana sebuah masyarakat tidak seharusnya dikuasai oleh sekelompok orang saja yang mencekokkan kebenarannya sendiri." (Wikipedia) Hubungkan sendiri lah ya dengan aksi kali ini.
Meskipun tema utamanya adalah #UltimatumJokowi dan #LindungiPribumiAtauRevolusi, tak sekalipun gue denger ucapan orator (termasuk pernyataan sikap dari koordinator aksi), bahwa aksi kali ini bertujuan untuk menggulingkan Jokowi. Bahkan dalam salah satu orasi disebutkan, kalau kita menurunkan Jokowi sekarang, belum tentu penggantinya lebih baik darinya. Jadi, kalau berikutnya ada media yang memberitakan massa aksi di Semarang menuntut mundurnya Jokowi, jangan langsung percaya!
Karena fokus utama aksi adalah mengenai perlindungan hak pribumi dari cengkraman asing, massa pun mengkritisi kebijakan Jokowi yang terlalu banyak dikendalikan asing, khususnya di bidang ekonomi. Keresahan ini dituangkan salah satunya dalam bentuk teatrikal: layaknya seorang "pengusaha" topeng monyet sedang mengendalikan monyetnya, seorang pemeran "asing" menarik tali yang mengikat pemeran "Jokowi" dan menyuruhnya melakukan beberapa hal seperti jalan merangkak dan guling-guling di aspal. Bahkan si "topeng Jokowi" ini sempat diberi receh sebelum dihadiahi beberapa lembar duit seratus ribuan (duit siapa yak? Haha...).
Usai nonton "topeng Jokowi", massa mengusung tiruan pocong ke depan dengan iringan tahlil sebagai simbol matinya nurani pemerintah atas penderitaan rakyat. Layaknya kewajiban seorang muslim terhadap saudaranya yang meninggal, si mayat nurani ini pun dibacakan doa.
Selain itu, sebagai peringatan 17 tahun reformasi, massa juga menilai kondisi Indonesia saat ini belum memenuhi cita-cita reformasi yang menginginkan Indonesia menjadi bangsa yang aman, mandiri, sejahtera, dan bebas korupsi. Apalagi ini udah 7 bulan (lebih sehari) sejak Jokowi dilantik jadi presiden, tapi nyatanya kondisi bukannya membaik malah memburuk. Bayi dalam kandungan pun pada usia 7 bulan udah berbentuk manusia sempurna, udah cukup siap buat dilahirkan (meski prematur), makanya beberapa tradisi di Indonesia menyelenggarakan selamatan kalau usia kandungan udah 7 bulan. Diibaratkan kandungan, negara ini udah keguguran kali ya.
Ada yang bilang, "Kan baru 7 bulan, lihat kalau udah selesai dong." Hello, lu belum pernah ngerasain jamannya sekolah pakai sistem cawu? Dengan sistem itu, seorang murid kelas 1 SD bahkan udah dites akhir sebelum genep 4 bulan sekolah! Gue inget ditegur guru kelas gue sendiri waktu rapor cawu I kelas 1 SD keluar, hanya gara-gara gue dapet ranking 9 dari 50-an siswa, itupun akibat gue ketinggalan pelajaran selama hampir seminggu karena ada urusan ke Bogor. Walhasil pascateguran itu, cuma dua kali gue terlempar dari 3 besar (itu pun masih big 4) sampai lulus SD. (Sori numpang curhat.) Belum lagi gue denger dari pejuang beasiswa, satu semester nilai gak membaik, siap-siap dicabut. Di beberapa kampus, satu semester aja nilainya di bawah standar, langsung DO. Kenapa gak nunggu sampai lulus dulu?
So, jangan bilang baru 7 bulan. Justru MUMPUNG baru 7 bulan inilah kita ingatkan kalau emang khilaf, sebelum kebablasan. Apalagi sebelumnya katanya ada tim transisi, wajar dong kita sebagai rakyat mengharapkan beliau langsung cus kerja begitu dilantik. Lebih-lebih motonya mengulang 3 kali kata "kerja".
Kembali ke cerita aksi.
Sayangnya, fokus tuntutan yang kami sampaikan dianggap media kurang menarik untuk diberitakan dibandingkan dengan sedikit kericuhan yang terjadi. Atau "kericuhan besar", tergantung dari sudut mana kalian memandang. Karena emang, kerusuhan semacam itu dalam aksi KAMMI sebelumnya cuma pernah gue alami waktu simulasi aksi dalam DM1 (dengan gue sebagai provokator utama), dan aksi kali ini paling banter cuma tiga perempat dari kerusuhan yang disimulasikan.
Setelah orasi pembukaan di dekat bunderan, massa berjalan menuju depan gerbang Gubernuran Jateng, yang ditutup saat massa mendekat. Tahu bahwa anak KAMMI sholeh-sholeh--para lelakinya begitu memuliakan kaum wanita dengan tidak menyentuhnya--sebarisan polwan menjaga bagian depan gerbang, sementara polisi laki-laki lebih banyak di dalam gerbang, hanya beberapa yang ikut di luar dalam posisi berpencar. Meski barisan ikhwan-akhwat bersisian (bukan depan-belakang), tetap saja para polwan itu berjaga di depan barisan ikhwan.
Melihat itu, gue membisiki beberapa akhwat di sekitar gue untuk bersiap menggantikan posisi ikhwan dan menerobos border polwan itu. Benar saja, demi bisa masuk ke kantor gubernur dan menyampaikan aspirasi pada penghuni gedung itu, perintah maju satu langkah yang kesekian akhirnya menciptakan jarak kurang dari 30 senti antara massa ikhwan dengan polwan, perintah itu berubah menjadi perintah mundur untuk ikhwan dan geser untuk akhwat.
Berada di barisan terdepan (dan mungkin tepat tengah), pikiran gue sempat teralihkan oleh tiga fakta. Pertama, para polwan itu cantik-cantik, masih muda. Sampai-sampai Nurina yang memosisikan diri sebagai fotografer kepikiran bikin meme, "Gimana nggak semangat aksi kalau yang jaga kayak gini?" Haha... Kedua, ada salah satu polwan (yang ini ibu-ibu), pakai jilbab. Tumbuh sedikit respek dalam hati gue, bahwa kita pernah berada dalam perjuangan yang sama, tapi sekarang seolah kami harus melawan mereka. Ketiga, dua-tiga mbak polwan tepat di depan gue juga masih bisa saling melemparkan gurauan terkait apa yang bakal dilakukan. Susah payah gue berusaha menjaga muka agar tetap galak. Hehe...
Singkatnya, dorong-dorongan dimulai. Gue akuin kekuatan gak imbang, walaupun massa akhwat lumayan, dan polwan cuma sebaris, pendidikan fisik pernah diterima jelas jauh beda. Lagi-lagi tepat di depan gue, seorang polwan ikut bantuin dari belakang. Tapi pasukan akhwat baru tumbang ketika seorang polisi laki-laki pun ikut menmberikan dorongan (secara harfiah) dari belakang si polwan. Pasukan akhwat roboh layaknya domino tapi dari depan menimpa belakangnya. Dalam kehebohan yang menyusul, gue cukup kaget mendapati kacamata gue yang patah tengah dan cuma disambung pakai selotip ternyata sama sekali gak goyah dari tempatnya. (Apa sih!)
Tetapi aplikasi suasana simulasi aksi baru lengkap dengan diculiknya seorang akhwat ke dalam gerbang. Polisi mengatakan, kalau memang kami mau masuk, itu udah ada sebiji yang dimasukin. Massa protes, karena prinsip kami satu masuk masuk semua. Usaha pembebasan memperpanas suasana. Dari dua sisi berlainan (dalam dan luar), massa dan polisi sama-sama menarik gerbang. Bedanya, massa menarik agar gerbang membuka sementara polisi menarik agar gerbang menutup. Sempat sih kami menang, gerbang terbuka beberapa desimeter, tapi seorang polwan yang tangguh banget berhasil melawan segenap tenaga massa dan menutup pintunya.
Kehebohan yang sesungguhnya baru dimulai. Baku hantam tak terhindarkan, walaupun gue sempet denger seorang polisi berusaha menenangkan kawan-kawannya. Kacamata Khanif bahkan gak seaman kacamata gue. Satu-dua polisi laki-laki ikut menghalau massa akhwat. Gue coba menarik akhwat mundur, tapi sedikit ragu karena sebelumnya gue mengingatkan akhwat untuk tidak mengikuti instruksi selain dari korlap, dan gue bukan korlap. Untungnya mereka bersedia mundur, walaupun beberapa masih meneriakkan protes pada polisi yang katanya melindungi masyarakat tapi malah menculik aktivis yang mau menyampaikan aspirasi.
Dalam kericuhan itu, gue gak mendengarkan instruksi untuk jongkok. Mungkin saking semangatnya pengin terjun lagi, gue melupakan materi yang pernah gue dapat tentang orang jongkok saat aksi ricuh sudah mendapat perlindungan hukum, dan baru inget waktu Khanif menyebutkannya pas evaluasi. Tapi toh instruksi jongkok ini udah gak terlalu diperlukan buat akhwat. Seorang bapak polisi yang menjaga kami mengajak istighfar, dan seorang polwan yang keibuan pun mengatakan kami ini sama dengan anaknya sendiri. Suasana mendingin di barisan akhwat.
Setelah melalui negosiasi, massa yang ditahan di dalam dibebaskan. Gue kaget, ternyata yang keluar ada dua akhwat! Ada berapa lagi pasukan yang tertawan? Tak jauh dari mereka, ada Ridho yang di pelipis kanannya ada lingkaran kecil merah yang dari tempat gue sepertinya terlalu bundar untuk disebut darah mengalir.
Seperti aksi sebelumnya, usai doa penutup yang dilakukan setelah teatrikal, massa bersalam-salaman dengan para polisi dan petugas lain. Polwan keibuan tadi kami salami dengan cium tangan, dan gue sempet SKSD sama polwan muda yang mukanya cenderung santai, menanyakan aksi-aksi yang dia jaga sebelumnya.
Setelah menunggu lebih dari 4 tahun, akhirnya gue ngalamin aksi yang sedikit seru dengan dorong-dorongan itu (well, kisah keseruan itu pertama kali gue denger waktu SMP, sebetulnya). Sebelum ini, dalam setiap aksi dari KAMMI hampir bebas macet dan rusuh. Mungkin karena pada dasarnya, orang-orang KAMMI tampaknya terlalu cinta damai untuk membuat kerusuhan. Haha... tapi gue ikut aksi dari BEM atau aliansi lainnya, termasuk aksi di Jakarta, gue "dikecewakan" dengan aksi yang datar-datar aja. Ya emang sih, gue juga nggak respek kalau aksinya sampai pakai alat untuk kekerasan, misalnya. Tapi kekuatan jasadi belum teruji kalau hanya berdiri dengan sedikit panas-panasan. Dorong-dorongan boleh lah. Toh mbak-mbak polwannya juga santai aja ngadepin kita. Jadi kalau kita ikut aksi besar yang gak cuma dari KAMMI, kemudian ada provokator di situ, kita gak kaget lagi untuk bisa tahu apa yang harus dilakukan. Dan seringnya, karena bad news is good news, aksi rusuh lebih mendapat perhatian dibandingkan aksi damai, kecuali kalian bisa mendatangkan massa sepanjang beberapa kilometer.
Tapi tetap saja, kekisruhan yang terjadi harusnya masih bisa menggarisbawahi tuntutan yang disampaikan. Gue sampaikan khususnya kepada awak media, silakan kalau mau gencar memberitakan aksi yang rusuh, tapi segencar itu pula memberitakan poin-poin tuntutan massa. Dan dalam satu berita yang sama, bukan beda judul, jadi info yang didapat pembaca gak cuma sepotong. Judul pun harusnya juga mencerminkan tuntutan, bukan cuma "Aksi di Semarang Diwarnai Kerusuhan".
Oke, cukup pengantarnya. Gue pengin langsung cerita kejadian yang lebih seru di hari H.
Gue cukup excited waktu lihat (calon) massa aksi yang memadati rerumputan tak jauh dari bunderan Jalan Pahlawan, atau gak jauh dari Patung Diponegoro Pleburan. Perkiraan awal di atas 50 lah. Tapi pas lihat presensi usai aksi (dan sampai sekarang belum gue itung, akibat membludaknya jumlah peserta di luar kertas presensi yang disediakan, sehingga urutannya tak sempat dinomori), gue yakin jumlahnya lebih dari 100.
Awalnya sih aksinya standar KAMMI lah, baris-nyanyi-orasi. Bedanya, massa mengenakan atribut topeng Vendetta. Waktu itu gue juga belum bisa mengungkapkan alasan persisnya, sehingga gue menolak ketika diminta diwawancarai, tapi setelah browsing gue menemukan bahwa dalam novel grafis V for Vendetta karya Alan Moore, yang "menceritakan tentang seorang anarkis yang menentang pemerintah saat itu mengajarkan tentang bagaimana sebuah masyarakat tidak seharusnya dikuasai oleh sekelompok orang saja yang mencekokkan kebenarannya sendiri." (Wikipedia) Hubungkan sendiri lah ya dengan aksi kali ini.
Meskipun tema utamanya adalah #UltimatumJokowi dan #LindungiPribumiAtauRevolusi, tak sekalipun gue denger ucapan orator (termasuk pernyataan sikap dari koordinator aksi), bahwa aksi kali ini bertujuan untuk menggulingkan Jokowi. Bahkan dalam salah satu orasi disebutkan, kalau kita menurunkan Jokowi sekarang, belum tentu penggantinya lebih baik darinya. Jadi, kalau berikutnya ada media yang memberitakan massa aksi di Semarang menuntut mundurnya Jokowi, jangan langsung percaya!
Karena fokus utama aksi adalah mengenai perlindungan hak pribumi dari cengkraman asing, massa pun mengkritisi kebijakan Jokowi yang terlalu banyak dikendalikan asing, khususnya di bidang ekonomi. Keresahan ini dituangkan salah satunya dalam bentuk teatrikal: layaknya seorang "pengusaha" topeng monyet sedang mengendalikan monyetnya, seorang pemeran "asing" menarik tali yang mengikat pemeran "Jokowi" dan menyuruhnya melakukan beberapa hal seperti jalan merangkak dan guling-guling di aspal. Bahkan si "topeng Jokowi" ini sempat diberi receh sebelum dihadiahi beberapa lembar duit seratus ribuan (duit siapa yak? Haha...).
Usai nonton "topeng Jokowi", massa mengusung tiruan pocong ke depan dengan iringan tahlil sebagai simbol matinya nurani pemerintah atas penderitaan rakyat. Layaknya kewajiban seorang muslim terhadap saudaranya yang meninggal, si mayat nurani ini pun dibacakan doa.
Selain itu, sebagai peringatan 17 tahun reformasi, massa juga menilai kondisi Indonesia saat ini belum memenuhi cita-cita reformasi yang menginginkan Indonesia menjadi bangsa yang aman, mandiri, sejahtera, dan bebas korupsi. Apalagi ini udah 7 bulan (lebih sehari) sejak Jokowi dilantik jadi presiden, tapi nyatanya kondisi bukannya membaik malah memburuk. Bayi dalam kandungan pun pada usia 7 bulan udah berbentuk manusia sempurna, udah cukup siap buat dilahirkan (meski prematur), makanya beberapa tradisi di Indonesia menyelenggarakan selamatan kalau usia kandungan udah 7 bulan. Diibaratkan kandungan, negara ini udah keguguran kali ya.
Ada yang bilang, "Kan baru 7 bulan, lihat kalau udah selesai dong." Hello, lu belum pernah ngerasain jamannya sekolah pakai sistem cawu? Dengan sistem itu, seorang murid kelas 1 SD bahkan udah dites akhir sebelum genep 4 bulan sekolah! Gue inget ditegur guru kelas gue sendiri waktu rapor cawu I kelas 1 SD keluar, hanya gara-gara gue dapet ranking 9 dari 50-an siswa, itupun akibat gue ketinggalan pelajaran selama hampir seminggu karena ada urusan ke Bogor. Walhasil pascateguran itu, cuma dua kali gue terlempar dari 3 besar (itu pun masih big 4) sampai lulus SD. (Sori numpang curhat.) Belum lagi gue denger dari pejuang beasiswa, satu semester nilai gak membaik, siap-siap dicabut. Di beberapa kampus, satu semester aja nilainya di bawah standar, langsung DO. Kenapa gak nunggu sampai lulus dulu?
So, jangan bilang baru 7 bulan. Justru MUMPUNG baru 7 bulan inilah kita ingatkan kalau emang khilaf, sebelum kebablasan. Apalagi sebelumnya katanya ada tim transisi, wajar dong kita sebagai rakyat mengharapkan beliau langsung cus kerja begitu dilantik. Lebih-lebih motonya mengulang 3 kali kata "kerja".
Kembali ke cerita aksi.
Sayangnya, fokus tuntutan yang kami sampaikan dianggap media kurang menarik untuk diberitakan dibandingkan dengan sedikit kericuhan yang terjadi. Atau "kericuhan besar", tergantung dari sudut mana kalian memandang. Karena emang, kerusuhan semacam itu dalam aksi KAMMI sebelumnya cuma pernah gue alami waktu simulasi aksi dalam DM1 (dengan gue sebagai provokator utama), dan aksi kali ini paling banter cuma tiga perempat dari kerusuhan yang disimulasikan.
Setelah orasi pembukaan di dekat bunderan, massa berjalan menuju depan gerbang Gubernuran Jateng, yang ditutup saat massa mendekat. Tahu bahwa anak KAMMI sholeh-sholeh--para lelakinya begitu memuliakan kaum wanita dengan tidak menyentuhnya--sebarisan polwan menjaga bagian depan gerbang, sementara polisi laki-laki lebih banyak di dalam gerbang, hanya beberapa yang ikut di luar dalam posisi berpencar. Meski barisan ikhwan-akhwat bersisian (bukan depan-belakang), tetap saja para polwan itu berjaga di depan barisan ikhwan.
Melihat itu, gue membisiki beberapa akhwat di sekitar gue untuk bersiap menggantikan posisi ikhwan dan menerobos border polwan itu. Benar saja, demi bisa masuk ke kantor gubernur dan menyampaikan aspirasi pada penghuni gedung itu, perintah maju satu langkah yang kesekian akhirnya menciptakan jarak kurang dari 30 senti antara massa ikhwan dengan polwan, perintah itu berubah menjadi perintah mundur untuk ikhwan dan geser untuk akhwat.
Berada di barisan terdepan (dan mungkin tepat tengah), pikiran gue sempat teralihkan oleh tiga fakta. Pertama, para polwan itu cantik-cantik, masih muda. Sampai-sampai Nurina yang memosisikan diri sebagai fotografer kepikiran bikin meme, "Gimana nggak semangat aksi kalau yang jaga kayak gini?" Haha... Kedua, ada salah satu polwan (yang ini ibu-ibu), pakai jilbab. Tumbuh sedikit respek dalam hati gue, bahwa kita pernah berada dalam perjuangan yang sama, tapi sekarang seolah kami harus melawan mereka. Ketiga, dua-tiga mbak polwan tepat di depan gue juga masih bisa saling melemparkan gurauan terkait apa yang bakal dilakukan. Susah payah gue berusaha menjaga muka agar tetap galak. Hehe...
Singkatnya, dorong-dorongan dimulai. Gue akuin kekuatan gak imbang, walaupun massa akhwat lumayan, dan polwan cuma sebaris, pendidikan fisik pernah diterima jelas jauh beda. Lagi-lagi tepat di depan gue, seorang polwan ikut bantuin dari belakang. Tapi pasukan akhwat baru tumbang ketika seorang polisi laki-laki pun ikut menmberikan dorongan (secara harfiah) dari belakang si polwan. Pasukan akhwat roboh layaknya domino tapi dari depan menimpa belakangnya. Dalam kehebohan yang menyusul, gue cukup kaget mendapati kacamata gue yang patah tengah dan cuma disambung pakai selotip ternyata sama sekali gak goyah dari tempatnya. (Apa sih!)
Tetapi aplikasi suasana simulasi aksi baru lengkap dengan diculiknya seorang akhwat ke dalam gerbang. Polisi mengatakan, kalau memang kami mau masuk, itu udah ada sebiji yang dimasukin. Massa protes, karena prinsip kami satu masuk masuk semua. Usaha pembebasan memperpanas suasana. Dari dua sisi berlainan (dalam dan luar), massa dan polisi sama-sama menarik gerbang. Bedanya, massa menarik agar gerbang membuka sementara polisi menarik agar gerbang menutup. Sempat sih kami menang, gerbang terbuka beberapa desimeter, tapi seorang polwan yang tangguh banget berhasil melawan segenap tenaga massa dan menutup pintunya.
Kehebohan yang sesungguhnya baru dimulai. Baku hantam tak terhindarkan, walaupun gue sempet denger seorang polisi berusaha menenangkan kawan-kawannya. Kacamata Khanif bahkan gak seaman kacamata gue. Satu-dua polisi laki-laki ikut menghalau massa akhwat. Gue coba menarik akhwat mundur, tapi sedikit ragu karena sebelumnya gue mengingatkan akhwat untuk tidak mengikuti instruksi selain dari korlap, dan gue bukan korlap. Untungnya mereka bersedia mundur, walaupun beberapa masih meneriakkan protes pada polisi yang katanya melindungi masyarakat tapi malah menculik aktivis yang mau menyampaikan aspirasi.
Dalam kericuhan itu, gue gak mendengarkan instruksi untuk jongkok. Mungkin saking semangatnya pengin terjun lagi, gue melupakan materi yang pernah gue dapat tentang orang jongkok saat aksi ricuh sudah mendapat perlindungan hukum, dan baru inget waktu Khanif menyebutkannya pas evaluasi. Tapi toh instruksi jongkok ini udah gak terlalu diperlukan buat akhwat. Seorang bapak polisi yang menjaga kami mengajak istighfar, dan seorang polwan yang keibuan pun mengatakan kami ini sama dengan anaknya sendiri. Suasana mendingin di barisan akhwat.
Setelah melalui negosiasi, massa yang ditahan di dalam dibebaskan. Gue kaget, ternyata yang keluar ada dua akhwat! Ada berapa lagi pasukan yang tertawan? Tak jauh dari mereka, ada Ridho yang di pelipis kanannya ada lingkaran kecil merah yang dari tempat gue sepertinya terlalu bundar untuk disebut darah mengalir.
Seperti aksi sebelumnya, usai doa penutup yang dilakukan setelah teatrikal, massa bersalam-salaman dengan para polisi dan petugas lain. Polwan keibuan tadi kami salami dengan cium tangan, dan gue sempet SKSD sama polwan muda yang mukanya cenderung santai, menanyakan aksi-aksi yang dia jaga sebelumnya.
Setelah menunggu lebih dari 4 tahun, akhirnya gue ngalamin aksi yang sedikit seru dengan dorong-dorongan itu (well, kisah keseruan itu pertama kali gue denger waktu SMP, sebetulnya). Sebelum ini, dalam setiap aksi dari KAMMI hampir bebas macet dan rusuh. Mungkin karena pada dasarnya, orang-orang KAMMI tampaknya terlalu cinta damai untuk membuat kerusuhan. Haha... tapi gue ikut aksi dari BEM atau aliansi lainnya, termasuk aksi di Jakarta, gue "dikecewakan" dengan aksi yang datar-datar aja. Ya emang sih, gue juga nggak respek kalau aksinya sampai pakai alat untuk kekerasan, misalnya. Tapi kekuatan jasadi belum teruji kalau hanya berdiri dengan sedikit panas-panasan. Dorong-dorongan boleh lah. Toh mbak-mbak polwannya juga santai aja ngadepin kita. Jadi kalau kita ikut aksi besar yang gak cuma dari KAMMI, kemudian ada provokator di situ, kita gak kaget lagi untuk bisa tahu apa yang harus dilakukan. Dan seringnya, karena bad news is good news, aksi rusuh lebih mendapat perhatian dibandingkan aksi damai, kecuali kalian bisa mendatangkan massa sepanjang beberapa kilometer.
Tapi tetap saja, kekisruhan yang terjadi harusnya masih bisa menggarisbawahi tuntutan yang disampaikan. Gue sampaikan khususnya kepada awak media, silakan kalau mau gencar memberitakan aksi yang rusuh, tapi segencar itu pula memberitakan poin-poin tuntutan massa. Dan dalam satu berita yang sama, bukan beda judul, jadi info yang didapat pembaca gak cuma sepotong. Judul pun harusnya juga mencerminkan tuntutan, bukan cuma "Aksi di Semarang Diwarnai Kerusuhan".
Keren!
ReplyDelete