Header Ads

Ramadan atau Ramadhan?

Tak terasa, kita akan segera kembali menjumpai bulan suci nan mulia. Semoga Allah sampaikan kita padanya.

Ramadhan.

Eh, atau Ramadan?

Ah, mana, sih, ejaan yang tepat?

Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, ejaan yang tepat adalah Ramadan. Landasannya, kata tersebut sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia, sedangkan ejaan bahasa Indonesia, menurut aktivis bahasa Indonesia Ivan Lanin, tidak mengenal konsonan rangkap "dh" [1]. Soal pelafalannya bagaimana? Ivan Lanin juga menjelaskan, bahwa pelafalan tidak diatur ketat oleh tata bahasa Indonesia [2]. Jadi, orang bebas memilih melafalkannya dengan hurud "d" ala bahasa Indonesia, atau tepat sesuai makhraj huruf ض dalam huruf hijaiyah.

Akan tetapi, banyak orang masih lebih memilih menuliskannya dengan cara transliterasi: menggunakan "dh". Alasannya, perbedaan huruf bisa menyebabkan perbedaan makna [3], terlebih orang yang tidak tahu asal-usulnya, pasti akan melafalkan sesuai huruf yang membentuknya. Orang dalam kategori ini seringkali mencontohkan dengan penulisan قلب, yang seharusnya dituliskan dengan "qalbu" alih-alih "kalbu" sebagaimana yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia, sebab penulisan dengan huruf ك berarti "anjing". Contoh lain yang kerap digunakan adalah penulisan "salat", yang jika ditulis dengan huruf "s" saja alih-alih "sh", apalagi menggunakan huruf "a" bukan "o", bisa saja dibaca dengan lafal serupa hidangan "salad".

Masih banyak kata lain yang penulisannya diperdebatkan, khususnya terkait dengan istilah-istilah dari bahasa Arab yang digunakan dalam konteks ajaran Islam dan kebudayaan yang menyertainya. Zuhur, Zhuhur, Dhuhur, atau Lohor? Ustaz, ustad atau ustadz? Takwa atau taqwa? Istikamah, istikomah, istiqomah, atau istiqamah? Roh atau ruh?

Perdebatan ini tampaknya semakin meruncing dengan adanya sikap saling menuding. Mereka yang berpegang pada prinsip transliterasi biasanya dari kelompok Islam yang menganggap kelompok lainnya tidak mengakomodasi perbedaan makna ini atau sengaja mengubahnya untuk menjauhkan umat dari makna sebenarnya. Di sisi lain, tidak sedikit pula kelompok yang taat menggunakan KBBI menuduh kelompok lainnya kolot, ngeyelan, tidak berakal, dan sebagainya. Padahal, banyak pula penganut agama Islam yang menggunakan penulisan sesuai KBBI. Ini membuktikan bahwa tidak selamanya realitas berupa dua kubu eksterm.

Saya sendiri, sejujurnya, menempatkan diri pada kedua kelompok tersebut secara bergantian. Pada tulisan formal seperti berita atau surat resmi, saya menggunakan ejaan sesuai KBBI. Dalam kasus ini, saya bangga bahwa bahasa Arab, atau istilah-istilah Islam, memiliki pengaruh sedemikian rupa pada perbendaharaan bahasa Indonesia, bahwa istilah-istilah tersebut sudah tidak lagi dianggap sebagai kata-kata asing dalam bahasa kita. Di sisi lain, saya cukup sepakat bahwa perbedaan tulisan dapat menimbulkan pemaknaan yang berbeda pada artikel-artikel keislaman. Oleh karena itu, pada jenis tulisan ini, saya sesekali memilih metode transliterasi. Demikian juga pada tulisan santai seperti blog berisi catatan harian, saya kadang memilih penulisan seperti cara bacanya agar situasi lebih terasa nyata. Intinya, sesuai konteks sajalah, sebagaimana pesan Ivan Lanin untuk menyesuaikan dengan pembaca [4].

(Sebagai catatan, saya berusaha konsisten dengan aturan transliterasi. Karena huruf hijaiyah hanya mengenal harakat fatah, kasrah, dan damah yang masing-masing kira-kira berbunyi a, i, dan u, saya menggunakan hanya ketiga vokal tersebut dalam mentransliterasikan, misalnya shalat, bukan solat atau sholat.)

Satu kata (atau kalimat?) yang seharusnya sudah mengakomodasi dan bisa mempersatukan kedua kubu di atas adalah إِنْ شَاءَ ٱللَّٰهُ. Fonemnya bisa ditulis dengan "in šyāʾ Allāh" [5]. Beberapa orang menggunakan huruf "A" besar di tengah, berdalih bahwa itu merupakan nama Allah, tetapi kalau kita teliti lagi penulisannya dalam bahasa Arab, "a" di sini masih kepunyaan kata شَاءَ, yang kemudian lebur dengan lafal  ٱللَّٰهُ. Kalau mau membesarkan huruf "a", jadinya "in-sya`a-Allah" dengan membaca ketiga kata tersebut sendiri-sendiri.

Bagaimana dengan opini yang beredar bahwa seharusnya ditulis dengan "sh" dan bukan "sy"? Dalam bahasa Indonesia, ش ditransliterasikan dengan "sy", sedangkan "sh" tadinya merupakan transliterasi untuk ص (transliterasi yang tepat saat ini adalah ṣ, tetapi "sh" sering digunakan saat keyboard tidak mendukung huruf "s" dengan titik bawah). Meski begitu, saya sepakat dengan Ustaz Raehanul Bahraen [6], mereka yang memilih transliterasi "sh" untuk ش seharusnya konsisten juga menuliskan kata lain yang mengandung huruf tersebut dengan "sh", misalnya "mushawarah", "mashaallah", dan "mati shahid".

Saya menganggap kata ini merupakan titik temu antara kubu KBBI dengan kubu "tulis-sesuai-bacaan", karena kata ini sudah masuk dalam KBBI sesuai dengan prinsip penulisan sesuai bacaan.

Jadi, saya mengusulkan agar kedua kelompok ini bertemu. Tidak hanya dibahas oleh Badan Bahasa dan Kementerian Agama, yang bagi saya terkesan eksklusif, saya berharap ada perwakilan dari masing-masing kelompok atau aliran dari masyarakat umum yang tidak bekerja di lembaga atau instansi pemerintahan. Adanya tokoh yang dipercaya masing-masing kelompok untuk menyuarakan ini bisa memberikan dampak yang lebih efektif untuk menyosialisasikan hasil kesepakatan.

Terkait istilah-istilah lainnya, sejauh yang saya baca, Kementerian Agama pernah mengusulkan perubahan beberapa ejaan beberapa kata serapan dari bahasa Arab, dan Badan Bahasa mengabulkan beberapa di antaranya [7]. Salah satunya adalah ejaan "Al-Qur'an" (tadinya ditulis "Alquran") yang perubahannya diterima karena dianggap sebagai nama diri. Kenapa tidak mengusulkan lagi, misalnya dengan menambah konsonan rangkap "dh" dan "sh"? Saya yakin, diskusinya akan panjang, tetapi ini akan lebih memuaskan semua pihak dan siapa tahu bisa menambah khazanah bahasa Indonesia.


Referensi:

[1] Twitter Ivan Lanin
[2] Twitter Ivan Lanin
[3] Ngopibareng.id
[4] Twitter Ivan Lanin 
[5] Wikipedia: Insyaallah
[6] Facebook Raehanul Bahraen
[7] Twitter Ivan Lanin

4 comments:

  1. aku kubu tiga, nulisnya "Romadhon" 😬

    ReplyDelete
  2. Kadang yang bikin bingung juga adalah saat ejaan resminya berubah-ubah. Juga kasihan siswa kelas 3 yang makin puyeng kalau soal kayak gini masuk ke ujian kelulusan 😅

    ReplyDelete
    Replies
    1. Guru bahasanya ikutan puyeng, dikira plinplan, wkwk

      Delete

Powered by Blogger.