Header Ads

Masih Tentang Naik Motor: Jatuh dan Bangun

Pada tulisan sebelumnya, saya bercerita tentang awal mula saya belajar naik motor. Enggak pakai latihan, langsung turun ke jalan.

Setelah itu, saya sedikit lebih pede mengendarai motor. Kontur kampus Tembalang Undip yang naik-turun turut membantu training otodidak saya, walaupun tidak sepenuhnya. Misalnya saja, kalau jalannya naik cukup curam, apalagi lintasannya pendek, saya masih kesulitan. Pernah suatu kali, saya mau parkir di halaman wisma yang terasnya agak sempit tapi jalur menuju ke sana berupa tanjakan tajam. Hasilnya, saya nabrak tembok depan.

Mengingat saya dikenal sebagai orang yang grasa-grusu, teman-teman saya dulunya sering menggoda, "Kalau Lilo udah bisa naik motor, pasti ngebut ke mana-mana, nih."

Penginnya, sih, begitu. Sayangnya, saya juga orangnya clumsy. Pernah lihat Mia Thermopolis di film Princess Diaries? Tokoh princess dadakan ini enggak bisa disuruh berdiri atau duduk tenang dan anggun; ada saja barang yang kesenggol sampai jatuh, patah, dan sebagainya (termasuk diri sendiri). Kira-kira begitu gambaran kondisi motorik saya. Dengan koordinasi anggota gerak yang berantakan, sangat mungkin saya menabrak objek di sekitar saya.

Belum lagi, refleks saya sering terlambat. Teman-teman SMP saya sering menggoda saya dengan mengagetkan saya dari belakang, dan saya baru berteriak kaget sekitar setengah detik kemudian. Tidak instan. Nah, kalau saya naik motor ngebut, lalu kendaraan di depan ngerem mendadak, bisa dibayangkan kejadiannya, kan?

Alhasil, kecepatan tertinggi saya waktu itu empat puluh kilometer per jam. Itu pun hanya berani mengendarai motor di area Tembalang, tidak berani sampai ke jalan raya.

Awal-awal tinggal di Jogja, saya mengandalkan transportasi umum. Baru saat harus kembali ke Jogja setelah pandemi mulai mereda, saya memutuskan membeli motor, karena sedikit parno kalau harus berpapasan dengan terlalu banyak orang asing di luar. Tadinya saya memilih sepeda onthel biasa supaya lebih sehat, tetapi dengan pertimbangan motor akan lebih berguna untuk perjalanan yang lebih jauh dan berkejaran dengan waktu, saya mengalihkan rencana menjadi beli motor. Saat itu juga, saya mulai mengurus dan mendapatkan SIM.

Jalur harian yang saya lalui tidak terlalu padat, tidak terlalu banyak pula kendaraan ngebut. Kendaraan besar seperti bus dan truk juga tidak sebanyak di jalur luar ringroad Jogja. Itu sebabnya saya tidak berani keluar dari wilayah yang dikelilingi ringroad.

Meski begitu, saya tetap memenuhi imbauan PPKM: jaga jarak, hehe. Selalu saya usahakan untuk memberikan space yang cukup lebar antara saya dengan kendaraan di depan, tanpa mengindahkan komentar teman saya, "Kendaraan di depanmu itu juga bergerak!"

Yaa... tapi gimana kalau yang di depan ngerem mendadak?

Ngomong-ngomong soal "kecelakaan", sudah dua kali saya jatuh dari motor di Jogja.

Pertama, di tikungan JEC. Saya bergerak dari arah Blok O dan berbelok ke Jalan Gedongkuning. Saat itu, saya mendadak terpikir, dompet saya ketinggalan, tidak, ya? Saya menepi untuk mengecek dompet. Namun, saya mengerem dengan posisi motor terlalu mepet dengan trotoar. Belum sampai motor berhenti, motor sudah menyerempet trotoar. dan saya jatuh ke arah kiri, di atas trotoar!

Luka luar tidak ada, tetapi terasa ada lebam di bagian paha akibat tertindih motor. Saya tidak berani mengeceknya saat itu, karena saya langsung diajak beberapa bapak untuk istirahat di pos satpam kantor yang di depannya saya terjatuh. Bapak-bapak itu bertanya, "Enggak apa-apa, Mbak?"

"Enggak apa-apa, Pak," jawab saya. "Motornya enggak apa-apa, kan, Pak?"

Lebih mentingin kondisi motor daripada badan sendiri! Habisnya, itu kan motor baru-tapi-bekas!

Saya pun sempat takut mau pulang setelah itu, tetapi memaksa diri. Kali ini mengendarai dengan lebih hati-hati, lebih jaga jarak supaya bisa ngerem tepat waktu.

Kali kedua saya terjatuh, waktu itu pagi hari. Saya mau mampir sebuah swalayan untuk belanja sekalian berangkat ke kantor. Saat tujuan tinggal beberapa puluh meter, ada becak berjalan di lajur kiri. Namanya becak, tahu sendiri seberapa lambat gerakannya, kan?

Saya berusaha nyalip dari kanan. Menurut perhitungan saya, dengan kecepatan becak, saya seharusnya bisa langsung belok kiri setelah menyalip. Saya ambil jalur kanan, saat sejajar dengan becak, saya nyalakan lampu sein kiri dan bersiap belok menuju pintu masuk parkir swalayan.

Akan tetapi, seperti yang pernah teman saya bilang, "Kendaraan lain juga bergerak." Saat saya menepi ke kiri, si becak sudah sampai di titik yang sama dengan saya. Saya nyerempet becak tersebut dan motor saya langsung oleng ke kanan.

Alhamdulillah, jalan itu masih kosong. Tidak ada kendaraan lain yang sedang melintas. Pak Parkir swalayan bergegas menghampiri dan mematikan mesin motor saya, lalu membawanya menepi.

Pertanyaan yang saya ajukan berulang-ulang, "Becaknya enggak kenapa-kenapa, kan, Pak? Lecet enggak?"

Saya khawatir kalau becak itu rusak, saya disuruh mengganti biaya perbaikannya! Hehe.

Alhamdulillah kedua, becak itu baik-baik saja. Motor saya pun secara umum tidak bermasalah. Setelah Bapak Becak berlalu, saya tertatih-tatih menuju parkiran dan berkata ke Pak Parkir, "Saya mau masuk ke swalayan, Pak." Pak Parkir yang baik hati itu lantas memarkirkan motor saya di parkiran swalayan.

Apakah saya jadi trauma dengan dua kali kecelakaan itu?

Sempat, sih. Setelah kejadian itu, saya yang sebelumnya mulai menaikkan kecepatan sampai lima puluh kilometer per jam, sekarang kembali ke angka maksimum empat puluh. Tiap mau pindah lajur, pasti double check apakah ada kendaraan lain dalam radius sepuluh meter dari posisi saya.

Yang paling repot, karena saya pun masih susah mengoordinasikan mata antara melihat ke depan dengan melirik spion.

Nah, bagaimana saya bisa naik motor dengan selamat dengan koordinasi demikian?

Semoga ada bagian tulisan selanjutnya, ya.

2 comments:

  1. whyyyyy
    tentang bermotor saja bisa seseru ini, hahaha
    very good job lil 👍🏻👍🏻👍🏻😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. pengin ada session 3-nya, cuma belum terangkai alurnya~

      Delete

Powered by Blogger.