Header Ads

Kaleidoskop Akhir Tahun: Kuis Kebahasaan

"Another year gone!" kata Dumbledore dalam pesta akhir tahun ajaran Hogwarts.

Saat ini, di dunia nyata, another year is nearly gone. Tinggal beberapa hari sebelum 2022 berakhir dan berganti menjadi 2023. Sebagian besar orang menjadikan pergantian tahun sebagai momentum refleksi atas setahun yang sudah berlalu. Biasanya saya menganggap pergantian tahun ini sama saja dengan pergantian hari biasa, tetapi tahun ini ada cerita khusus yang ingin saya bagikan.

Pertengahan Januari lalu, saya iseng membuat kuis melalui Story Instagram tentang penulisan ejaan yang benar kata-kata tertentu. Penjawabnya memang tidak banyak, karena follower Instagram saya memang cuma dua ratusan. Setidaknya sepersepuluh dari total itu yang menjawab, tetapi beberapa tampak antusias. Ketika sepekan berikutnya saya membuat kuis serupa, mereka masih mau berpartisipasi.

Dari situ, tadinya saya berniat membuat kuis itu secara rutin tiap akhir pekan. Akan tetapi, alasan klise "kesibukan" menahan saya, sehingga hanya beberapa kali saja saya sempat melakukannya; sejak pertengahan tahun, malah hanya dua kali saya bisa membuatnya.

Kuis pertama saya buat karena geregetan. Banyak orang di sekitar saya yang keliru menulis sebuah kata; misalnya, tulisan yang harusnya menggunakan huruf "p" malah ditulis dengan "b", yang seharusnya ditulis dengan "t" malah ditulis dengan "d", atau sebaliknya.Yang bikin dongkol adalah, mereka menuliskan itu di tulisan yang seharusnya resmi, atau setidaknya, bukan percakapan sehari-hari atau tulisan yang memang diplesetkan sebagai slogan atau merek.

Mantap atau mantab? Tekat atau tekad? Lembab atau lembap? Upnormal atau abnormal?

Saya sempat berpikir, apakah justru karena pernah melihat di slogan atau merek tertentu, persepsi orang jadi terbawa, ya? Karena ada merek yang sengaja diplesetkan biar populer, orang malah jadi tahunya ejaan demikian yang benar.

Ada juga yang salah menggunakan istilah tertentu. Kata yang sudah bermakna "tidak" masih ditambah "tidak", jadinya malah "iya". Belum lagi, kita juga sering menggunakan istilah-istilah bahasa asing yang (entah karena popularitasnya atau karena kita tidak menemukan padanan yang tepat, lebih singkat, atau lebih enak didengar) tetapi kita tulis salah.

Bergeming atau tak bergeming? Acuh atau tak acuh? Deadline atau dateline? Pedestrian atau pedestrian way?

Mereka yang sudah mengenal saya pasti tahu kalau saya galak berkaitan dengan ejaan, diksi, dan susunan kata ini. Ya, gimana... Beda tulisan beda arti, lebih-lebih di tulisan formal yang harus baku, gamblang, dan tidak ambigu. Sewaktu kuliah dulu, saya sering menjumpai berbagai permasalahan semacam ini dalam laporan-laporan kegiatan (organisasi maupun akademis), naskah program kerja, surat resmi (organisasi mahasiswa atau bahkan yang dikeluarkan oleh kampus).

Kita mungkin terbiasa berbicara dengan bahasa lisan, sehingga ketika menulis laporan, misalnya, kita menggunakan bahasa lisan apa adanya, dengan bahasa yang hanya bisa dimaknai oleh orang-orang yang terlibat. Padahal, laporan itu ditulis untuk dibaca siapa saja, termasuk yang tidak punya akses langsung terhadap aktivitas kita. Supaya bisa dipahami semua orang, laporan setidaknya harus ditulis dengan struktur kalimat utuh: ada subjek, ada predikat, kalau perlu tambahkan objek dan keterangan.

Jangan lupakan pula soal tanda baca. Salah meletakkan tanda baca bisa mengubah nada bicara sehingga mengubah arti. "Ayo makan Kakek," atau "Ayo, makan, Kakek."

Mungkin orang masih bisa paham kalau saya cerewet dengan kesalahan-kesalahan di tulisan formal. Bagaimana dengan tulisan sebagai percakapan harian, misalnya chat atau unggahan di media sosial?

Secara umum, saya masih bisa menerima beberapa kesalahan yang ada. Namun, tidak jarang juga saya komplain karena adanya kekeliruan ejaan, tanda baca, penggunaan huruf kapital, dan sebagainya, yang membuat makna jadi beda.

Saya pernah mengalami kesalahpahaman seperti ini. Ceritanya, saya sedang mengerjakan tugas kantor dengan salah satu rekan saya. Tugas itu memang menjadi tanggung jawab kami berdua. Kami berkomunikasi lewat chat karena ruangan kami berbeda dan kami malas berpindah tempat, hehe, jadi tulisan yang digunakan memang tidak terlalu sesuai EYD, penuh singkatan, dan menggunakan bahasa sebagaimana percakapan lisan.

Dia bertanya seperti ini. (Saya gunakan fitur kutipan untuk menunjukkan gaya dan cara penulisan yang dilakukan, dengan menyensor beberapa hal yang menjadi rahasia perusahaan.)

banyak kerjaan ya mb?

Saya jawab, "Iya." Lalu dia membalas lagi.

tinggal cek aja ya mb ?
yg *kerjaan 1234* (nama kerjaan disensor)

Saya menjawab,

iya
meh km ambil jg po?

Dia menjawab lagi,

yg *kerjaan 1234* mb boleh

Karena dia tidak menggunakan tanda baca apa pun, saya meletakkan tanda baca dalam bayangan saya sendiri menjadi, "Yang *kerjaan 1234*, Mbak, boleh." Itu berarti, saya mengasumsikan, dialah yang akan mengecek *kerjaan 1234* itu. Ya, sudah, saya lega karena pekerjaan itu sudah ada yang handle sehingga saya beralih mengerjakan pekerjaan lain.

Dua hari kemudian, dia bertanya lagi.

jgn lupa yg *kerjaan 1234* di cek basic loo

Saya menjawab,

lha jare mau km ambil?

Dia berkilah,

kan kemarin aku handel hunting semua
yg *kerjaan 1234* kan *soal 5678* nya udah cek nya yg belum

Saya me-reply percakapan sebelumnya.

lha kemarin bilangnya mau km ambil buat cek, jadi ya tak biarin~

Dia masih bertahan.

Salah tangkep 😌
Yg *kerjaan 1234* mb bolehh
Itu makasdnya mb yg handle

Gubrak!

Rupanya, yang dia maksud di chat sebelumnya itu, kata "Mbak" bermakna kata ganti orang kedua, yaitu, "Yang *kerjaan 1234*, Mbak boleh." Frasa "Mbak boleh" ini bermakna "kamu boleh".

Seharian itu saya jadi misuh-misuh dan berantem sama dia.

Percakapan sehari-hari mungkin memang boleh santai, tapi, mbok, ya, tetap perhatikan tanda baca dan ejaan buat menghindari kekisruhan semacam ini!

* * *

Salah satu circle saya adalah aktivis dakwah (walaupun kayaknya saya cuma jadi beban dakwah aja, sih). Sesekali, saya dengar komentar seperti, "Awas, nanti dikomentari ahli bahasa," atau "Alah, gitu aja diributkan, yang penting orang paham maknanya."

Hmm... Bukankah orang Islam seharusnya adalah orang yang paling teguh dalam berbahasa? Mukjizat rasul yang diutus kepada umat ini saja Al-Qur'an, yang berupa kalam atau "perkataan".

Saya pernah mendengar, dalam satu kajian, bahwa setiap rasul diberi mukjizat sesuai dengan apa yang diunggulkan umatnya. Nabi Musa, misalnya, dianugerahi kekuatan yang melumpuhkan sihir karena ahli sihir waktu itu dipandang sebagai orang yang paling hebat. Para tukang sihir "mengubah" tali menjadi ular, tetapi Nabi Musa mengubah tongkatnya menjadi ular yang lebih besar dan memakan ular-ular kecil itu. Umat Nabi Isa menghargai ilmu pengobatan, maka mukjizat Nabi Isa adalah mampu menghidupkan orang mati dan menyembuhkan penyakit.

Umat Nabi Muhammad, secara umum, sangat menghargai bahasa dan sastra. Pada zaman Rasulullah, orang yang dianggap pandai adalah orang yang mampu bersyair, menguntai kalimat indah, maka Allah turunkan Al-Qur'an yang mampu mengungguli semua kalimat indah itu. Bukankah Muhammad kecil disusukan kepada Halimah As-Sa'diyah, salah satunya supaya beliau bisa belajar bahasa murni, jauh dari peradaban kota yang bahasanya sudah terkontaminasi?

Di luar bangsa Arab, di berbagai kebudayaan, pengetahuan bahasa dan sastra menjadi salah satu tolok ukur kemajuan dan peradaban. Itu berarti, umat Nabi Muhammad (yang mencakup manusia modern hingga hari kiamat nanti) secara umum memang umat yang menjunjung tinggi ilmu bahasa. Kemampuan berbahasa menjadi tanda tingginya akal dan rendahnya hati.

Ingat lagi ketika kita belajar Al-Qur'an, ketika kita menyempurnakannya dengan belajar tahsin. Bukankah kita diajari untuk melafalkan setiap huruf dengan benar? Bukankah kita diingatkan bahwa perbedaan satu huruf atau satu harakat saja bisa mengubah arti? Tidak mungkin, kan, kita membaca Al-Qur'an sekenanya saja, berdalih bahwa "yang penting paham artinya"?

Anggap saja, ketika kita menggunakan bahasa kita sendiri, bahasa Indonesia, dengan baik dan benar, kita sedang membiasakan diri untuk membaca Al-Qur'an dengan makhraj dan tajwid yang tepat. Anggap saja kita sedang melatih diri untuk peka dengan perbedaan yang bisa terjadi saat ada seseorang (termasuk kita sendiri) yang melafalkan bacaan dengan keliru.

Saya jadi ingat, seorang guru tahsin pernah mengatakan, intinya kurang lebih begini. "Belajar tahsin adalah dengan membacanya terus menerus."

Maknanya, jangan sampai kesalahan kita membuat kita jadi takut untuk maju. Jangan karena takut salah, kita berhenti membaca Al-Qur'an. Jangan karena kita takut salah, kita jadi ogah berbahasa. Ada salah masih wajar, ada kesulitan tak mengapa, yang penting kita selalu mencoba untuk memperbaiki setiap kesalahan itu. Justru dari situlah kita akan belajar mengucapkan atau menuliskan sesuatu dengan benar.

3 comments:

  1. "Ayo makan Kakek" dan "Ayo, makan, Kakek" ini seram sekali bedanya.
    Mungkin karena kita sudah terlalu biasa dengan bahasa lisan yang ejaan & strukturnya berantakan, jadi rada gagap ketika beralih ke bahasa tulis yang seharusnya lebih tertata. Anyway, kuisnya menarik sekali! Jadi dapat pencerahan :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kuisnya lanjut gak, ya?
      Kasih ide dong, Kakak, temanya apa lagi. :D

      Delete
    2. Lanjut, hehe. Hm.... Saltik atau kata yang disambung/pisah? Biasanya banyak yang masih keliru (termasuk saya, wkwkwk)

      Delete

Powered by Blogger.