Header Ads

Revisiting Jakarta (1): The Morning Walk

Sudah jamak di kalangan teman-teman gw, bahwa kalau gw ke Jakarta, itu untuk kondangan atau aksi. Makanya, enggak heran kalau kedatangan gw ke Jakarta pertengahan Oktober lalu disambut pertanyaan, "Ada kondangan, ya?" Haha....

Untuk kali ini, tebakan mereka kurang tepat. Kunjungan gw kali ini karena ada acara keluarga. Acaranya sendiri berlangsung Ahad. Emak gw bahkan berangkat dari Semarang Sabtu malam, dan langsung pulang Ahad malamnya karena Senin ada jadwal di kampusnya.

Buat gw, sih, eman-eman kalau ke Jakarta cuma sehari, padahal Sabtu-nya juga libur. Gw pengin jalan-jalan dulu, dong. Sejak dua pekan sebelumnya gw sudah mulai persiapan, salah satunya woro-woro via status WhatsApp, siapa teman yang mau dan bisa diajak ketemuan pada hari itu.

Persiapan lainnya, gw mencari jadwal kereta yang waktunya sedemikian rupa sehingga gw enggak harus shalat di kereta. Pilihan terbaik jatuh pada kereta Taksaka, yang berangkat dari Jogja pukul 9 malam, dan diperkirakan tiba di Jatinegara pukul 3.13. Sedikit kepagian, sih, karena KRL baru beroperasi jam 4 atau setengah 5-an. Ini berarti, gw bakal menunggu dan shalat Subuh di stasiun, trus baru lanjut ke rumah tujuan di Depok.

Btw, ini kedua kalinya gw naik kereta eksekutif jalur Jogja-Jakarta (atau sebaliknya). Biasanya, gw enggak terlalu masalah naik kereta ekonomi; malah, kalau bisa, tiketnya semurah mungkin. Setelah pandemi, gw agak parno membayangkan berhadap-hadapan dengan penumpang lain dengan jarak yang ya-tau-sendirilah-kereta-ekonomi-gimana, kecuali kalau masih berlaku aturan jaga jarak dalam hal pemilihan tempat duduk.

Sesampainya di Jatinegara, gw sempat pangling. Kapan, ya, gw terakhir ke sini? Sekarang sudah beda jauh, euy.

Turun dari peron, para penumpang naik ke lantai dua stasiun. Walaupun tadi penumpang yang turun lumayan banyak, lantai dua relatif sepi. Gw langsung menuju mushala.

Mushalanya terpisah beberapa meter antara mushala laki-laki dan perempuan. Ruangannya juga bersih dan terang. Ketika masuk ada semacam ruangan kecil tempat rak sepatu; bagian kiri mengarah ke tempat shalat, bagian kanan ada tempat wudhu. Sebenarnya tempat wudhu itu cukup terbuka, tapi karena posisinya agak di ujung, tampaknya bisa diterima. Apalagi saat itu masih sepi, hanya ada dua perempuan lain yang sedang tidur, dan dengan mengambil posisi keran paling pojok, gw bisa wudhu dengan nyaman.

Sembari menunggu azan Subuh, gw download aplikasi KRL untuk mengecek jadwal. KRL terpagi melintasi Jatinegara pukul 5 lewat. Jadwal terdekat adalah pukul 4:36 di Stasiun Manggarai. Mepet banget dengan waktu Subuh. Bisakah gw mencapai Manggarai tepat waktu, sementara Subuh baru masuk pukul 4:16? Cukupkah waktu kurang dari 20 menit itu buat turun dan keluar dari Jatinegara, nge-Gr*b ke Manggarai, dan naik kereta tepat waktu?

Begitu azan pertama terdengar, gw langsung berdiri dan shalat Subuh. Lalu, sembari bergegas keluar stasiun, gw sudah mulai pesan Gr*b dengan harapan ketika gw sampai di luar dan berjalan sedikit (biar enggak berantem sama ojek atau taksi konvensional), si driver sudah menunggu dan langsung cus. Tapi akhirnya gw masih perlu nunggu beberapa menit sampai si driver datang, sambil pasang muka kesel sama driver ojek dan taksi konvensional yang maksa-maksa nawarin jasa mereka, sebelum gw ingat bahwa gw pakai masker. Enggak kelihatan, lah, itu muka judes. Wkwkwk.

"Ibunya mau ke mana?" tanya tuh driver ojek pangkalan.

Weh, gw dipanggil "ibu". Udah muka tua, apa, ya? Haha.

"Depok," gw berharap kalau dengar tujuan gw, dia bakal ngerti kenapa gw pesen online dan berhenti nawarin. Enggak bohong juga, kan? Gw kan emang mau ke Depok, cuma ini mau lewat Manggarai dulu.

"Sama saya aja, Bu," tawarnya.

"Udah pesen, kok, Pak," ujar gw males-malesan.

"Cancel aja, Bu," eh, si Bapak masih ngotot. "Berapa, coba, tarif naik online? Saya kasih harga sama, malah lebih murah."

Ya, kali, gw motoran subuh-subuh buta dari Jakarta ke Depok!

Masih perlu beberapa menit sampai driver pesanan gw datang.

"Kak Fadhila, ya?" tanya si driver. Asik, dipanggil "kakak" kali ini.

Gw mengiyakan.

"Ke Manggarai, ya, Kak?" kembali dia mengonfirmasi.

Gw celingukan, meletakkan jari telunjuk ke bibir masker. Jangan sampai si Pak Ojek denger, euy.

"Mau naik KRL, ya, Kak? Ke mana?" tanya driver sembari menjalankan kendaraannya. Obrolan berlangsung sepanjang perjalanan.

"Depok. Paling pagi katanya setengah lima, ya?"

"Iya, kalau mau dapat pagi emang bagus ke Manggarai. Kalau naik dari Jatinegara, agak siang. Itu juga tetap ke Manggarai dulu"

"Jadi bingung, deh, ini. Rutenya udah berubah. Dulu perasaan ada yang langsung Jatinegara-Bogor."

"Kakaknya dari Jawa ini, ya?"

Hmm... selalu, deh, orang Jakarta (atau Jabar juga, ya?) menyebut "Jawa" saja ke daerah-daerah Jatijaya alias Jatim, Jateng, Yogya. Ente kira Jakarta beda pulau, gitu? Masih bisa diterima kalau pertanyaannya, "Kakak orang Jawa?" karena mungkin menanyakan suku. La, kalau ngomongin "dari", berarti kan konteksnya tempat, ya? Jawa dalam konteks tempat itu nama pulau, kan?

"Jogja, Bang."

Salah satu enaknya di Jakarta ini, panggilan ke driver bisa dipukul rata pakai "bang", kecuali kalau kelihatan sepuh banget. Kesannya "bang" lebih general soal usia. Kalau di Semarang atau Jogja, kadang gw masih lihat-lihat, kalau driver-nya kelihatan muda, gw panggil "mas", kalau kelihatan tua, gw panggil "pak". Rada ribet juga, sih.

Sambil ngobrol itu, gw berkali-kali memantau Google Map. Masih jauh, enggak, ya? Si driver udah lumayan ngebut, sih; malah gw rada deg-degan dengan kecepatannya. Untungnya jalanan Jakarta masih sepi sepagi itu.

Jalan di depan gw menikung sebelum berpotongan dengan rel, yang kemudian malah membuatnya jadi sejajar dengan rel. Pada saat itu, sebuah KRL melintas. Melihat arah kereta, gw kira itu adalah kereta yang sebenarnya gw incar.

Yah, telat, deh!

Sama dengan Jatinegara, Manggarai masih sepi sepagi itu. Gw juga sama-sama agak pangling sama stasiunnya. Menurut Pak Satpam yang jaga di depan, jadwal kereta terdekat tujuan Bogor sekitar pukul setengah enam, sekitar 40 menitan lagi. Gw menyusur peron 1 mencari tempat duduk buat menunggu, tapi, kok, enggak ketemu, ya?

Gw balik lagi setelah sekian jauh berjalan. Kembali ke dekat pintu masuk.

"Pak, tujuan Bogor, jalur berapa, ya?" tanya petugas yang paling dekat dengan rel.

"Jalur dua belas," jawab si petugas. "Ibunya nyeberangin rel aja sampai ujung."

Di peron 1 ada kereta, masih kosong melompong, tapi tak tampak tempat yang nyaman buat menyeberang melewati kereta itu.

"Lewatin dalam kereta ini, berarti?" gw memastikan.

"Iya, naik aja."

Nah, waktu itu posisi gw ada di dekat ujung kereta. Mau nyeberang lewat rel, enggak ada peronnya sama sekali; masa gw suruh lewat jalur tanah gitu? Mau nyeberang lewat dalam kereta, undakannya jauh banget itu sama pintu.

Whew, bismillah. Gw lompat naik dan turun kereta, menyeberangi peron. Di ujung cuma ada peron 9.

"Di lantai 2, Bu," kata petugas yang gw tanyai di peron 9.

Karena si petugas menyebut lantai 2, gw kira stasiun ini terdiri dari 2 lantai. Ternyata, lantai 2 itu dihitung sebagaimana penggaris: lantai yang sejajar dengan permukaan tanah disebut lantai dasar, bukan lantai 1. Artinya, gw kudu naik tangga dua kali.

Tangga itu sendiri cukup tinggi. Uniknya, pada setiap anak tangga dipasang perkiraan jumlah kalori yang terbakar saat kita menaiki satu anak tangga. Pagi-pagi buta udah disuruh bakar kalori, ye. Bukan masalah kalau gw datang dengan tangan kosong, atau paling banter dengan satu tas cangklong. Lah, ini... gw bawa satu ransel besar menggembung di punggung, dan satu tas pundak yang isinya juga melimpah di salah satu bahu. Ditambah ukuran badan gw yang lebarnya XXXL, fix, udah kayak buntelan karung digelundungkan vertikal ke atas!

Kenapa enggak ada eskalator kayak di Jatinegara? Heheu.

Sampai di lantai satu, gw memandang berkeliling. Kosong. Bisa, kali, ya, gw buka masker dulu? Perut udah mulai sudukan, napas udah tersengal-sengal.

Sudah begitu, gw lihat tangga berikutnya jauh lebih tinggi.

Erangan pelan meluncur dari mulut gw. Untungnya sepi, enggak ada yang denger.

Dengan tangan kosong aja gw kudu hati-hati banget karena sedikit fobia ketinggian (takut kehilangan keseimbangan dengan ke-clumsy-an gw), apalagi bawa beban berat!

Gw memandang berkeliling. Tak jauh dari tangga, ada lift. Tulisan di sebelah pintu lift mengumumkan bahwa lift sedang tak beroperasi.

Beneran harus naik tangga, ini?

Mencoba keberuntungan, gw berkeliling lantai itu mencari eskalator. Alhamdulillah, ketemu! Gw naik dengan penuh syukur.

Meskipun masih sangat pagi dan di lantai-lantai bawah lumayan kosong, sudah ada beberapa orang di peron 12 dan 13 itu. Gw mengambil tempat duduk yang agak jauh supaya masih bisa buka masker dan menarik udara bebas sepuasnya.

Olahraga episode pertama selesai!

Menjelang pukul setengah enam, peron bertambah penuh. Gini amat, ya, Jakarta. Ini weekend, lho. Kirain ramenya weekdays doang.

Kereta datang. Gw masuk melalui pintu terdekat.

Ada yang aneh dengan gerbong yang gw naiki. Semua isinya laki-laki. Sebiji perempuan pun enggak ada. Serem, ih!

Pindah ke gerbong sebelah, isinya hampir sama. Ada, sih, seorang perempuan, tapi dia duduknya di kursi prioritas.

Geser lagi ke gerbong berikutnya, alhamdulillah, ada beberapa perempuan di sana. Masih ada ruang juga untuk meletakkan tas gembung gw di sebelah.

Walaupun pakai masker, akhirnya gw bisa bernapas sedikit lega. Enggak cukup ngantuk untuk bisa tidur, tapi lumayan bisa istirahat setelah naik-naik ke puncak peron, sembari menikmati suasana KRL yang udah enggak gw naiki sejak... hmm... September 2019?

Tiga jam lagi pun gw bakal naik KRL lagi, kembali ke pusat kota, buat ketemu orang-orang istimewa gw.

Cerita lengkapnya insyaallah gw ceritakan di episode dua, ya. Udah capek nulisnya, nih. Situ juga pasti udah capek bacanya juga, kan? Wkwkwk.

7 comments:

  1. ngos-ngosannya sampai sini sist, wkekek
    ditunggu next-nyaaa 😄

    ReplyDelete
  2. Wah, seru bangeeet petualangnnya naik-naik ke puncak peron

    ReplyDelete
  3. Gw baru baca nih postingan yg ini, kasian amat jauh-jauh dari jogja lgsg nikmatin kejamnya ibu kota. Sekalian pindah sini wae lil wkwk

    ReplyDelete

Powered by Blogger.