Header Ads

I've Been Vaccinated!

Setahun setelah keluarga saya terdampak pandemi, saya dan sekeluarga akhirnya mendapatkan vaksin lengkap. Alhamdulillah. Bagian dari ikhtiar kami melawan virus korona.

Apa yang bisa saya ceritakan mengenai ini?

Saya tidak menafikan bahwa awalnya saya ragu mau divaksin. Bukan karena saya antivaks. Secara umum, saya mengikuti pendapat para ahli soal vaksin sebagai upaya perlindungan diri dari penyakit-penyakit tertentu. Akan tetapi, proses penerapan vaksin di Indonesia yang, menurut saya, sedikit terburu-buru. Benarkah vaksin yang beredar sudah terbukti aman? Kenapa para ahli sendiri, waktu itu, saling berbeda pendapat soal vaksin covid-19 ini?

Perlu digarisbawahi, bahwa dalam Islam ada kaidah, serahkan segala sesuatu pada ahlinya. Soal kesehatan, ya, serahkan pada ahli kesehatan. Soal upaya syar'i, serahkan pada ahli agama. Soal seberapa syar'i sebuah ikhtiar duniawi, ya kombinasikan pendapat kedua ahli ini. Toh banyak juga ahli kesehatan yang paham hukum agama, pun ulama yang tahu ilmu kesehatan.

Jadi, setelah beberapa waktu proses vaksinasi berjalan, dan membaca saran-saran dari ahli kesehatan dan agama yang hujahnya bisa dipercaya, bismillah, saya pun siap divaksin.

Bukan tanpa halangan. Ibu saya memang dapat jatah vaksinasi angkatan awal-awal dari kampusnya, tapi di luar itu, waktu itu masih cukup sulit mendapatkan info valid soal pelaksanaan vaksinasi. Waktu itu kan vaksin memang sedang diprioritaskan untuk lansia atau golongan tertentu. Ada yang membuka vaksinasi untuk umum, tapi dengan syarat mengajak dua lansia. Kan repot; mau cari lansia di mana? Ya, kalau mereka mau.

Belum lagi yang bikin deg-degan, setelah vaksinasi dibuka untuk umum, banyak berita bahwa pendaftar vaksinasi membludak. Ngerinya, antrenya lumayan penuh. Aduh, apa bukan malah jadi kerumunan baru yang saling menularkan?

Singkat cerita, ada info vaksinasi yang diselenggarakan kampus ibu saya untuk keluarga staf. Ibu saya langsung mendaftarkan saya dan adik-adik, dan kami mendapat jadwal vaksinasi setelah Iduladha.

Menunggu panggilan masuk

Karena sudah mendaftar duluan lewat web, kami kira bakal "disimpankan" stok vaksin, sehingga ketika datang, ya, pasti dapat. Ternyata, kami agak kesiangan. Sampai di tempat vaksinasi, kami diberi tahu petugas bahwa stok habis, silakan datang lagi besok.

Wah, terus apa gunanya mendaftar dan mendapat jadwal?

Alhamdulillah, besoknya kami dapat nomor antrean dan mendapatkan vaksin.

Sebulan kemudian merupakan jadwal vaksinasi kedua kami. Dan... lengkap sudah, kami sekeluarga sudah divaksin!

Ada tiga catatan utama saya soal proses vaksinasi ini.

Pertama, sebagai salah satu upaya penanganan pandemi, pengelolaan vaksinasi di Indonesia masih sedikit kacau. Bahwa orang-orang masih harus datang sendiri ke tempat vaksinasi, itu bukti bahwa vaksinasi masih merupakan "sunnah", bukan wajib, di Indonesia. Orang datang atas kemauan sendiri, kadang kehabisan stok walaupun sudah mendaftar. Peserta dari berbagai tempat, malah membuat kerumunan tersendiri. Orang-orang yang antre belum terlalu ditegasi soal aturan jaga jarak minimal satu meter.

Antrean pendaftaran vaksin: sudahkah jaraknya minimal satu meter?

Kalau memang vaksinasi ini program wajib (apalagi dengan "ancaman" segala sesuatunya akan dipersulit tanpa bukti vaksinasi), ya, harusnya pihak berwenang yang jemput bola. Vaksinasi diadakan secara massal sampai level bawah, misal kelurahan, atau bahkan RT/RW. Hampir seperti posyandu, mungkin? Petugas mendatangi masyarakat, bukan masyarakat mendatangi lokasi vaksinasi terpusat. Peserta vaksin dikerahkan oleh lurah atau ketua RT/RW, dijadwal sedemikian rupa sehingga antrean tidak terlalu banyak.

Repot? Petugas kurang? Stok vaksin terbatas?

Ya, ini memang risiko kalau Indonesia sedang menggenjot vaksinasi supaya pandemi lekas usai. Supaya herd immunity segera terbentuk. Supaya kalau mau menerapkan peraturan wajib membawa bukti vaksinasi, aturan itu menjadi masuk akal karena vaksinasi sudah diupayakan menjangkau semua orang.

Supaya kita tidak perlu lagi PPKM berjilid-jilid dengan berbagai level kepedasan, eh, keketatannya. Supaya masyarakat kembali bisa mencari nafkah dengan tenang tanpa harus memilih antara mati karena wabah atau mati karena kelaparan.

Kedua, awalnya saya kira proses skrining ini berupa serangkaian tes medis untuk membuktikan bahwa kita dianggap "aman" untuk divaksin. Misal, tes saturasi dan frekuensi napas. Ternyata, selain cek suhu badan dan tekanan darah, proses skrining itu tak lebih dari wawancara singkat riwayat kesehatan peserta vaksinasi.

Pertanyaan-pertanyaannya kurang lebih seperti, pernah kena gejala covid dalam 3 bulan terakhir? Pertanyaan yang, kalau saya terlalu bodoh atau licik, bisa saja saya jawab "tidak" padahal saya mengalaminya, namun saya tidak sadar akan kondisi itu atau berbohong supaya lolos skrining.

Yang saya alami saat itu, tekanan darah saya saat vaksinasi pertama sedikit tinggi. Entah karena memang sedang sakit, atau saya agak gugup. Tapi untunglah, saya masih diizinkan maju ke tahap selanjutnya. Pada saat vaksinasi kedua, tekanan darah saya sudah kembali normal. 

Ketiga, saya mengapresiasi petugas yang menyuntikkan vaksin kepada saya pada vaksinasi pertama. Saya dipanggil ke bilik bersamaan dengan seorang peserta laki-laki. Namun, petugas perempuan dalam bilik tersebut mengajak ngobrol saya beberapa waktu, katanya supaya peserta laki-laki tadi bisa keluar dulu sebelum menyuntikkan vaksin pada saya. 

Terima kasih telah menjaga kehormatan saya sebagai perempuan.

Suasana antrean di dalam ruang vaksin

Sedikit perbedaan saya rasakan saat vaksinasi kedua. Walaupun peserta yang dipanggil bersama saya perempuan, dan petugas yang menyuntik juga perempuan, namun petugas pencatat di bilik saya laki-laki. Saya sedikit mengharapkan sikap yang sama dari petugas yang menyuntik sebagaimana petugas di vaksinasi pertama, namun sepertinya petugas kali ini agak bergegas. Selagi dia menyuntikkan vaksin ke lengan saya, sebisa mungkin saya berusaha mengulurkan jilbab saya menutupi lengan sambil mengawasi petugas laki-laki itu yang sejauh ini lebih fokus ke catatannya.

Sebagian orang mungkin memberikan dalil darurat untuk kondisi demikian, tapi bagi saya, selama masih bisa diupayakan untuk melindungi aurat kita, kenapa tidak?

Nah, saran saya bagi akhwat yang mau vaksin, selain mengenakan manset yang cukup panjang sampai menutupi atas separo atas lengan, pakai juga pakaian yang lengannya sangat longgar supaya bisa dilipat ke atas ketika mau disuntik.

Efek pasca-vaksinasi?

Pada saya, tak lebih dari sedikit lemas, sedikit pegal, dan sedikit kenaikan suhu badan. Ya, sedikit.  Itu pun hanya saat siang sampai sore. Malamnya saya sudah merasa baikan. Alhamdulillah 'ala kulli hal.

Setelah vaksinasi lengkap ini, apa saya jadi bebas keluar rumah?

No.

Vaksin ini cuma kayak helm. Sebagai pelindung saja. Apa kalau sudah pakai helm, kita jadi bebas ngebut di jalan? Nggak juga, kan. Bahkan, bisa aja kita udah jalan pelan-pelan ikut aturan lalu lintas, tapi ada orang yang ugal-ugalan nyerempet kita sampai jatuh. Tapi setidaknya, dengan pakai helm, efek cedera yang kita alami bisa diminimalisai.

Vaksin pun demikian. Kita udah jalani protokol kesehatan dengan ketat. Keluar seperlunya, sudah dibatasi, jaga jarak, pakai masker. Eh, masih ada orang yang abai protokol kesehatan, terus dia menularkan ke kita. Kalau qadarullah kita kena, insyaallah efeknya pun tidak separah mereka yang belum vaksin.

Kena covid memang takdir. Hidup mati juga sudah digariskan. Tapi yang ditanya Allah nanti bukan kita kena covid atau enggak, melainkan ikhtiar apa yang sudah kita laksanakan dalam menjaga kehidupan manusia di sekitar kita. Ikhtiar ada yang ukhrawi, seperti doa, banyak zikir, tawakal. Ikhtiar juga ada yang duniawi, seperti menjaga protokol kesehatan dan menerima vaksinasi.

Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sahabatnya yang sedang mengawinkan kurma. Lalu beliau bertanya, “Apa ini?”

Para sahabat menjawab, “Dengan begini, kurma jadi baik, wahai Rasulullah!”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, “Seandainya kalian tidak melakukan seperti itu pun, niscaya kurma itu tetaplah bagus.”

Setelah beliau berkata seperti itu, mereka lalu tidak mengawinkan kurma lagi, namun kurmanya justru menjadi jelek. Ketika melihat hasilnya seperti itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Kenapa kurma itu bisa jadi jelek seperti ini?”

Kata mereka, “Wahai Rasulullah, Engkau telah berkata kepada kita begini dan begitu....”

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim, no. 2363)

1 comment:

Powered by Blogger.