Header Ads

Obituari: Yang Seharusnya 58



Assalamu'alaikum, Bapak...

Bagaimana kabar Bapak? Semoga Allah selalu mencurahi Bapak dengan rahmat dan ampunan.

Hari ini, 31 Juli. Biasanya kita mengucap doa agar umur Bapak berkah, sembari mensyukuri kehidupan yang Allah berikan hingga saat itu. Namun hari ini, 58 tahun setelah Allah hadirkan Bapak ke dunia, Allah sudah mengganti kehidupan itu dengan kehidupan yang lebih abadi.

Bapak,

Ingatkah, waktu aku kecil, kita suka "berdansa" di pinggir jalan? Ketika Bapak menunggu bus jemputan untuk berangkat kerja, aku suka ikut menunggu di luar pagar. Sekitar jam setengah enam pagi, biasanya. Kita sambil berbincang percakapan ringan yang aku sudah lupa apa saja, lalu menyelinginya dengan gerakan-gerakan dansa. Tertawa ketika orang-orang yang lewat terbengong-bengong melihat kita.

Sejak kecil, aku sering menghabiskan waktu bersama Bapak berdua saja. Apalagi waktu itu Ibu sedang melanjutkan kuliah di Jakarta.

Ketika adik lahir di Bogor, aku dan Bapak berangkat malam itu juga dari Semarang naik kereta. Perjalanan yang berulang kali diceritakan Bapak, karena malam itu ada banyak laron masuk ke kereta, yang katanya membuatku tak bisa tidur nyenyak. Turun di Stasiun Gambir, melewatkan subuh di sana. Lalu bertanya pada petugas, "KRL ekspres ke Bogor jam berapa?"

Aku masih ingat, petugas itu menjawab, "Paling pagi jam 8. Kalau mau yang terdekat, jam 6, tapi bukan ekspres."

Akhirnya kita naik KRL yang biasa. Sampai Bogor, sepertinya Bapak masih sempat mengajakku jalan-jalan, melihat rusa.

Masih waktu aku kecil, Bapak membantu aku belajar menjelang tes akhir cawu dengan cara unik. Bapak me-review pelajaran sambil menunggu antrian aku periksa ke dokter gigi, atau sambil memandikan aku. Dan Bapak mau-mau aja waktu aku mengajukan permintaan absurd, "Tulisin jawabannya di jidatku biar aku inget terus."

Bapak,

Sebagai pembimbing debat di sekolahnya, Bapak juga ingin aku bergabung ke tim debat sekolah. Itu tercapai waktu aku kelas dua SMA. Banyak motion yang aku bahas dengan Bapak di rumah, sekali bahkan pernah mengajak temanku ke rumah pada malam sebelum lomba.

Salah satu lomba debat yang kuikuti, sekolah Bapak juga mengirimkan dua timnya. Lucunya, di babak pertama timku harus berhadapan dengan salah satu tim itu. Pas ditanya dukung siapa, Bapak santai aja menjawab, "Dukung sekolah Bapak, lah, kan Bapak pembimbingnya."

Tapi pada akhirnya, Bapak nggak masuk ruangan sama sekali untuk menghindari subjektivitas. Hehe....

Bapak,

Kita memiliki satu kesenangan yang sama: nonton bulutangkis. Dulu memang jarang nonton bareng kecuali event tertentu yang ditayangkan di TV nasional. Tapi berawal dari gigihnya Bapak mencari video final Kejuaraan Dunia 2013 (ketika Owi/Butet dan Ahsan/Hendra memenangkan emas), kita jadi mulai sering berburu tontonan bulu tangkis. Dan ternyata itu berlanjut sampai lebih dari 6 tahun ke depan.

Tapi satu hal yang aku kagumi dari Bapak. Sesenang apa pun dengan bulutangkis, kalau udah waktunya shalat, ya, Bapak langsung ke masjid. Mau pertandingan lagi seru-serunya, pemain favorit lagi match point, nggak peduli—bahkan selama perjalanan tenang-tenang aja kayak biasa. Beda sama aku yang (dulu) kadang nungguin interval dulu cuma buat wudhu, trus shalatnya nunggu kalau break antar-game.

Perhatian Bapak pada waktu shalat ini, kuakui, adalah hal yang paling membekas buatku. Dalam setiap perjalanan, kalau sudah waktunya shalat, Bapak memilih melipir ke masjid atau mushala terdekat supaya bisa shalat dulu.

Biasanya memang ada masjid atau mushala tertentu yang dikunjungi Bapak, karena sudah akrab dan nyaman dengan lokasinya, apalagi kalau waktunya sudah mepet. Namun, kalau masih ada jeda waktu, Bapak juga suka explore masjid-masjid lainnya. Tak heran, Bapak sering bercerita, "Hampir semua masjid di Semarang sudah pernah Bapak datangi."

Kalau waktu shalat mepet banget dalam perjalanan, Bapak juga tidak keberatan shalat di mushala SPBU. Lama-lama, aku juga meneladani ini dari Bapak; aku jadi tidak malu kalau harus numpang shalat di tempat-tempat yang kusinggahi. Mungkin dalam versi yang lebih "frontal"; pernah nggak nemu masjid yang nyaman (terutama tempat wudhunya kurang tertutup), aku numpang shalat di resto Waroeng Steak!

Rupanya ketepatan Bapak soal waktu shalat ini juga dikenang oleh banyak orang yang mengenal Bapak. Ada yang cerita, kalau lagi mengisi ekskul, lalu terdengar azan, Bapak langsung menghentikan kegiatan itu untuk shalat. 

Bapak,

Mungkin dengan cara itulah Allah ingin orang mengenang Bapak. Amalan sederhana, namun bermakna. Semoga aku juga bisa lebih mengikuti teladan Bapak yang satu ini.

Bapak,

Ketika Bapak masih ada, doa Bapak adalah salah satu penopangku menjalani hidup. Kini tiba giliranku untuk mengalirkan doa buat Bapak, walaupun mungkin belum bisa sebagaimana doa Bapak untukku. Namun aku tak pernah putus dalam berharap, semoga Allah menyempurnakan pahala syahid buat Bapak, sebagaimana dulu Bapak selalu berusaha menyempurnakan wudhu dan shalat Bapak.

Salamku,

Gadis kecilmu, selalu.

4 comments:

Powered by Blogger.