Header Ads

Film "212: The Power of Love", Semangat Sekuat Nama


Tidak banyak ruang untuk film-film baik di Indonesia. Sebagian realitanya adalah industri film lebih tertarik memproduksi film yang mengikuti selera pasar daripada membawa misi kebaikan bagi masyarakat. Sementara, masyarakat sendiri memandang sebelah mata terhadap film-film baik, hanya karena kekurangan-kekurangan teknis yang menyertainya. Padahal, sumber daya untuk membuat film baik memang jauh lebih sedikit, bahkan tak jarang pembiayaannya dilakukan secara keroyokan.

Begitu terus permasalahan film baik ini, berputar-putar saja. Maka harus ada usaha untuk memotong lingkaran setan ini. Terlepas dari kontroversi halal-haramnya nonton di biskop, kita semualah, yang menginginkan film baik untuk anak bangsa, yang menggencarkan dukungan terhadap film-film baik ini, salah satunya dengan menontonnya. Minimal, tidak menggembosinya.

Bahkan sebelum diluncurkan, film 212: The Power of Love sudah banyak tentangannya. Para pembenci menyebutnya ditunggangi kepentingan politik, sebagian kaum muslim sendiri pun sama mencelanya dengan menyebut film ini akan menguntungkan para kapitalis. Untuk kelompok pertama, buktikan saja dengan menontonnya, seberapa besar kepentingan politik yang masuk dalam film ini. Untuk kelompok kedua... well, kita memang berbeda metode dakwah, tetapi tolong jangan saling mematikan, kecuali engkau ingin meringankan tugas para musuh yang ingin kebaikan lenyap dari muka bumi.

Film 212: The Power of Love hadir dengan misi menyebarkan cinta kepada masyarakat dunia, khususnya Indonesia. Cinta pada agama, cinta pada bangsa, pada keluarga, pada kawan, pada sesama.

Secara ringkas, kisah ini bercerita tentang Rahmat, seorang anak kyai dari Ciamis yang ternyata justru memiliki pemikiran berlawanan dengan ayahnya. Tidak menyukai hal-hal berbau agama, dia memilih mengambil beasiswa di Harvard, dan berhasil menjadi jurnalis terbaik di Indonesia. Dalam tulisan-tulisannya, dia justru memproklamasikan penentangannya terhadap Islam. Ketika sang ayah hendak bergabung dalam Aksi Bela Islam III di Monas, Rahmat mati-matian berusaha menggagalkan keberangkatan ayahnya. Perjalanannya menahan sang ayah justru membuatnya perlahan menyadari keindahan Islam yang sejak kecil coba ditanamkan sang ayah dalam dirinya.

Meskipun mengambil latar peristiwa Aksi Bela Islam III, yang riil terjadi pada Jumat, 2 Desember 2016 (dan karenanya dikenal dengan Aksi 212), film ini justru tidak memfokuskan cerita pada peristiwa di balik terjadinya aksi damai terbesar sepanjang sejarah tersebut. Tampak jelas para kru ingin menghindari tafsir politis yang mungkin terbentuk dengan tidak menyinggung peristiwa pelecehan ayat Alquran oleh seorang oknum, bahkan nama oknum tersebut sama sekali tidak disebut. Plot dibuat sedemikian rupa sehingga seolah-olah kisah yang dialami Rahmat "secara kebetulan" terjadi bersamaan dengan bergulirnya Aksi 212. Karenanya, sangat jauh bila dikatakan film ini merupakan film politis.

Penekanan plot yang paling kuat adalah tentang hubungan antara anak dengan orang tua yang berbeda ideologi. Keduanya pun sama-sama kuatnya dalam mempertahankan ideologi masing-masing. Ini merupakan isu yang selalu relevan di setiap zaman, dialami oleh banyak keluarga, dan film 212 dengan tepat memberikan solusi untuk mengatasinya.

Amalan ruhiyah apa yang dilakukan oleh para kru dalam proses produksinya? Sampai-sampai film ini begitu menggetarakan jiwa.

Bagaimana rasanya punya orang tua yang kita anggap tidak mengapresiasi capaian kita? Bagaimana rasanya punya anak yang berprestasi tinggi, tapi lupa dengan agamanya? Bagaimana rasanya jika hubungan kawan dekatmu dengan ayahnya merenggang di depan mata?

Bagaimana rasanya menonton film dengan latar sebuah kejadian yang kau ada di dalamnya? Ya, Allah memberikan saya kesempatan untuk hadir dalam Aksi 212. Saya tahu betapa indah dan damainya aksi yang berlangsung. Tetapi melihatnya dalam tangkapan kamera seperti itu... rasanya seperti dibawa lagi ke momentum tersebut. Mengingatkan ruh yang kuat di sana, ukhuwah yang sedemikian terasa, alasan kenapa aksi itu terjadi, dan akhirnya tersadar... seberapa dekat hubungan diri ini dengan Alquran yang saat itu ingin dibela kehormatannya?

Apa yang disampaikan dengan hati, akan sampai juga ke hati. Pastilah para pembuatnya begitu tulus cintanya hingga film ini merasuk hingga ke sanubari. Mengajak kita kembali pada jati diri.

The power of love, kekuatan cinta, bukan semata nama, tetapi juga semangat hadirnya film ini.

Kekuatan cinta pula yang mampu menyisihkan kekurangan-kekurangan kecil soal teknis film 212, membuatnya menjadi film yang mendekati sempurna. Di antara film-film dengan sumber daya minimalis, ini adalah salah satu yang memiliki kualitas terbaik. Sebab cinta mampu mengalahkan segala.

Meskipun mayoritas tokohnya beragama Islam, nilai-nilainya sangat universal, bisa diterapkan untuk semua agama. Karena itu, 212: The Power of Love layak ditonton oleh setiap insan yang menginginkan kedamaian bagi Indonesia.

Marilah senantiasa berharap, dengan semakin populernya film-film baik, semakin banyak pula industri film yang berminat menggarap dan menayangkannya, dan akhirnya masyarakat memiliki alternatif tontonan yang mendidik.

Info bioskop yang menayangkan film 212: The Power of Love dari akun Facebook fanpage Helvy Tiana Rosa pada 12 Mei 2018 pukul 14.31 WIB

No comments

Powered by Blogger.