Header Ads

Percayalah, Keajaiban Itu Ada

Pada awalnya, ingin rasanya menuliskan seluruh proses peyelesaian Tugas Akhir alias TA, terinspirasi dari catatan di blog seseorang yang membuat semacam diary skripsi. Tapi apa daya, mau nulis laporan TA saja buntu, kok masih sempat-sempatnya nulis blog. Terlepas dari apa pun, rasanya sekarang ingin bayar utang tulisan itu, dan mungkin sekalian saja menceritakan, bukan hanya tentang TA, tapi bagaimana mengakhiri satu fase kehidupan bernama kuliah. Semoga bisa menjadi pelajaran bagi pembaca.

* * *

Saya ingin membuka dengan sebuah pengakuan, lama studi saya hampir 7 tahun. Atau, sesuai yang tertulis pada biodata wisudawan, 6 tahun 7 bulan. Mengapa butuh waktu sedemikian lama? Pertanyaan itu adalah yang pertama kali ditanyakan penguji waktu sidang. Hanya samar-samar dalam ingatan, apa jawaban waktu itu. Kalau dibilang malas, saya tak ingin menyangkal adanya faktor itu. Tapi sejak pertengahan kuliah, memang ada perasaan “salah jurusan”; tidak hanya dari segi materi perkuliahan, banyak hal yang membuat istilah itu cocok dalam konteks ini. Dan bagi saya, cukup luar biasa bahwa saya tidak memutuskan “menyerah” di awal dengan pindah jurusan, atau berhenti kuliah, melainkan tetap berusaha menyelesaikan apa yang dulu pernah saya pilih sebagai jalan hidup. Saya tidak terlalu memusingkan bagaimana nanti cari kerja dengan nilai yang ngepres ini, karena sejak awal prinsip saya, kuliah bukan untuk cari kerja, tapi cari ilmu. Pastilah ada yang bisa saya ambil dari proses perkuliahan, secara akademis, sebab kuliah adalah tempat untuk belajar berpikir secara ilmiah, terlepas dari hardskill yang seharusnya bisa didapat di sini.

Itu pula kesulitan saya untuk memulai mata kuliah pamungkas bernama Tugas Akhir. Kalau dihitung secara bersih, alias benar-benar mulai mengerjakan dari nol, TA saya selesai dalam jangka waktu 8-9 bulan. Tapi beban utang kuliah yang wajib diulang, justru kuliah-kuliah dengan tugas yang cukup berat, dan ini mengurangi fokus untuk mengerjakan TA. Bahkan topik TA pun saya mengambil topik teringan yang bisa dilakukan mahasiswa Siskom, karena tidak terlalu banyak coding rumit yang harus dilakukan. Project yang dibuat berbasiskan Adobe Flash, sesuatu yang di kampus cuma diajarkan dalam 1 kali pertemuan praktikum (yang bobotnya 1 SKS) oleh asisten dan bukan program utama yang diajarkan dalam perkuliahan. Saya bahkan baru mulai mengenal lebih jauh aplikasi itu saat Kerja Praktik.

Kata nasihat “bijak” yang bertebaran di internet, “Jangan rusak silaturrahim dengan pertanyaan kapan: kapan lulus, kapan wisuda, kapan kerja, kapan nikah, kapan punya anak, dll,” itu memang benar. Terlebih si penanya tidak terlalu akrab atau berwenang, dan menanyakannya hanya untuk berbasa-basi demi mencari topik pembicaraan. Tidak bosankah menanyakan pertanyaan itu? Bahkan yang ditanya pun sudah bosan menjawab dengan, “Doakan saja.” Kalau saja tidak ingat sopan santun, mungkin sudah ditendang itu penanya kalau tidak memberikan solusi riil seperti support dana atau bikinin TA-nya, misalnya (hehehe). Dalam kasus saya, saya jadi menghindari bertemu beberapa (banyak) orang, baik di dunia nyata maupun maya, seraya dalam hati berharap semoga Allah memberi cukup waktu bagi saya untuk kembali menyambung komunikasi setelah lulus.

Bagi sebagian orang, jika berada dalam posisi saya yang waktu “hidup”nya di kampus tinggal satu tahunan, mungkin akan berpikir praktis: buat program seadanya sajalah, tak perlu sempurna. Bahkan banyak orang pun menyarankan itu ke saya. Tapi entahlah, saya hanya merasa, ini karya ilmiah yang mungkin saja akan dijadikan panduan bagi peneliti selanjutnya, seperti saya juga menggunakan laporan TA teman saja sebagai panduan penelitian ini. Dalam kondisi begitu, saya seringkali merasa stuck karena idealisme menuntut saya membuat program TA yang sempurna; di sisi lain ada tenggat waktu yang terus mendekat. Ini pula yang membuat saya cukup frustrasi dalam mengerjakan TA, yang pada mulanya memakan waktu cukup lama.

Setiap lihat kalender smartphone menunjukkan tanggal 1, semakin panik saja rasanya. Kok secepat ini? Hari dan bulan berlalu tanpa disadari, karena penanggalan dalam pikiran hanya ada Juli/Agustus, Oktober, Januari, April... alias bulan-bulan dilangsungkannya masing-masing periode wisuda.

* * *

Kalau teman-teman bilang, dalam proses TA, yang paling lama adalah ketika sampai pada Bab III, saya membuktikannya. Bab I dan II memang butuh waktu untuk mencari landasan ilmiah penelitian, bisa diajukan dan disetujui dulu oleh pembimbing; tetapi Bab III alias perancangan secara praktis mencakup pembuatan TA itu sendiri, yang kalau masih bermasalah, jelas tidak akan bisa lanjut kalau program belum jadi. Bab ini memakan waktu paling lama. Alhamdulillah, begitu program selesai, langsung lanjut pengujian oleh user, laporan Bab IV dan V hanya butuh waktu seminggu untuk menyelesaikan, tanpa terlalu banyak revisi.

Tentang revisi, saya bersyukur tidak mengalami terlalu banyak revisi yang membuat ribet. Kedua pembimbing pun termasuk yang relatif mudah ditemui, dan memudahkan mahasiswa yang dibimbingnya. Keluhan terkait bimbingan, paling-paling hanya banyaknya kertas yang digunakan, karena setiap bimbingan dan menyerahkan revisi, harus ngeprint ulang. Tetapi saya pun memahami, mengoreksi di layar kaca seringkali tidak seteliti ketika mengoreksi dalam bentuk print out

* * *

Laporan TA sekaligus makalahnya saya selesaikan pertengahan Februari. Kalau mau wisuda April, harus sidang maksimal Maret, dan untuk bisa sidang Maret, harus mendaftar sebelum 1 Maret. Masalahnya, saya masih kurang beberapa berkas: salah satu yang paling utama adalah kehadiran seminar TA (karena syarat sidang adalah sudah mengadakan seminar TA, dan untuk mengadakan seminar harus menghadiri 10 seminar TA mahasiswa lain).

Sebetulnya, sejak awal 2016 saya sudah mencoba mengejar keikutsertaan seminar TA teman-teman. Tetapi seringnya, saya telat dapat info. Tahu-tahu ada yang mau seminar, padahal posisi sudah di Semarang, sedangkan form kehadiran TA ada di rumah. Teledor juga sih, karena habis itu saya menyerah. Dan sejak Januari, mulai mencoba lebih update lagi info-info TA. Ternyata, yang seminar Januari cuma satu, dan sejak awal Februari sampai TA saya selesai, sama sekali tak ada lagi yang seminar! Saya berusaha melobi beberapa dosen yang bersangkutan, untuk mengizinkan saya utang seminar dulu, dan akan melengkapi setelah seminar sampai batas pendaftaran sidang, tetapi nihil. Dosen tersebut menyarankan untuk menunggu sampai akhir Februari, siapa tahu masih ada yang seminar (dan memang ada 2), tapi kalau belum mencukupi, dipersilakan ikut sidang April. Dengan kata lain, wisuda Juli/Agustus!

Di titik ini, rasanya tak ada lagi usaha manusiawi yang bisa dilakukan untuk memaksakan bisa wisuda April. Hanya bisa berdoa supaya ada pertolongan langit yang diturunkan, seraya dalam hati memasrahkan, kalau memang harus menunda wisuda hingga tiga bulan lebih, mungkin Allah sedang menghindarkan saya dari keburukan yang mungkin akan terjadi.

Allah Maha Pemurah.

Saya beberapa kali mengkhayalkan, seandainya Februari memiliki hari hingga 30 atau 31 seperti bulan-bulan lainnya, atau setidaknya tahun ini tahun kabisat. Bukankah saya akan masih punya satu-dua hari tambahan untuk melengkapi berkas-berkas yang kurang? Dan Allah selalu punya cara sendiri untuk menunjukkan kasih sayang-Nya. 28 Februari, saya dihubungi dosen pembimbing, bahwa saya diizinkan mengurus hari ini untuk seminar besok, 1 Maret, yang juga hari terakhir pendaftaran sidang, sebab besok pun ada mahasiswa lain yang seminar, yang jumlahnya bisa memenuhi kekurangan kehadiran saya.

* * *

Singkat cerita, pada akhirnya saya bisa mengikuti sidang Maret.

Seandainya jeda antara sidang dan pendaftaran wisuda tidak sesingkat ini, mungkin saya bisa lebih santai menghadapi sidang. Pikiran saya dihantui ketakutan, kalau saya tidak lulus dengan sekali sidang, dan harus mengulang bulan depan. Yang berarti, semua aksi "kebut-kebutan" demi mengejar sidang Maret ini "sia-sia" belaka (well, tidak ada yang sia-sia, tetapi itu istilah yang paling mendekati untuk situasi itu).

Teman-teman mungkin akan menghubungi semua kenalan mereka untuk minta doa sebelum sidang, dan mereka pun akan datang usai sidang untuk memberi selamat. Tetapi saya tak berani melakukan itu. Bagaimana kalau tidak lulus? Kan sedihnya jadi dobel. Saya jadi hanya mengabari beberapa sahabat terdekat (termasuk yang "tidak sengaja" dikabari, hehe). Di antara sahabat ini, saran yang paling menakjubkan adalah untuk membaca Doa Rabithah sebelum masuk ruang sidang, dengan harapan Allah melembutkan hati para dosen penguji.

Laa haula wa laa quwwata illa billah! Saya tak tahu itu berkat doa rabithah tadi, atau berkat doa keluarga, kerabat, dan sahabat lain; yang jelas, sidang berjalan lancar, alhamdulillah. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pun tidak serumit yang saya bayangkan awalnya, walaupun ada pertanyaan yang saking sederhananya, saya justru lupa belajar tentang itu sebelumnya. Saya pun nyaris tak peduli dapat nilai berapa, tetapi ketika dosen meminta saya keluar sebentar supaya mereka bisa mendiskusikan kelulusan saya, saya sedikit lega oleh adanya harapan bahwa saya lulus.

Syukur dan lega membuncah begitu Ketua Penguji memang menyatakan kelulusan saya. Tadinya waktu sidang hampir lupa senyum saking tegangnya, kali ini bahkan bisa sedikit nyengir saat menanyakan, "Ada revisian tidak, Pak?" karena para penguji tidak memberi tahu sampai acara sidang ditutup.

* * *

Menemui dosen untuk meminta nilai akhir TA jauh lebih sulit dibandingkan menemui mereka untuk bimbingan. Pernah, sudah menunggu dari pagi sampai diusir pegawai kampus karena kantor mau ditutup, ternyata sang dosen keluar kota. Besoknya, stand by di kantor dari jam 7-an, dan sempat melihat dosen yang bersangkutan masuk kantor lalu keluar untuk mengajar, ternyata setelah itu dosen langsung keluar kota lagi tanpa mampir kantor.

Begitu semua nilai dan tanda tangan sudah didapat, dan tinggal mengumpulkan semua berkas termasuk laporan kepada dosen koordinator TA, ternyata CD berisi TA saya lenyap! Padahal sang dosen sudah tiba di kampus, dan beliau hanya ke kampus satu kali tiap hari, sementara batas pendaftaran sidang paling tinggal satu hari. Bahkan saya tak tahu CD itu lenyap di mana: telepon orang rumah untuk mencarikan, telepon teman yang kosnya saya datangi malam sebelumnya (padahal dia sedang di tempat kerja), semua mengaku tak melihat CD yang saya deskripsikan.

Tahu apa yang saya lakukan?

Saya bahkan tak percaya bisa mendapatkan "ilham" itu. Dalam keputusasaan, saya menemui salah satu dosen pembimbing, dan meminjam CD yang sudah saya serahkan pada beliau supaya bisa mengumpulkan dulu ke koordinator TA! Untungnya dosen satu ini baik sekali, mengizinkan saya meminjaminya dan boleh menggantinya dengan CD yang lain nantinya.

* * *

Berulang kali saya berusaha memastikan, apakah saya sudah melakukan semua hal yang diperlukan untuk mendaftar wisuda April. Seolah kok mudah sekali menyelesaikan pendaftaran wisuda, padahal untuk mencapai tahap ini, diperlukan perjuangan pontang-panting (yang herannya justru membuat berat badan bertambah, hehe). 

Sungguh, selama proses ini, saya merasakan betul bantuan Allah. Secara manusiawi, mungkin saja usaha saya yang lebih keras di waktu-waktu akhir ini merupakan hal yang sering disebut sebagai the power of kepepet, tetapi ada saat-saat di mana banyak hal yang terjadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan usaha saya.

Dalam salah satu pertemuan dalam lingkaran rutin, pernah disampaikan materi tentang kisah ash-haabul ukhdud. Tentang pemuda shalih yang menjadi pemicu kisah ini dikenai hukuman mati karena beriman kepada Allah, dan semua cara untuk mengeksekusinya gagal. Yang lebih menakjubkan adalah, bagaimana dalam setiap perjalanan menuju tempat eksekusi dirinya, pemuda ini selalu yakin akan adanya pertolongan Allah, dan itulah yang menggagalkan setiap usaha untuk membunuhnya.

Saya selalu penasaran, bagaimana bisa meyakinkan diri akan pertolongan Allah, seperti yang dilakukan pemuda itu? Seringnya, seyakin apapun, pasti ada saja noda-noda kecemasan karena tiadanya sebab manusiawi yang menjadi jalan pemenuhan harapan itu.

Sungguh saya takut, jika semua nikmat yang Allah berikan itu, bukan merupakan istidraj. Terlalu banyak dosa dalam diri yang membuat saya merasa tak pantas diberikan nikmat sedemikian rupa. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa saya, dan semua kemudahan itu adalah cara Allah untuk memaksa saya mengimani tanpa syarat, bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

No comments

Powered by Blogger.