Header Ads

Testimoni Penjurian Olimpiade Ramadhan KAMMI Semarang (Part 2): Debat

Melanjutkan catatan sebelumnya tentang testimoni penjurian Olimpiade Ramadhan (OR) KAMMI Semarang. Kalau tulisan bagian 1 pakai kata ganti orang pertama "saya", kali ini pakai "gue" aja yak, sekaligus format tulisan yang lebih santai. Soalnya lebih banyak faktor emosional di sini. :D

Tiap tahun dari 3 tahun maksimal yang bisa kepengurusan komisariat, gue selalu didaulat jadi wakil komsat Teknik untuk lomba debat di OR. Cuma tahun kedua yang gugur di babak 1 (prestasi terburuk komsat sepanjang 5 tahun terakhir). Sisanya selalu dapat emas, meski "dizhalimi" panitia dengan pengurangan kesempatan bicara (padahal lawan dapat kesempatan penuh). Biar begitu, selama 3 kali pula gue selalu merasa gak puas dengan sistem debat yang diajukan panitia. FYI, punya bapak seorang pembina debat di sekolahnya, yang murid-muridnya punya sederet prestasi debat nasional, dan pengalaman beberapa kali tanding debat waktu SMA sampai tahun kedua kuliah, gue cukup memahami sistem debat yang benar, terlepas dari fakta bahwa semua yang gue sebutkan itu berlangsung dalam bahasa Inggris.

Karena ketidakpuasan itu, alasan terbesar gue menerima panggilan amanah dari KAMMDA adalah mau memperbaiki sistem debat OR. Just it!

Tahun ini, "pangkat" gue akhirnya naik dari peserta jadi juri. Harapan gue musnah ketika, setelah lama gak dihubungi lagi sejak permohonan itu, tahu-tahu sistem umum dan motion udah dikirim dalam bentuk juklak ke komsat-komsat. Oke, hal pertama yang pengin gue ubah sebetulnya adalah tentang mosi ini. Di KAMMDA, seringnya mosi hanya berbentuk permasalahan umum, belum bisa dipastikan yang mana punya afirmatif, yang mana punya negatif. Contohnya, mosi yang gue langsung kalah di babak 1 dulu, "Pilkada langsung atau lewat DPRD?" If you are asked to be a pro or con, what will you argue about it? Which point is for affirmative and negative? Could the affirmative freely choose which system they will use? If you're, as negative team, assume that negative here means "via DPRD" and prepare that argument, then the affirmative already chose that, doesn't that mean your case are all waste?

Sumber: Facebook Kammi Teknik Undip
Sebagai juri standar, mungkin itu gak terlalu berpengaruh, yang penting gimana kedua tim ada di sisi berlawanan. Tapi di sisi lain, gue juga diminta jadi coach debat buat komsat Teknik. Sebagai juri aja gue gak bisa memahami mosi, apalagi sebagai coach, yang harus bener-bener menganalisis mosi dari dua sisi berlawanan? Masih untung mosinya kayak di atas. Di juklak kali ini ada mosi, "Dahlan Iskan dibidik pencucian uang." How will you interpret that motion? Kalo jadi negatif, harus bilang kalo dia gak dibidik, gitu?

Untungnya, pada hari H, usulan gue untuk mendetailkan mosi-mosi dalam juklak dalam bentuk statement disetujui (dan juri lain gak peduli, hihi). Gue cuma ngomong sama Indah (yang katanya PJ debat), dan dia setuju aja. Maul (gue gak tau posisinya apa, tapi pas hari H debat, dia kayak yang paling sibuk ngurusin debat) juga paham apa yang gue ajukan, jadi gak masalah.

Sisi positif lainnya, di tata tertib debat yang dikirimkan ke juri hanya 12 jam sebelum waktu debat, secara umum aturan udah sesuai Australasian system (walaupun di situ keliru ditulis Australian, tapi ada keterangan "tanpa interupsi"). Ada waktu case build, walaupun cuma 10 menit (padahal debat asli aja bisa 30 menit bukan untuk impromptu). Hanya beberapa kekurangan lain (yang sebetulnya cukup signifikan), misalnya tentang reply speaker yang di sini dikasih waktu sama dengan pembicara utama (atau kebalikannya, karena waktunya cuma 2,5 menit), afirmatif duluan, dan gak dinilai sama sekali, trus tentang bobot penilaian yang imbang antara matter, manner, method.

Yang aneh lagi, posisi kedua tim ditentukan oleh pemenang adu suit. Yang menang boleh milih jadi afirmatif atau negatif. Di satu sisi, sedikit merugikan tim lawan sebetulnya, apalagi praktisnya, setelah suit, tim yang menang ini diskusi dulu.

Untuk babak pertama, gue kebagian njuri bareng Dhica sama Zaka. Mosinya, "Pemerintah tidak seharusnya ikut campur urusan PSSI." Sepanjang perjalanan debat, gue malah sibuk diskusi bareng Dhica, menyesalkan salah pemahaman dari tim negatif yang justru berargumen "pemerintah memang tidak boleh ikut campur". Oke, berarti hal terbesar yang perlu diluruskan adalah pemahaman bahwa tim negatif tidak selalu menggunakan kata "tidak", tergantung mosinya. Kalau mosinya sudah ada kata "tidak", berarti tim negatif bertugas menghilangkan kata "tidak" itu.

Argumen tim negatif sebetulnya bagus dan bisa memenangkan pertandingan, kalau saja mereka berada di tim afirmatif. Tim afirmatif sendiri argumennya lemah, bikin gue sama Dhica berat memutuskan mana yang menang. Setelah diskusi sejenak, akhirnya 2 juri memenangkan tim afirmatif, dengan alasan terbesar adalah tim negatif salah memahami mosi (padahal mereka sendiri yang milih posisi).

Entah gimana panitia mendesain pembagian "ruangan"nya, sepertinya dua tim yang bertanding lah yang mendatangi juri yang stand by di tempat. Sampai di sini gak masalah, tapi dua kubu berikutnya yang datang ternyata salah satunya dari Teknik. Baik juri maupun panitia yang jaga di tempat gue sepakat bahwa gue harus bertukar tempat dengan salah satu juri di "ruangan" sebelah, tapi di tempat sebelah ini gue ditolak mentah-mentah. Menurut ketiga juri: Pras, Khanif, dan Miqdad, gak masalah kalo gue njuri-in Teknik. Alasan sebenernya sih, mereka males pindah. Ckckck...

Pras akhirnya bersedia pindah, tapi ditolak tempat tujuan, karena yang jadi lawannya Teknik ternyata Fatahillah. Dan nyuruh dua biji juri lainnya ini gerak susahnya bukan main. (Well, ini malah jadi debat sendiri gini.) Miqdad beralasan, jangan ada dua anak KP di satu tempat. Gue balikin, berarti harus dia yang pergi. Akhirnya mau juga dia, walaupun dengan perjanjian, pertandingan berikutnya masing-masing kembali ke tempat semula.

Meski gue jadi ngerasa gak enak sama Khanif dan Pras (dan gue jadi gak bisa diskusi sama mereka), gue sedikit terhibur dengan argumentasi kedua tim yang lebih seru dari di tempat gue juri sebelumnya. Dengan mosi "Pemerintah akan mengambil alih seluruh pengelolaan zakat", materi kedua tim cukup berbobot, dan gue nggak merasa bersalah memberikan nilai yang masing-masingnya mencapai dua kali lipat dari masing-masing nilai di babak sebelumnya.

Sumber: Twitter @KammiSoshum
Di SMA dulu, gue pernah kehabisan tenaga di final yang berlangsung malem setelah seharian bertanding 3 kali. Apalagi dengan impromptu motion, pikiran udah jenuh banget, ditambah kepastian dapet hadiah minimal juara 2, kita debat udah kayak gak niat. Kali ini gue ngerasa bahwa jadi juri ternyata lebih capek dari peserta. Bayangin aja, sejak habis Dhuhur sampai azan Ashar dipakai seluruhnya buat babak 1 sampai semifinal, total ada 4 pertandingan di satu "ruang". Kasihan juga sih peserta yang dapet undian harus tanding 4 kali, rada enak yang dapet bye di babak 1.

Tapi buat gue, bertanding 4 kali dalam 2,5 jam, nyaris tanpa jeda antarpertandingan, setidaknya masih memberikan sedikit kepuasan dengan membantai lawan tanpa ampun. Sebagai juri, gue gregetan nonton dua tim yang argumennya gitu-gitu aja, hampir nggak saling serang/bantah, cuma menunjukkan kenapa harus pro/kontra. Kepuasan untuk membantai sedikitnya gue rasakan setelah Dhica dan Zaka menyerahkan kesempatan review buat gue, walaupun Zaka sama sekali gak ngasih tau analisis dia buat kedua tim.

Sekilas info, Teknik sendiri sudah gugur di perempat final. Beban mental sebagai juri terangkat.

Di all-Unnes-final, semua juri kecuali Pras turun, menilai debat dengan satu-satunya mosi yang tersisa dan cukup ringan untuk ukuran final: "Pemerintah akan meniadakan skripsi untuk mahasiswa S1." Fatahillah Unnes sebagai afirmatif menantang Soshum Unnes. Melihat speakers kedua tim, sejenak gue mengharapkan mosi yang lebih berat, apalagi ini final. Tapi gue sedikit dikecewakan dengan argumen yang standar (yang kalau Teknik masuk final, sebetulnya udah gue ajarin triknya untuk mosi ini) dan rebuttle yang telat.

Sumber: Twitter @KammiFatahillah
Gue udah males ngomong buat verbal adjudication. Gue persilakan yang satu dari keempat juri nge-review, tapi mereka maksa gue ngomong duluan, alasannya gue yang belum lulus (alasan apaan nih?). Sebel, ditambah kepala udah berat, gue akhirnya ambil mic, dan segala ke-jaim-an sebagai adju menguap. Segala kekesalan gue sejak babak pertama akibat tak adanya inovasi argumen, akibat keterlambatan respon, dan... akibat kebuntuan membuat keputusan pemenang, tumpah. Bodo amat kalau misal ada aturan adju hanya boleh mengomentari materi tanpa boleh menjustifikasi peserta.

Gue persilakan setidaknya 1 dari 4 juri ikhwan itu ngomong, tapi mereka kompak menjawab, "Cukupl" sambil cengengesan. Pengin makan muka mereka rasanya, soalnya verbal adju jadi dari satu sisi doang. Makian pelan yang terlontar dari mulut gue terdengar setidaknya oleh dua dari mereka, "Parah, gue di-PHP-in ikhwan!"

Fix, semua laki-laki, gak peduli sopir angkot maupun kader KAMMI, emang PHP!

Meski begitu, ternyata gue dianggap baik hati dalam menilai. Margin kedua tim dari gue cuma 5 (cukup tinggi kalau dilihat dari standar debat biasanya), sementara 4 juri lain sampai puluhan. Tapi kelima juri memberi lima victory poin kepada Soshum Unnes.

Barakallah!

No comments

Powered by Blogger.