Header Ads

Kacamata dan Smartphone (1)

Mau yang mana dulu yang harus gue ceritain? Soal kacamata gue yang udah bertambal selotip dan lem castol, atau soal smartphone yang bikin gue menelan omongan sendiri tentang typo? Apa? Gak penting bahas dua barang ini? Yaudah, klik aja tulisan-tulisan lain di blog ini. Dari curhat pribadi, pengalaman organisasi, sampai tugas kuliah gue lengkap kok di sini. Dipilih, dipilih...

Buat kalian yang setia mantengin tulisan satu ini, lanjut yuk. Biar adil, urut abjad aja deh, gue dongengin kisah paling gak penting tentang kacamata antik gue.

Waktu kecil gue sering berpikir bahwa orang berkacamata adalah orang yang cerdas karena sering baca. Salah satunya adalah ibu gue, yang waktu itu miopinya sekitar minus 5, dan menurut gue ibu gue juga orangnya pinter dan rajin baca. Makanya ketika ada sodara yang mencurigai pandangan gue yang sedikit kabur, bukannya ketakutan setengah mati, gue malah ngerasa keren. Apalagi gue emang lagi demen-demennya baca apa aja, dari buku Harry Potter setebel 1.200 halaman sampe koran bungkus nasi.

Gue pun pakai kacamata minus seperempat sebelah kanan dan normal sebelah kiri sekitar awal September 2004. Rada malu sih, karena keimutan muka gue jadi sedikit berkurang dan banyak diketawain. Tambahan, gue juga disuruh pakai tali kacamata, alasannya biar gak gampang lepas. Tapi gara-gara jadi mirip orang-orang tua yang kacamatanya dikasih tali dan digantung pas gak dipake, akhirnya tali itu lepas dengan sendirinya. Meski demikian, alasan "gak gampang lepas" masih berlaku, mengingat apa yang terjadi setelahnya.

Sejak awal dokter udah mengingatkan agar gue gak selalu pakai kacamata dalam kondisi apa pun, kecuali tidur sama mandi, biar minus gue gak nambah (minus kalo kena tambah bukannya jadi semakin mendekati nol atau malah jadi positif yak?). Gue patuhin banget tuh saran dokter, termasuk pas shalat tetep gue pake tuh kacamata, bahkan kadang kalo tidur gue gak sadar masih pake kacamata. Tapi kacamata itu ilang di waktu-waktu yang tak terduga, salah satunya ketika gue beli lothek, itu kacamata ketinggalan di situ. Gue gak ngeh sama sekali, cari-cari di seluruh rumah gak ada, dan baru beberapa minggu kemudian dibalikin sama si penjual lothek.

Seterusnya sampai sekarang, kalau dirata-rata gue ganti kacamata setahun sekali. Penyebabnya antara ilang atau rusak. Cuma sekali-dua sengaja ganti gara-gara miopinya semakin parah, belum lagi masalah silinder yang naik-turun. Tau dah gimana ceritanya, tapi hampir tiap periksa, minusnya yang nambah, silindernya berubah-ubah antara 0-1. Minusnya sendiri tak kalah variatif; grafiknya sih naik, tapi angka-angkanya hampir selalu pakai koma, dan antara mata kanan dan kiri beda. Jadi jangan pernah berharap gue bisa jawab dengan tepat berapa dioptri ukuran kacamata gue.

Salah satu akibat dari nilai yang beda-beda itu, gue jadi suka kelayapan di mall. Bukan buat window shopping, tapi buat mengunjungi satu optik ke optik lain. Bukan pula buat beli kacamata yang harga per bijinya bisa dua kali lipat duit bulanan gue, melainkan cuma mau gratisan periksa mata. Tapi dasar gue orangnya gak mahir berbasa-basi, kadang gue nanya to the point, "Periksa mata berapa?" sebelum masuk ke ruang periksa. FYI, bekal gue buat nge-mall (seringnya CL, sekali ke Paragon) ini biasanya gak jauh dari 50 ribu, itupun belum dipotong transport. Takutnya kalo ternyata bayar mahal, gue ditahan sampai ada yang nebus gue buat bayar ongkos periksa itu.

Kekakuan gue juga berimbas pada saat ditawarin macam-macam kacamata. Iya sih, kadang gue ngomong langsung cuma numpang periksa. Di waktu lain gue pura-pura tertarik lihat kacamata yang dipajang, dan gue kesulitan sendiri menghentikan si penjaga yang mengiklankan produknya. Ujung-ujungnya gue pernah sekali sampai harus bilang, framenya udah ada tapi ketinggalan. Gak bohong sih, di rumah ada kacamata bekas yang masih gue simpen, dulu ganti karena ibu gue lagi ngefans sama frame lain di Jogja. Ckckck.

Yang gue pakai sekarang ini kacamata yang entah keberapa. Salah satu bingkainya udah patah, kacanya harus dilem castol biar tetep nempel di frame. Kecacatan kedua ada di bagian tengah. Sering pusing tanpa kacamata, gue pun kalau shalat masih pakai kacamata. Biasanya sih normal-normal aja, tapi kali itu entah kenapa hanya sedikit tekanan pas sujud menyebabkan bagian tengahnya patah. Bisa sih difungsikan, kanan sendiri kiri sendiri. Tapi gak nyaman. Akhirnya gue sambung pakai selotip, kalau kendor gue tambahin lem castol lagi. Dari jauh mirip sambungan kacamata Harry Potter sebelum di-occulus reparo sama Hermione. Pengobatan ini gak permanen, dan harus diperbarui setidaknya tiga hari sekali.


What about lem biru, alias lempar-beli-baru?

Well, pengin sih, cuma gak tega aja minta duitnya. Habisnya, kumulatif udah berapa juta aja beli kacamata? Sekalipun masing-masingnya cuma 200 ribu, misalnya, paling gak udah 2 jutaan cuma buat kacamata. Duit gue sendiri selalu abis kalau lihat buku bagus, belum cukup buat beli kacamata. Yang satu ini sih, selama masih bisa dipakai, gue mah mensyukuri aja. -___-

Oke, sekian dulu oret-oretan gue tentang kacamata. Semoga lanjutannya segera menyusul, gak kayak kelulusan gue yang udah telat setahun. Hiks!

1 comment:

  1. ahaha.. kocak :D
    kacamatanya dijaga atuh dek :p

    btw, smangat lulus dek! :)

    ReplyDelete

Powered by Blogger.