Header Ads

The 10: A Ranking of the Most Influential Book in My History (Part 4)

Sebelumnya mohon maaf kepada pembaca setia blog gue, karena gue menunda bagian terakhir dari seri ini hampir 4 bulan. Gue cukup kesulitan menentukan buku ke-10, karena ada banyak buku yang gue baca (dan kebanyakan novel), dan gue butuh waktu lama untuk menimbang mana yang lebih berpengaruh bagi hidup gue. Salah satu nominatornya adalah tetralogi De Winst-nya Afifah Afra (walaupun baru terbit 3, dan jadi satu novel yang paling gue sukai), dan serial Lupus yang Boim Lebon ikut nulis (berarti cuma Lupus Kecil dan ABG doang). Tapi dengan berat hati nggak jadi gue masukkan ke dalam top ten, karena, betapa pun gue menggemari dua serial itu, pengaruh langsungnya terhadap hidup gue nggak sebesar buku ke-10 ini. Dan... inilah 2 buku terakhir dalam 10 besar buku paling berpengaruh dalam hidup gue.


9. Seterang Lilin Seharum Bunga



Ada yang belum kenal buku ini? Belum? Yah, mungkin emang belum dipasarkan terlalu luas, baru di lingkaran kader KAMMI, khususnya KAMMI FT Undip. Yap, buku ini emang diterbitkan sendiri oleh KAMMI FT, dan diisi tulisan-tulisan "colongan" kadernya. Penerbitnya sendiri pakai nama Badan Pers (BP), BSO KAMMI FT yang cuma bertahan setahun.

Oke, jadi gini ceritanya. Diamanai jadi ketua BSO yang deskripsi kerjanya pun nggak gitu jelas, gue ngerasa nggak terlalu berguna di sini selain sebagai penggembira. Prokernya paling sedikit dibanding departemen dan biro yang lain, tapi kerjanya juga paling nggak jelas. Di sisi lain, udah bertahun-tahun gue dan Ovi (dedengkotnya kaderisasi KAMMI FT, sesama jadi the only akhwat 2010 yang ada di komsat selama 3 tahun) punya mimpi bikin buku yang isinya kumpulan karya kader komsat. Kalau diamati, nggak sedikit lho kader komsat yang suka nulis. Belum lagi yang tak teramati, hehe... Pernah sekali ada sayembara nulis, tapi sama sekali nggak ada yang ngirim.

Apakah gue harus meninggalkan KAMMI FT tanpa karya? Jangan sampai.

Udah tinggal sebulan lebih sedikit sebelum Muskom, suatu akhir dari perjalanan gue dengan KAMMI FT. Saat itulah gue berkenalan dengan Pak Kadir, salah satu pengurus PP KAMMI, yang pada saat itu diamanahi di KAMMI Press. Beliau pernah bilang, salah satu buku pergerakan KAMMI (gue lupa judulnya, tapi cukup populer sebagai buku pegangan kader), sebetulnya hasil comotan tulisan-tulisan kader (termasuk yang udah bukan pengurus) di blog masing-masing. Dari sana gue dapet ide, dan langsung mulai hunting blog kader. Gue share ini ke sesama anggota BP yang lain, khususnya Ojan yang selama ini kebagian ngurusin percetakan. Dia setuju berperan sebagai percetakan. Sedikit kaget setelah semua karya terkumpul, mengingat masing-masing tulisan paling banter sekitar 4 halaman A5, ternyata buku itu tebalnya kurang-lebih 1 cm!

Doakan aja gue bisa bikin behind the scene yang lebih lengkap tentang buku ini. Singkatnya, buku itu jadi hanya beberapa jam sebelum Muskom, dan launching pada saat LPJ. Kehadiran buku itu disambut baik oleh KAMMDA, yang menyatakan baru ada 2 komsat yang nerbitin buku, satu yang lainnya adalah Unnes. (Special thanks buat Fauzan alias Ojan yang bantuin ribetnya mencetak, Akh Hermawan yang udah mensponsori sebagian biaya penerbitan buku ini, dan Asma alias Aju yang bantuin desan cover.)

Meski belum punya ISBN, buku ini something "wow" buat gue, karena (kalau keberadaan ISBN bukan tolok ukur berapa buku yang diterbitkan) ini buku ketiga gue, yang semuanya merupakan kompilasi dengan penulis-penulis lain. Lebih "wow" lagi, karena akhirnya mimpi lama itu terwujud, dan menjadikannya satu dari 14 kreasi KAMMI FT 2013. Keberhasilan buku itu menginspirasi gue untuk bikin buku-buku lain, dan menekankan pada gue bahwa bikin buku itu gampang!

Dan yang jelas, gue jadi belajar jualan onlen dikit-dikit, haha... gara-gara ada pesenan dari Jember. :p



10. Menuju Jama'atul Muslimin

Seperti yang udah gue tulis di atas, gue menghadapi dilema sebelum memutuskan buku ini di posisi buncit 10 besar. Apalagi, sejujurnya, gue sendiri belum pernah khatam baca buku ini, dan baru sekali baca alias belum pernah baca ulang meskipun dari awal. Jadi, kenapa gue berani-berani masang buku ini?

Gue masih SMA ketika menghadapi sedikit pertentangan antar-harakah Islam. Yang gue hadapi sebenernya juga sama-sama bocah, tapi justru karena bocah itulah rasanya jadi kaku, karena terkadang bisa dibilang fikroh yang dipunyai sebatas ikut-ikutan, bukan murni karena mempertimbangkan berbagai fikroh lantas memiliki kepahaman untuk secara sadar memilihnya. Gue mendiskusikan ini dengan seorang kenalan dari dunia maya (walaupun di dunia nyata, secara pemikiran udah dijamin track record-nya sama sodara), yang kemudian menyarankan gue buat baca buku MJM ini. Gue pinjem ke murobbi gue, dan dipinjemin sih, tapi awalnya beliau bilang sempat mikir apakah gue udah waktunya baca gituan. Maka MJM menjadi buku pergerakan pertama yang gue baca (sebelumnya bacaan gue tentang pergerakan kebanyakan majalah atau kadang novel).

Gue baca ini di KELAS, secara bersambung tiap jam istirahat. Seinget gue, gue baca pertama kali bagian tentang Ikhwanul Muslimin (padahal ini ada di bagian akhir buku, meskipun termasuk yang dibahas paling banyak), dilanjutkan ke 3 harakah lain yang ada di dunia, baru kemudian mulai baca dari awal. Tapi sebelum kelar baca sampai bab sebelum tentang harakah, udah keburu lulus duluan, jadi kebiasaan baca pas istirahat nggak berlanjut.

Oke, mungkin kalian bertanya-tanya kenapa gue nggak lanjutkan baca di rumah. Yah, gue emang hobi baca, tapi lebih sering baca novel, hehe... Sementara itu, mungkin karena waktunya singkat dan sekadar mengisi jeda singkat itu, selama istirahat di sekolah gue lebih termotivasi baca buku yang lebih serius dibandingkan waktu-waktu lainnya. Buku yang paling sering gue baca pas istirahat sejak SMP adalah buku Sejarah (khususnya kalau cerita tentang kerajaan), pernah juga buku PKn dan sesekali Biologi (khusus pas kelas 3). Bukan berarti nilai gue di PKn dan Biologi jadi naik, tapi lebih karena kalau nggak gitu gue nggak bakal pernah baca 2 buku itu, padahal 2 pelajaran itu termasuk yang paling banyak tulisannya dibandingkan Matematika, misalnya. Haha...

MJM ini termasuk salah satu buku serius yang gue baca pas istirahat. Maka dari itu, di luar jam istirahat, gue rada suntuk bacanya, karena lebih banyak berkutat pada data dibanding narasi. Maklum lah, itu buku sebetulnya kan disertasi sang penulis.

Ketika gue masuk dunia pergerakan kampus, khususnya KAMMI, ternyata MJM menjadi salah satu buku wajibnya. Buku wajib lainnya di dunia pergerakan ini adalah Risalah Pergerakan. Selain itu masih ada lagi sih. Gue berusaha baca semua buku, tapi ujung-ujungnya gue kehilangan sebagian besar minat baca itu. Mungkin karena gue terlalu ingin baca kata per kata dari awal, padahal orang lain mungkin bacanya bisa scanning atau gimana, sementara gue ngerasa kalau bacanya secara scanning gitu, di tengah-tengah bisa jadi malah nggak mudeng apa yang dibicarakan. Gue merasa sedikit lebih baik ketika, dalam salah satu sesi materi DM2, Imad bilang kalau dia nggak terlalu suka baca buku gituan, lebih suka diceritain isinya (padahal dia salah satu kader yang levelnya udah lebih tinggi dari sebagian "kita" waktu pertama kali masuk kuliah). Hehe...

Belakangan gue mikir, bisa nggak ya kalau buku-buku sejenis itu dibuat dalam bentuk yang lebih santai dan naratif biar lebih enak dibaca? Jadi novel, misalnya. Tulisannya Dan Brown memiliki bahasan yang berat, tapi kalau dijadikan novel kayak Da Vinci Code, The Lost Symbol, dan lainnya kan lebih menarik minat banyak orang buat baca. Atau mungkin, gue sendiri lebih nyaman baca Shirah Nabawi yang ditulis Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri dibandingkan beberapa yang lain, karena lebih bernuansa cerita tanpa mengurangi data maupun ayat dan hadits yang ingin disampaikan.

Meski berbagai hal yang udah gue sampaikan di atas, sekali membaca sebagian MJM menguatkan gue mengambil harakah ini sebagai kendaraan dakwah. Jadi nggak bisa dibilang gue sekadar ngikut ortu yang lebih dulu berkenalan dengan jamaah, atau dipengaruhi sama mbak-mbak di kampus. Apalagi di sini juga dibahas beberapa harakah lain, jadi nggak cuma 1 harakah yang gue pelajari. Dari sini juga gue semakin yakin bahwa, dengan berbagai harakah yang ada, seharusnya semua itu bisa jadi batu loncatan untuk menuju jama'atul muslimin, bukan sekadar jama'atu minal muslimin.


(the end.)

Part 1 | Part 2 | Part 3 | Part 4

1 comment:

Powered by Blogger.