Header Ads

Pengaruh Tulisan dalam Sejarah Nusantara

Prasasti Ciaruteun
Kalau ditanya, apa agama pertama yang ada di Indonesia, hampir bisa dipastikan jawabannya adalah Hindu. Jawaban tersebut seolah-olah sudah tertanam dalam benak kita, sepertinya karena sejak SD sampai SMA, jika belajar tentang sejarah kebudayaan Indonesia, Hindu adalah agama pertama yang disebut. Walaupun sering juga ada pertanyaan, memangnya sebelum Hindu, masyarakat nusantara ini tidak beragama?

Sebelumnya saya tegaskan, tulisan ini tidak ingin memperdebatkan benar-tidaknya agama pertama yang muncul di telatah nusantara. Jadi, tolong singkirkan dulu pendapat tentang SARA hingga selesai membaca tulisan ini.

Saya pernah melontarkan pertanyaan di atas melalui akun Facebook saya, dan salah satu jawaban yang muncul adalah masyarakat nusantara sebelum Hindu merupakan penganut animisme dan dinamisme. Tapi mengapa Hindu yang disebut sebagai agama pertama di Indonesia? Bahkan dalam salah satu komentar di sebuah forum saya pernah menemukan pernyataan, Hindu agama asli Indonesia. Mengapa?

Jawabannya sederhana saja: karena tulisan. Coba buka kembali buku-buku Sejarah yang pernah kita punyai, atau paling tidak kita pinjam, sewaktu sekolah dulu. Bukti-bukti sejarah keberadaan kerajaan Hindu pada masa itu karena adanya prasasti, tulisan.

Bayangkan seandainya pada masa itu, kerajaan Hindu nusantara tidak mengukir satu prasasti pun. Cukup penganut Hindu hanya melakukan ritual pemujaan, atau ritual agama lainnya, atau menyebarkan ajarannya melalui lisan saja. Mungkin dalam buku-buku sejarah akan tertulis agama pertama di Indonesia adalah agama lain, entah apa itu.

Hal lain lagi, yang sudah kita kenal, adalah popularitas RA Kartini sebagai pejuang emansipasi. Mengapa Kartini? Padahal, jika emansipasi diartikan sebagai persamaan gender, Cut Nyak Dien dan Dewi Sartika sudah angkat senjata seperti kaum laki-laki. Apa sih yang sudah dilakukan Kartini? Cuma menulis surat. Surat itu pun bisa dibilang cuma berisi "curhat" Kartini kepada kawan-kawan Belanda-nya, tentang kehidupan masyarakatnya serta mimpi-mimpinya. Tapi dari "curhatan" itu saja, hari lahir Kartini diperingati setiap tahunnya.

Maka itulah intinya menulis sebenarnya. Cuma curhat. Seperti status-status Facebook kita, atau tweet kita setiap menitnya. Tak masalah. Curhat-lah sepuasmu. Curhat-lah tentang apa saja: tentang sopir angkot yang amat sabar menanti penumpang hingga kita bosan, tentang penemuan uang receh seratus rupiah di pinggir jalan, bahkan tentang HP-mu yang kehilangan satu tombolnya. Agar terlepas dari julukan alay yang akan tersemat padamu kalau sedikit-sedikit update status untuk kejadian kecil semacam itu, tuliskan saja pada catatan harianmu. Kalau sudah terkumpul beberapa, bisa permak sedikit. Jadilah tulisan.

Bisa jadi kau punya ide besar untuk membangun dunia, tapi kalau semua itu hanya kauorasikan dalam aksi, sedangkan kau bukan Nabi yang setiap ucapanmu akan didokumentasikan secara sempurna oleh para sahabat, bagaimana idemu akan didengar hingga 50 tahun mendatang? Boleh jadi, selesai orasi kau sendiri lupa apa yang kauucapkan.

Maka tulislah. Tak harus berbentuk fiksi atau artikel, bahkan kau pun bisa menuangkan idemu melalui laporan-laporan praktikum yang kaujalani. Dengan catatan, laporan itu bukan hasil copy-paste saja.

Maka tuliskan idemu. Siapa tahu, ide yang terlontar dari salah satu kepala negara di dunia ini sebenarnya pernah kaulontarkan. Hanya saja, tak ada bukti nyata kau pernah memikirkannya kalau tidak kautulis.Maka tuliskan idemu, karena kau bukan siapa-siapa.

1 comment:

  1. Makasih sob udah share , blog ini sangat membantu sekali .............




    bisnistiket.co.id

    ReplyDelete

Powered by Blogger.