Header Ads

3 dan 21

Lima kali PKS ganti presiden, hanya tiga yang aku pernah menghadiri agenda yang beliau jadi pembicara. Pertama, Ustadz Hidayat Nur Wahid saat berorasi dalam kampanye PKS 2009 di Stadion Tri Lomba Juang, Semarang. Kedua, Ustadz Tifatul Sembiring saat menjadi pembicara dalam bedah buku Sepanjang Jalan Dakwah di LPMP Semarang pada 2012. Ketiga, berbeda dengan dua sebelumnya yang saat kulihat dari dekat sudah tidak lagi menjabat sebagai presiden partai, kali ini adalah presiden yang belum ada dua bulan penuh menjabat, Ustadz Anis Matta.

Rencana kedatangan Ustadz Anis ke Semarang sudah tersebar beberapa waktu sebelumnya. Bahkan beberapa kawanku mengatakan ada ta'limat dari murobbi masing-masing untuk menghadiri agenda tersebut. Meski murobbiku sendiri tidak men-ta'limat-kannya, siapa sih yang pengin melewatkan kesempatan ini?

Maka sejak pagi aku sudah mempersiapkan kedatanganku ke Krakatau Ballroom Hotel Horison, Semarang, tempat agenda berlangsung. Berhubung aku bukan "anak mall", dan aku sering nyasar kalau berkeliaran di mall sendirian, aku menghubungi beberapa teman yang biasanya suka jalan-jalan, minta ditemani saat masuk. Haha...

Devina menjawab ya, dan dia akan berangkat dari Tembalang jam 8, sementara aku disuruh memperkirakan sendiri jam berapa dia akan sampai di Horison. Inung bilang gak datang. Yah, setidaknya ada satu "korban" buat nemenin aku yang berangkatnya dari rumahku di Ungaran. Hehe... Bapakku sendiri nggak pergi, karena harus mengurus motornya yang bannya bocor, dan ibuku harus menemani adikku belajar untuk UN.

Menurut perkiraan sih, Devina akan sampai Horison sekitar 8.30 atau 8.45. Itu berarti seharusnya aku berangkat dari rumah paling lambat jam 8.00, soalnya perkiraan Ungaran-Simpang Lima membutuhkan waktu 40-50 menit. Berhubung yang ditugasi beli sarapan telat, aku baru berangkat setelah 8.30 (padahal infonya acara dimulai jam 8.30!), persisnya lupa. Khawatir Devina (dan entah siapa yang akan bersamanya) menunggu terlalu lama, aku nekat menghabiskan uang transport dari Bapak yang sebesar Rp50.000,00 untuk naik taxi!

Sempat gregetan saat sopir taxi memilih lewat Jalan Mataram, yang biasanya jarang dilalui untuk menuju Simpang Lima. Dua hal yang membuatku ketar-ketir adalah kalau sopirnya membawaku ke tempat asing lalu diapakan, dan kalau-kalau Devina menunggu terlalu lama. Untungnya dua hal itu tak terjadi sama sekali. Beberapa saat sebelum tiba di Horison, aku menanyakan pada Devina sudah di mana, ternyata dia malah bilang baru mau berangkat. Waduh!

Sesampainya di gerbang masuk yang menghadap Mall Ciputra (sering juga disebut Citraland), aku berjalan ke arah pintu masuknya. Seorang... apa ya, namanya? Tukang parkir? Tapi gak kelihatan seperti tukang parkir... Yah, apa pun lah namanya itu, laki-laki pokoknya, langsung berkata, "Lewat sana aja, Mbak," sembari menunjuk sisi timur Plasa Simpang Lima (atau dari kecil aku lebih mengenalnya sebagai "Matahari").

Dibilang begitu, aku berpikir bahwa jalan masuknya ditutup atau apa sehingga pengunjung gak boleh lewat. Aku mencoba mengonfirmasi, tapi di luar dugaan, mas itu malah bilang, "Ke acara PKS, kan?"

Jujur, saking surprise-nya dengan kata-katanya, aku sampai tergagap mengatakan, "Ya." Beberapa detik kemudian setelah sadar, aku menambahkan, "Tapi ini mau nunggu temen dulu."

Tanpa memedulikan reaksinya, aku langsung melangkah ke pintu masuk yang masih separo tertutup dan duduk begitu saja di undakan di depannya. Kalau orang mengira aku macam orang hilang, mungkin ada benarnya. Aku sama sekali tak tahu jalan masuk ke Hotel Horison itu di sebelah mana, dan pikirku masuknya lewat dalam Plasa. Jadi nunggu temen itu setengahnya hanya sebagai alasan untuk menutupi ketidaktahuanku akan tempatnya.

Beberapa menit sendirian di situ, aku yakin Devina juga gak akan tiba dalam waktu dekat. SMS Ovi, ternyata dia udah di atas. Akhirnya aku beranjak dan mengikuti beberapa pendatang baru yang mengenakan baju PKS. Karena tak pernah mengerti daerah situ, aku rada bingung saat keluar halaman Plasa. Ini jalannya bener lewat sini? Apa jangan-jangan mereka ini panitia atau apa yang punya jalur masuk khusus? batinku.

Menoleh ke kiri, aku melihat seorang ummahat bersama anak-anaknya. Antara merasa pernah lihat tapi gak kenal sekaligus yakin sepertinya belum pernah lihat, aku mengajaknya salaman. Ibu itu sendiri kelihatan bingung kuajak salaman. Menutupi kegrogianku yang entah kesambet apa bisa tumben-tumbenan SKSD gini, aku menanyai, "Ke sana juga, Bu?"

Ibu itu menjawab singkat, "Ya."

Setelah itu aku mempercepat langkah menjauhi beliau. Ternyata beberapa orang berbaju partai bernomor urut 3 itu mengantarkanku ke basement. Aku mengikuti saja rombongan itu menuju lift. Sempat dengar teriakan seorang petugas di situ, yang aku tak menangkap maknanya, hanya sekilas-sekilas mendengar kata-kata "bayi", "anak kecil", dan "tangga".

Selagi mengantre di depan lift, perasaan kayak orang ilang sedikit terkurangi saat aku menyadari orang di sebelahku ternyata kukenali. Parahnya, aku cuma kenal wajahnya, tapi gak yakin sama namanya! Lagi-lagi, demi mencitrakan bahwa aku tahu pasti arah yang kutuju (padahal tidak!), aku menyapanya, "Eh, mbak..."

"Sendirian?" tanyanya.

"Iya, yang lain udah pada naik," jawabku sambil masih memperkirakan siapa akhwat yang menggendong bayi ini. Apakah aku mengenalnya di kampus atau dia ternyata kader Kabupaten Semarang?

Seperti aktivitas sebelumnya, mataku memandang berkeliling, mencari orang yang kukenal. Saat itulah aku menyadari, aku terjebak di tengah dua puluhan ummahat yang semuanya menggendong bayi atau menuntun anak kecil!

Eh eh, jangan-jangan ini lift khusus buat yang bawa bayi... Apalagi setelah memandang ke arah tangga, kulihat ada juga beberapa akhwat di sana. J-jadi, tangga itu bukan cuma buat ikhwan aja? Akhwat "normal" juga suruh lewat tangga? Gimana kalau di depan pintu lift nanti aku dicegat, suruh lewat tangga aja? Bisa kurus aku melewati sekian lantai untuk menuju ballroom tersebut.

Sekali lagi aku memandang berkeliling dengan panik, mencari pembenaran bahwa remaja tanpa bayi pun boleh lewat sini. Ada sih, satu-dua, tapi gak terlalu mencolok. Yah, biarlah, paling gak ada temannya.

Masih terus berkomunikasi dengan Ovi, aku menyelip-nyelip di antara pasangan-pasangan suami-istri yang berjalan bareng itu. Mengikuti arus itu, aku gak sadar udah nyampai di tempat registrasi yang dijaga oleh seorang bapak. Bapak itu mengingatkan, "Lewat sana, Mbak," sambil menunjuk meja registrasi yang dijaga beberapa akhwat. Waduh, malah nyasar ke pintu masuk ikhwan, lagi!

Di tengah ribuan orang yang duduk lesehan di dalam, susah mencari Ovi. Apalagi Ovi cuma memberi clue bahwa dia berjilbab putih. Berapa ratus orang yang pakai jilbab putih, euy? Aku masih celingukan sambil terus mengecek HP, akibatnya kaget juga saat disapa, "Kalau jalan, sambil dilihat, Dik."

Aku mendongak dan mendapati Mbak Nana, salah satu seniorku di SMA, sedang tersenyum ramah. Wuih, seneng banget ada orang yang benar-benar dikenal di sini!

Setelah ngobrol sejenak, aku meneruskan berjalan ke ujung ruangan. Masih ada beberapa tempat kosong di situ, cukup jauh dari panggung, dan ragu-ragu untuk duduk, walhasil aku berdiri saja di pojok kayak orang salah tempat. Baru ketika ada seorang akhwat yang menyapaku (lagi-lagi aku lupa namanya!) dan secara sambil lalu mengajakku ke atas, aku mengikutinya naik ke balkon.

Sampai di atas pun aku masih bingung mau duduk di mana. Sebagian tempat paling depan sudah penuh. Berjalan pelan-pelan menyusuri baris depan, aku akhirnya menemukan celah kosong cukup untuk dua orang. Lebih senang lagi, ternyata di sisi kanan celah itu ada Bu Yuli, guru SMP-ku, bersama Syamil, putranya yang terakhir kutemui masih bayi dan sekarang sudah cukup besar. Tanpa ragu lagi, aku mengisi celah itu.

Dalam obrolan singkat kami, Bu Yuli sempat memberitahuku bahwa Bu Musy, kepala sekolah waktu aku masih di sana, juga datang dan sebetulnya duduk di sebelahnya tetapi sedang ke toilet. Benar saja, di sebelah kiriku ada Ammar, putra beliau. Tapi saat Bu Musy mencapai puncak tangga dan putrinya yang bersamanya rada rewel, Bu Yuli menyusulnya untuk duduk di barisan belakang, satu-satunya tempat yang ada kursinya.

Ternyata di belakangku ada Mbak Fanny, yang kemudian mengisi tempat kosong yang ditinggalkan Bu Yuli. Agak lega juga karena aku gak jadi sendirian lagi, walaupun karena belum terlalu dekat dengan Mbak Fanny, aku gak bisa ngobrol banyak. Lumayan sih, pikirku waktu itu, setidaknya aku bisa fokus memperhatikan acara bukannya asyik ngobrol. Meski demikian, krik-krik juga gak ada teman akrab yang bisa diisengin kalau lagi bosen.

Meski saat itu sudah jam 9 lebih, ternyata kehadiranku tepat waktu. Begitu sampai di balkon tadi, tilawah baru dimulai. Setelah itu hiburan-hiburan, yang cukup bikin bosan juga. Berkali-kali melihat jam di HP, sibuk mengalkukasi waktu, takut kalau-kalau mepet dhuhur dan taujih Ustadz Anis terlalu singkat. Selang beberapa waktu, HPku yang sejak kemarin sore memang sudah sekarat akhirnya mengembuskan nafas terakhirnya. Itu berarti aku harus mencari teman-temanku secara manual di antara ribuan orang usai acara nanti.

Baiklah, lupakan soal HP yang mati suri itu. Aku memilih fokus memperhatikan apa yang terjadi di panggung di bawah. Dari tempatku yang persis di belakang kaca pembatas balkon, semua aktivitas terlihat hampir sama jelasnya dengan kalau aku duduk di bawah. Apalagi, tak akan ada orang lewat atau kepala-kepala yang lebih tinggi yang akan menghalangi pandanganku.

Semangat menjadi 3 besar dalam Pemilu 2014 terasa banget di sini. MC juga mengajarkan pada peserta, saat dikatakan, "Salam 3 besar," peserta harus menjawab, "Obah kabeh, mundhak akeh." Agak aneh juga sih, soalnya aku yakin slogan obah kabeh mundhak akeh itu buat pilgub Jateng, tapi dipadukan dengan kata "3 besar". Soalnya, hal pasti bahwa PKS akan menjadi 3 besar di pilgub Jateng, mengingat hanya ada 3 pasangan calon dalam pilgub ini. Meski begitu, bisa juga dimaknai bahwa untuk menuju 3 besar pada 2014, langkah terdekat yang harus dilakukan adalah bekerja maksimal untuk pilgub Jateng 2013.

Finally, saatnya Ustadz Anis yang memberikan taujih. Seperti biasa, beliau membuka dengan kalimat, "Pertama tama saya ingin menyampaikan kepada antum saudara saudaraku sekalian, bahwa saya mencintai antum semua, uhibbukum fillah. Saya juga ingin menyampaikan salam cinta Ketua Majelis Syuro Ustadz Hilmi Aminuddin kepada antum semuanya. Juga salam cinta dari Presiden keempat PKS Al Ustadz Luthfi Hassan Ishaq, kita doakan semoga Allah memudahkan urusannya, insya Allah."

Meski telah menonton video Gesture edisi Ustadz Anis Matta, yang menyatakan secara eksplisit bahwa kalimat itu memang selalu beliau sampaikan saat membuka orasinya di setiap konsolidasi, mendengarnya lagi, kali ini secara langsung, tetap saja memberikan kesan tersendiri. Takbir pun masih saja membahana menyahut kalimat itu. Ada getaran tersendiri di hati, yang menggetarkan kantong air mata, yang melukiskan kristal bening pada mata.

Dalam dua hari terakhir, sepertinya taujih yang aku dengar selalu menggunakan bunga sebagai analogi. Kali ini Ustadz Anis mengibaratkan bunga di taman, yang akan tampak keharmonisannya tatkala bunga-bunga yang ada itu berwarna-warni. "Apa jadinya jika bunga yang ada hanya satu macam? Atau semua jenis bunga dipaksa menjadi satu warna?"

Acara selesai saat azan Dhuhur berkumandang. Sebetulnya peserta diminta agar setelah shalat langsung menuju Stadion Jatidiri untuk menghadiri deklarasi HP-Don sebagai Cagub-Cawagub Jateng. Karena beberapa hal, aku memilih tidak melanjutkan ke sana.

Sebelumnya aku sempat melihat Inung yang akhirnya datang bersama Devina dan Naila, tapi mereka tak melihatku. Saat semua peserta bergerak meninggalkan tempatnya, aku menunggu di satu titik agak di tengah, dan ternyata di situ bertemu salah seorang lagi guru SMP-ku: Bu Ari. Sekilas berbincang, aku melanjutkan menjulurkan leher untuk melihat kalau-kalau Inung cs sudah melihatku.

Mereka bertiga ternyata telat karena ada agenda Izzati dulu di kampus (Naila katanya gak datang ke acara Izzati, tapi kok ngikut telat ya?), dan langsung menuju Horison naik taksi. Pulangnya pun mereka sepakat lagi naik taksi, dan aku juga berminat bareng mereka (fasilitas enak dengan ongkos lumayan irit, hehe). Pengalaman mereka bertiga mungkin bisa dibilang lebih seru dariku, soalnya mereka ternyata satu lift bareng Ustadz Ari. Entah karena salah lift juga kayak aku atau gimana. Hehe...

Di tengah ballroom, kami bertemu beberapa kawan sesama mahasiswa Teknik. Bersama-sama, kami semua turun menggunakan lift yang sama dengan yang kugunakan untuk naik tadi. Kali ini, nyaris gak ada ummahat dengan balita-balitanya.

Turun dari lift, area di depan pintu lift malah dipakai buat farewell greeting. Pada salam-salaman dan pamitan di situ. Aku, Inung, Devina, dan Naila jalan bareng menuju tempat shalat yang mungkin hanya Devina yang tahu. Karena gak tahu tempat yang sebenarnya dituju, kami berjalan pelan sambil terus bertanya-tanya sebenarnya mau ke mana. Sempat berpapasan dengan Mbak Ain dan Dida, dan akhirnya kami malah mendiskusikan arah di situ.

Tahu-tahu, terdengar suara, "Hei, kalau ngobrol jangan di sini!"

Aku mencari sumber suara, dan persis di sebelahku yang sebelumnya tak pernah kuperhatikan, sebuah motor berdiri. Penumpangnya, yang tadi berkata, ternyata adalah Presiden BEM FT! (Meminjam istilah salah satu senior BEM, lebih tepat disebut Gubernur, soalnya di atasnya masih ada Presiden BEM Universitas, dan gak mungkin ada jabatan presiden di bawah presiden.)

Serentak, kami semua menoleh kaget. Kok bisa-bisanya posisi kita ternyata "tidak menguntungkan" begini. Apalagi, persis di belakang kami adalah bak terbuka sampah!

Para akhwat pun buru-buru menyingkir dari tempat itu. Aku, Inung, Devina, dan Naila bergegas mencari toko baju muslim yang kata Devina ada mushola di sana. Begitu aku dan Devina naik ke mushola di lantai tiga, Inung dan Naila pamit masuk dulu ke Citraland, membuatku dan Devina sempat kehilangan mereka. Menunggu SMS dari Inung masuk ke HP Devina, kami berdua iseng melihat-lihat ke sebuah toko kecil di dalam Citraland yang di atas pintunya ada tulisan, "Hallmark."

Di sana, keinginan menjadi jutawan itu tiba-tiba muncul. Banyak banget boneka Stitch, dengan aneka ekspresi dan posisi. Ada yang pakai jeans, ada yang makan buah, bahkan ada yang membawa buku! Meski ukurannya hampir sama dengan boneka Stitch-ku di wisma, yang cuma seharga lima puluh ribuan, harga Stitch di sini bisa tiga kali lipatnya!

Sambil melanjutkan perjalanan menuju tempat Inung dan Naila, yang ternyata ada di pintu masuk di ujung lain, batinku mulai merindukan semua Stitch itu. Sungguh kasih tak sampai... (Lebay!)

Kami berempat akhirnya dipertemukan kembali di depan Es Teler 77. Waktu bermenit-menit habis sia-sia untuk mendiskusikan di mana kami akan makan siang: Es Teler 77 atau Hoka-hoka Bento, sebab begitu kami sudah duduk di salah satu meja Es Teler 77 dan Devina melihat harga yang tercantum, kami segera cabut di situ. Habisnya, satu jenis makanan aja harganya di atas Rp20.000,00 padahal menunya biasa saja.

Di Hokben pun, hidup tidak semudah yang kami bayangkan. Saat Naila berusaha "mengamankan" salah satu meja, diusir sama waitress-nya. Setelah dekat dengan... apa ya namanya?---meja layan, kami melihat pengumuman yang tertempel bahwa pengunjung diharapkan antre sedangkan "kami" akan mencarikan meja.

Di dekat situ, sebuah layar vertikal menampilkan menu. Di salah satu slide yang ditayangkan, ada menu paket yang harganya cuma lima belas ribu, paling murah untuk kantong mahasiswa kos macam kami. Slide berganti, dan ternyata semua menu lainnya harganya di atas dua puluh ribu. Ada sih yang di bawah paket tadi, tapi itu juga cuma snack!

Sepanjang slide itu bergerak, tak satu pun jenis makanan yang kukenali. Seumur hidup, belum pernah aku ke Hokben, walaupun beberapa kali aku pernah mengunjungi restoran yang harganya lumayan "wah" (yang hampir kesemuanya dibayarin ortu, kecuali sekali-dua kali waktu ke Bakso Lapangan Tembak). Apalagi aku juga gak terlalu ngerti makanan Jepang kayak gini.

Maka, ketika Devina memesan paket 3, aku idem aja sama dia. Baru ketika Inung dan Naila masing-masing memesan paket 1 dan 2, aku ganti memesan paket 4. Gak banget, ya?

Sampai di meja, aku baru menyadari bahwa kasir tidak menyertakan sendok saat menyodorkan tisu dan sumpit. Hadeh, makan mie ayam aja aku gak bisa pakai sumpit, apalagi nasi dan potongan sayur yang kelihatannya gampang lepas ini. Terpaksa aku balik lagi ke kasir meminta sendok, dan ternyata memang cuma aku di antara kami berempat yang gak bisa pakai sumpit. Walaupun Naila juga mencari sendok, sendok itu hanya dia gunakan untuk mengambil nasi.

Meski makanan sudah ludes, kami masih ketawa-ketiwi gak jelas di sana, termasuk memberikan gelar Pengamat Angkot untuk Devina karena berhasil membedakan jurusan angkot oranye yang beredar di seluruh semarang berdasarkan coretan warna di bagian bawahnya. Kemampuan ini didapatkan dari hasil pengamatannya.

Lalu Inung mengulurkan sebuah tas kertas berwarna pink kepadaku. Di dalamnya ada sebuah botol. Kupikir aku lagi dikerjain, aku dipersilakan minum dari botol itu padahal sudah habis isinya. Malah Inung suruh membukanya. Eh, ternyata itu botol masih baru. Tiba-tiba Devina merebut botol itu dariku, berusaha melepas sesuatu di bagian bawahnya.

Saat mereka menunjukkan gambar Stitch yang menghiasi botol itu, barulah aku menyadari kalau mereka memberikan itu dalam rangka miladku, yang katanya ke-21. Wah, jazakunnallah... padahal sudah berhari-hari aku mengira bakal dikerjain hari ini. Hehe...

Seperti tersadar, Inung meminta tas kertas itu dariku. Mengikuti jejak Devina, dia berusaha melepas sesuatu di bagian bawah tas. Ternyata, mereka lupa melepas harganya!

No comments

Powered by Blogger.