Kalau Tak Bantu, Jangan Ganggu
Di satu daurah, seorang pembicara berkata: Yakin kalian mau gabung ke pasukan Izzudin Al-Qassam, jihad ke Palestina? Emang mereka mau merekrut kalian? Syarat masuknya aja ketat, loh. Minimal hafal 30 juz; kita juz 30 aja masih bolong-bolong. Fisik? Keliling lapangan aja udah megap-megap.
Bukannya membantu, bisa-bisa kita malahan mengganggu walau semangat menggebu. Lagi menyelinap di terowongan, mengendap di balik pepohonan kita malah pekikkan takbir. Kebongkar posisi oleh musuh. Kalau belum mampu berangkat untuk jihad fisik, maksimalkan saja usaha yang kita bisa: doa, donasi, propaganda, boikot. Jangan malah mengganggu dan menggembosi.
Mengganggu/menggembosi itu yang kayak apa sih? Salah satunya, terjebak di isu-isu yang nggak penting.
Misalnya, mempermasalahkan penggunaan simbol semangka alih-alih bendera. Padahal, bendera pun tak lebih dari simbol. Simbol mana pun yang kita pakai, selama itu merujuk pada sesuatu yang disepakati secara global, itu tidak akan mengubah makna.
Misal kedua, mempersoalkan dukungan ini apakah berlandaskan agama atau kemanusiaan. Di satu sisi, si penjajah sendiri menggunakan dalih kitabiyah mereka untuk melegitimasi tindakan mereka. Buktinya? Ketika mau mendirikan negara dan ditawari tanah subur lain seperti Argentina, mereka menolak, dan memilih tanah gersang di pertemuan tiga benua ini. Katanya, tanah itulah yang dijanjikan untuk mereka. Bagaimana mungkin kita tidak membantah klaim itu dengan dalil agama juga?
Di tanah itu, ada tempat suci bagi umat Islam, tempat Rasulullah mengimami shalat para nabi lainnya. Ketika masjid yang menjadi kiblat pertama itu diserang, salahkah umat Islam berjuang atas nama kesucian tempat itu?
Di tanah itu pula, teman-teman Nasrani memiliki tempat sucinya juga. Ada gereja yang turut menjadi sasaran tembak. Aku pun gembira jika mereka bersemangat mempertahankan tempat bersejarah mereka.
Dalam misi mereka, para penjajah juga tak peduli siapa yang kena serang: laki-laki/ perempuan, tua/muda/bayi, rakyat jelata/ jurnalis/aktivis. Tak peduli pula tempat yang mereka bombardir: rumah, sekolah, tempat ibadah, rumah sakit. Menghujat mereka atas nama kemanusiaan? Tentu sangat patut bahkan wajib.
Semua punya alasan pembelaannya, kenapa harus dipersoalkan? Bukankah kita sedang memperjuangkan sebuah kebebasan? Tidakkah itu termasuk kebebasan untuk memilih alasan pembelaan?
Misal ketiga, kebanyakan komentar yang nggak solutif soal boikot produk-produk tertentu yang support penjajah.
Kalau dirangkum, kira-kira komentarnya pasti nggak jauh-jauh dari: Kasihan nanti para pekerjanya yang terpaksa di-PHK kalau perusahaan itu bangkrut; cari kerjaan lain juga belum tentu dapat secepat itu.
Sudah banyak, sih, yang bahas bahwa efek boikot juga belum tentu seinstan itu. Kalau memang perusahaan sedemikian bangkrutnya sampai perlu mem-PHK karyawannya, memangnya perusahaan akan tinggal diam? Mereka pebisnis, mereka pasti juga mikir untuk menyelamatkan sumber keuangan mereka. Tuh, buktinya, ada gerai yang sampai harus pasang dekorasi warna semangka buat mempertahankan konsumen.
Terus, kenapa enggak sekalian boikot medsos buatan mereka?
Bayangkan saja peperangan fisik bersenjatakan panah. Akan ada pasukan yang menyusuri medan perang, memunguti anak-anak panah yang berserak setelah dilontarkan musuh. Anak-anak panah yang terkumpul bisa dipakai untuk menyerang balik musuh.
Medsos kira-kira sama. Kita pakai aset mereka untuk melawan balik mereka. Anggap saja media ini rampasan perang.
Btw, medsos-medsos ini sebenarnya juga melakukan aksi boikot, lho. Bedanya, objek boikot mereka adalah para pejuang kemanusiaan, dengan cara memblokir akun-akun yang menyerukan perlawanan dan menyampaikan kebenaran. Berapa banyak influencer yang terpaksa kehilangan akun (baik sementara maupun permanen) akibat "pemboikotan" oleh sosmed ini?
Tapi, mana ada yang memprotes bahwa aksi boikot mereka telah "mem-PHK" para influencer?
Misal terakhir, adakah di antara kita yang suka komen di akun-akun para influencer, "Bang/Mbak/Kak, bikin posting tentang dong. Kok gak posting soal sih?"
Mungkin para influencer ini punya pertimbangan sendiri untuk tidak posting di akun mereka. Selain soal keamanan, bisa jadi dalam hati mereka ada ketidaksetujuan dengan cara-cara yang kita lakukan, dan mereka memilih diam karena tidak ingin menggembosi jalan perjuangan yang tidak disepakatinya ini. Mungkin dia memilih cara lain untuk berjuang. Dan ini wajib kita apresiasi.
Pernah ketemu sama akun tokoh yang menyindir terang-terangan langkah yang kita tempuh? Lalu apa komentar kita?
"Mending diem, deh, daripada sekalinya ngomong malah bikin masalah!"
Ya sudah, kita nggak perlu maksa seseorang untuk speak up. Siapa tahu, doa dan donasi mereka dalam hening jauh lebih banyak dari kita. Siapa tahu, mereka punya ijtihad sendiri.
Kita ajak saja orang-orang untuk berpartisipasi dalam proyek propaganda, donasi, dan doa secara umum. Tapi gak usah maksa. Kecuali dia terang-terangan menggembosi atau merendahkan upaya perjuangan kita-yang begini baru kita sikat aja.
Tulisan ini pernah diunggah di Story Instagram. Berikut gambar tersebut.
No comments