Ibrahim, Iduladha, dan Hari Keluarga Nasional
Ada yang unik pada Iduladha tahun ini, yaitu jatuhnya yang bertepatan (atau beriringan) dengan Hari Keluarga Nasional.
Sudah menjadi hal yang umum, setiap Iduladha, kita selalu diingatkan akan kisah keluarga Ibrahim: tentang betapa teguhnya keimanan dan pengorbanan keluarga beliau.
Pada satu kajian, seorang ustaz mengatakan bahwa manusia diuji dengan apa yang dia hargai, cintai, dan junjung tinggi. Para nabi dan rasul pun tak lepas dari ujian semacam ini.
Yang sangat Nabi Ibrahim hargai adalah keberadaan anak salih yang akan meneruskan dakwahnya. Allah pun menguji beliau dengan ditundanya kehadiran sang anak. Sang anak sudah hadir, mereka malah dipisahkan. Sudah bertemu, sang ayah diperintahkan mengurbankan Ismail, anak yang lama dinantinya.
Nabi Ibrahim lulus dari ujian dengan gelar khalilullah. Beliau berhasil membuktikan kecintaannya pada Allah jauh lebih besar daripada kecintaannya pada anugerahnya, pada sesuatu yang telah lama dinantinya. Penyembelihan Ismail digantikan seekor hewan sembelihan. Setelah itu, doa beliau pun kembali diijabah dengan hadirnya seorang putra lagi, Ishaq.
Meski begitu, bukan hanya Ibrahim seorang yang berkorban dalam keluarga itu.
Betapa panjangnya pengorbanan Sarah, satu dari tiga manusia paling rupawan di dunia, menanti kehadiran buah hati bagi sang suami. Betapa beratnya pula ketika madunya, Hajar, ternyata Allah karuniai anak terlebih dahulu dari rahimnya. Kesabarannya pun dibayar lunas dengan hadirnya Ishaq, lama setelahnya, justru ketika ia sudah menopause.
Betapa hebatnya pula pengorbanan Hajar, yang meskipun telah "memberikan" seorang putra yang diharapkan sang suami, ia justru harus "diasingkan" di sebuah negeri yang jauh. Ah, bahkan sebutan negeri pun masih terlalu indah, sebab tak ada siapa pun di tanah tandus itu selain ia dan putranya. Meski begitu, ia pun sukses mendidik putranya menjadi anak salih sesuai doa sang ayah.
* * *
Saya baru tahu tentang Hari Keluarga Nasional beberapa pekan yang lalu. Beberapa sumber menyebutkan bahwa hari tersebut diperingati untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya sosok keluarga bagi pembangunan bangsa.
Ini mengingatkan saya pada maratibul amal, alias tahapan-tahapan amal. Tahapan kedua, setelah perbaikan diri, adalah membentuk keluarga muslim. Dari keluarga-keluarga muslim itulah, kita selanjutnya berekspansi menyebarkan Islam kepada masyarakat dan negara.
Saya takjub dengan betapa sinkronnya kedua landasan ini, tentang keluarga adalah lingkup pergaulan terkecil yang bisa menjadi pondasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara luas.
Bergabungnya Hari Keluarga Nasional dan Iduladha di hari yang sama mungkin menjadi tamparan bagi kita, bagaimana kita seharusnya memaknai sebuah keluarga melalui kisah Ibrahim dan keluarganya: keluarga yang kokoh dalam peran dan teguh dalam nilai.
Dalam realitas, tentu menyedihkan jika ada anggota keluarga yang tidak menjalankan perannya sebagaimana mestinya, atau membawa nilai-nilai yang jauh dari tuntunan. Akan tetapi kita pun masih bisa berperan dengan posisi kita: entah sebagai orang tua, sebagai anak, sebagai suami, sebagai istri, atau sebagai saudara, untuk menanamkan nilai-nilai itu pada sesama anggota keluarga.
Semakin dikulik, hikmah Iduladha ternyata makin banyak, ya. Kalau dulu waktu sekolah tahunya baru "bapak-anak yang ikhlas dan patuh", nyatanya bisa dipraktikkan ke peran diri dalam hidup sehari-hari. Keren banget....
ReplyDelete