Fungsi Parpol Itu...?
Beberapa minggu lalu, seorang kawan bercerita. Dia baru saja berkenalan dengan seorang dari partai politik a.k.a. parpol; dikenalkan oleh mertua, katanya. Suatu ketika, kenalan baru itu mengajaknya bertemu. Ternyata, tempat yang diminta didatanginya adalah lokasi tes kesehatan bakal calon anggota legislatif (bacaleg), dan teman saya itu ditembak untuk jadi caleg partai tersebut.
Terang saja, kawan saya itu terkejut. Sejauh yang saya kenal, dia bukan termasuk orang yang antusias bicara politik (entah di belakang saya). Dia membenarkan spekulasi saya bahwa dia ditunjuk untuk memenuhi syarat keterwakilan perempuan dalam proses pencalonan caleg oleh partai. Dia sendiri akhirnya bersedia menjadi "penggenap kuota" tersebut selama dia tidak keluar uang sama sekali.
Saat awal bercerita, dia mewanti-wanti saya agar tidak tertawa, tapi sepanjang percakapan lewat chat itu, saya tak hentinya tertawa. Tawa miris, tepatnya. Ya, saya tahu betapa sulitnya bagi partai di level daerah untuk menjaring kader yang layak dicalonkan sebagai aleg, apalagi dengan syarat kuota perempuan tersebut, tapi, kok, ya, gini amat, sampai harus mengajukan orang secara random. Padahal, daerah pemilihan (dapil) teman saya itu termasuk di kota besar.
Saya pernah mendumel kepada salah seorang senior saya di kampus dulu. Intinya, syarat minimum 30% caleg perempuan diajukan oleh sebuah parpol itu mengangkat harkat perempuan atau justru merendahkan mereka? Meskipun tujuan awalnya adalah untuk memastikan keterwakilan perempuan, tapi pada kenyataannya, banyak juga perempuan-perempuan ini dipilih secara random sebagai pelengkap. Apalagi, aturannya di tiga besar nomor urut caleg suatu parpol, harus ada setidaknya satu perempuan. Kalau dari 5 caleg yang diajukan partai, 1 caleg perempuan ini kualitasnya lebih rendah daripada 4 sisanya yang laki-laki, dan si perempuan ini mengungguli kedua lelaki lainnya dalam hal nomor urut, apa bukan malah merendahkan perempuan? Akan ada omongan bahwa si perempuan bisa unggul hanya karena syarat, bukan karena kemampuan.
Dari sudut pandang feminisme, yang katanya mengusung kesetaraan gender, seharusnya laki-laki dan perempuan punya kesempatan bersaing yang sama. Kalau dengan fasilitas yang sama, lelaki lebih unggul, itu risiko. Syarat 30% caleg perempuan ini justru bukti bahwa perempuan ingin diistimewakan, hampir-hampir tanpa memedulikan kualitasnya.
Idealnya, tugas parpol-lah untuk menyiapkan perempuan-perempuan ini menjadi kader yang mampu memperjuangkan kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, jangankan untuk memenuhi kuota perempuan, untuk sekadar mendaftarkan bacaleg berkualitas untuk bertarung dalam kancah pemilu saja, parpol-parpol ini sama random-nya.
Lihat saja, banyak partai berlomba-lomba mencalonkan selebritas dalam pemilu legislatif demi menjaring suara. Sebagai warga negara, mereka memang punya hak yang sama untuk berpartisipasi sebagai caleg, tapi kalau mereka tidak punya track record dalam bidang politik, sepertinya "maksa banget". Dalam salah satu video klip di Instagram, saya pernah menonton beberapa anggota legislatif dari kalangan seleb ini ditanya, "Apa bedanya partai Anda dengan partai lain?" Mereka tampak gagap menanggapi pertanyaan itu. Ini berarti, mereka sendiri tidak paham arah juang partai yang mengusung mereka.
Dari dulu saya bertanya-tanya, apa fungsi parpol selain ikut pemilu? Apa saja manfaat parpol selain menempatkan wakilnya di lembaga-lembaga legislatif dan mengusung calon kepala negara/daerah? Kalau cuma melakukan aksi-aksi sosial, sih, komunitas atau lembaga sosial lain juga bisa.
Jawabannya sebetulnya sederhana: parpol punya tugas dalam pendidikan politik di masyarakat. Salah satu output-nya adalah kader-kader negarawan yang siap bertarung gagasan di panggung politik untuk kemaslahatan bangsa dan negara. Jadi, di masa pencalonan ini, bacaleg yang diusung bukan acak atau sekadar terkenal namanya alih-alih kiprah politiknya.
Apakah sekarang fungsi itu sudah berjalan dengan semestinya? Mungkin ada partai yang sudah menerapkan, tapi sebagian besar tampaknya yang belum. Bisa jadi, ke depan perlu ada aturan bahwa caleg yang diajukan partai haruslah mereka yang sudah menjadi anggota partai itu selama beberapa tahun dan menjalani pelatihan atau pendidikan politik yang diberikan partai, bukan anggota kutu loncat atau masyarakat acak yang bahkan tak paham visi-misi partai.
No comments