"Buya Hamka" dan Film Biografi
Saya menonton film Buya Hamka secara impulsif. Kebetulan hari itu ada agenda keluar rumah pagi hari, tetapi malas langsung pulang. Saya mampir ke mall, sendirian, menunggu waktu sampai bioskop buka. Masuk ke bioskop sendirian pula.
Pengetahuan saya tentang Buya Hamka tak lebih dari bahwa beliau ulama yang juga sastrawan, dan pernah bersitegang dengan penguasa (alasannya pun saya tak terlalu paham). Perawakan beliau seperti apa pun hanya saya dapatkan dari seliweran foto di media sosial, dan tak terlalu membekas di ingatan. Jadi, saya menonton film tersebut tanpa ekspektasi, hanya berbekal beberapa ajakan dan review dari kawan dan tokoh di media sosial untuk mendukung apa yang disebut sebagai "film baik".
Saya bahkan kurang update dengan siapa saja aktor dan aktris yang dipercaya memerankan tokoh-tokoh yang ada. Saya hanya mengenali Laudya Cintya Bella sebagai pemeran Siti Raham setelah beberapa waktu, itu pun karena ingat wajahnya muncul dalam iklan sebuah film lain yang diputar dalam studio sebelum film dimulai. Kesan terhadap pemeran Buya Hamka sendiri adalah make up untuk Buya Hamka saat tua cukup bagus, sedangkan saat muda biasa saja. Sama seperti Bella, kedua aktor utama ini mungkin terlalu cantik/ganteng dan modern dibandingkan tokoh aslinya, hehe. Mungkin itu karena pertimbangan promosi juga, ya.
Bagi orang yang buta sejarah Buya seperti saya ini, film Buya Hamka cukup berhasil membentuk gambaran sosok seperti apa beliau ini. Kecintaan beliau terhadap dunia tulis-menulis rupanya tidak terbatas pada peran sebagai pengarang, tetapi juga terlibat dalam proses percetakannya. Tampaknya beliau termasuk pimpinan koran tersebut (kurang jelas bagi saya apa tepatnya posisi beliau). Ada pula penggambaran tarik-ulur strategi politik beliau di masa penjajahan, meskipun belum terlalu detail. Semoga di volume selanjutnya ada cerita yang lebih lengkap.
Sepanjang menonton film ini, saya hampir tak bisa lepas dari membandingkannya dengan film-film biografi lain. Salah dua yang paling saya ingat adalah Habibi & Ainun dan Nyai Ahmad Dahlan. Ada satu kesamaan antara ketiga film biografi ini: semuanya berkisah tentang laki-laki yang memiliki kiprah penting di luar rumah dan memiliki istri baik yang mendukung perjuangan mereka. Adegan lebih sering berlatar tempat kerja mereka (entah itu sekolah, kampus, ruang rapat, kantor, dan sebagainya) dan rumah. Di luar rumah, mereka bertemu kolega; di rumah mereka melanjutkan pekerjaan didampingi istri. Walaupun demikian cerdas dan hebatnya ketiga lelaki ini dalam peran masing-masing, beberapa kali mereka menemui "jalan buntu" yang solusinya muncul dari para istri.
Beberapa kali saya mendapat kesan bahwa penulis skenario kesulitan mengembangkan 4 kalimat yang saya tulis di atas tentang kesamaan itu menjadi representasi visual berdurasi 90-120 menitan. Konflik kebanyakan berasal dari luar rumah, dan rumah adalah tempat konflik tersebut diselesaikan. Hampir tidak ada konflik berarti di dalam rumah. Baiklah, para istri tersebut mungkin wanita yang taat dan suportif pada suami, tapi memangnya tidak bisa, ya, memberikan diskusi yang lebih hangat ketika sang suami buntu dan sang istri mengusulkan solusi?
Dalam Buya Hamka, misalnya. Siti Raham menemukan sepucuk surat di laci Buya yang menugaskan beliau untuk mengembangkan koran Panji Masyarakat di Medan. Raham bertanya kenapa surat tersebut diabaikan saja. Buya keberatan pindah ke Medan karena saat itu koran tersebut masih seumur jagung, dan dianggap kurang mampu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga mereka. Raham meminta Buya tetap berangkat, sedangkan anggota keluarga beliau bisa tinggal di Padang Panjang, tempat asal mereka, supaya lebih hemat. Buya langsung setuju.
Nah, poin saya adalah, cepat sekali diskusi ini mencapai kesepakatan? Keraguan Buya yang tampaknya berhari-hari hilang hanya dalam waktu semenit oleh tak lebih dari sepuluh kalimat argumen Raham. Apa tidak bisa, dibuat konflik dulu? Misalnya, Buya mengendapkan usul itu beberapa hari dulu, membantah usulan istrinya dengan berbagai dalih argumentatif, diskusi dengan anak-anak mereka dan teman-teman seperjuangan lain beliau di sekolah, dan sebagainya.
Tidak mudah, memang, menerjemahkan kalimat-kalimat dalam biografi, yang biasanya berupa gambaran umum keseharian dan ringkas, menjadi adegan yang "bercerita" dengan jelas
Karena referensi saya terhadap film biografi sangat minim, saya mencoba Googling film-film biografi luar negeri yang bisa saya gunakan sebagai perbandingan sebelum menulis review ini. Rupanya, tidak banyak film-film biografi yang disarankan IMBD yang pernah saya tonton.
Saat scrolling di IMDB itulah, saya terkejut mendapati The Sound of Music, film yang diproduksi 1965 dan termasuk salah satu film favorit saya, dikategorikan sebagai film biografi. Saya tahu, film tersebut memang dilandaskan pada buku auto-biografi oleh Maria von Trapp. Filmnya pun memiliki alur yang mengalir. Akan tetapi, berbagai sumber menyebut film tersebut memiliki banyak sekali perbedaan dengan kisah aslinya, sehingga menurut saya, itu sulit dikatakan sebagai biografi.
Teman-teman pembaca bisa merekomendasikan saya film biografi lain yang layak tonton sebagai perbandingan? Layak tonton di sini berarti sangat mendekati kisah asli dan didukung kualitas sinematografi bagus, serta tidak mengandung nilai-nilai yang terlalu jauh dari syariat semisal perbuatan layaknya kaum Nabi Luth.
Sebagai orang yang kurang tahu riwayat hidup Buya Hamka, ngerasa hal yang sama waktu nonton ini. Mudah-mudahan di film lanjutannya, dijelaskan lebih detail :D
ReplyDeletelihat spoilernya lumayan "mengungkap" sepertinya :D
Deletepoin penting bagiku setelah nonton: film sejarah nyatanya bisa tidak semembosankan yg ku bayangkan, hehehe
ReplyDeletesangat menunggu vol. 2 🎉🎉🎉
malah seru kalau didukung keahlian yg tepat :D
Delete