Inikah Lailatul-Qadar? Dan Satu Renungan Ramadhan
Sejak semalam hingga pagi ini, cukup ramai dugaan bahwa ini adalah malam lailatul-qadar. Beberapa status teman di media sosial melaporkan kondisi wilayahnya yang cerah tapi sejuk sebagai landasan perkiraan tersebut. Apalagi, semalam adalah malam ganjil bulan Ramadhan. Bukan hanya teman-teman di Indonesia, saya lihat unggahan seorang muslimah di Kanada juga menduga demikian.
Hmm... sayangnya, saya tak bisa mengatakan hal yang sama untuk wilayah saya. Pagi ini, ketika berangkat ke kantor, langit Jogja mendung. Mendekati kantor, turun rintik-rintik gerimis. Mendungnya awet sampai siang, walaupun benar, cuaca jadi lebih sejuk. Saya belum pernah dengar, apakah mungkin turun hujan pada malam lailatul-qadar.
Saya juga jadi bertanya-tanya, apakah mungkin lailatul-qadar jatuh pada waktu yang berbeda setiap daerah, ataukah seragam sedunia? Jika ya, pernahkah ada laporan cuaca yang serentak mengatakan bahwa semua daerah memiliki ciri-ciri yang disebutkan tentang lailatul-qadar?
Namun kemudian, saya membaca sebuah artikel: tidak perlu terlalu memikirkan apakah itu malam lailatul-qadar atau bukan, tetapi fokus saja pada amalan-amalan kita. Salah satu hikmah dirahasiakannya kapan pastinya lailatul-qadar adalah agar kita selalu bersemangat, menduga setiap malam adalah lailatul-qadar.
Lagipula, ada satu ceramah ustadz yang pernah saya dengar, bahwa definisi "malam ganjil" itu bisa jadi sedikit ambigu. Malam ganjil itu terhitung dari awal Ramadhan atau akhir Ramadhan? Kalau Ramadhan tahun tersebut ternyata memiliki 30 hari, akan beda malam ganjil yang dihitung dari awal dan akhir Ramadhan.
Jadi, ya... lebih baik maksimalkan saja ibadah kita seolah-olah tiap hari lailatul-qadar.
Ngomong-ngomong soal memaksimalkan ibadah, sepanjang Ramadhan kali ini saya memikirkan satu hal. Saat Ramadhan, kita biasa melakukan banyak amalan yang di luar Ramadhan belum tentu kita istiqamah menjalankannya: tambah kuantitas tilawah, shalat sunnah, dzikir, sedekah, dan sebagainya.
Ketika mendaftar ibadah-ibadah apa saja yang hendak dilakukan bulan ini, tiba-tiba saya merasa... aduh, jadi selama ini, ibadah saya tuh masih jauuuuuh banget dibandingkan dengan keinginan saya untuk masuk surga. Tilawah sering malas-malasan, shalat sunnah bolong-bolong, dzikir ala kadarnya, sedekah apalagi... kalah oleh berbagai kebutuhan tersier.
Menurut Ustadz, untuk mengistiqamahkan ibadah pasca-Ramadhan memang berat. Hampir tidak mungkin kita bisa menyamai ibadah selama Ramadhan. Karena itu, patokan "peningkatan diri" pasca-Ramadhan lebih tepat diukur berdasarkan kualitas diri saat bulan Sya'ban. Nah, kalau kualitas diri saat Sya'ban saja sudah demikian rendah, sedrastis apa perubahan yang diharapkan pasca-Ramadhan?
No comments