Jangan Takut Uji Swab
Kali pertama saya menjalani tes antigen, itu karena ibu dan salah satu adik saya hendak pergi ke Jakarta. Sebelumnya, kami juga sempat menerima tamu, anak-anak, yang sedang "mengungsi" karena ayahnya terdeteksi positif Covid, dan harus menjalani karantina mandiri ditemani istrinya alias ibu anak-anak ini. Anak-anak ini tinggal sementara tak jauh dari rumah saya, dan suatu ketika mereka bermain ke sana.
Beberapa hari kemudian, salah satu dari anak-anak ini mulai menampakkan gejala seperti demam, dan ketika mereka dites, hasilnya menunjukkan nilai positif. Mereka akhirnya isolasi juga. Yang tadinya hanya ibu dan adik saya yang akan pergi yang menjalani tes antigen, akhirnya saya dan adik saya yang tidak ikut pergi sekalian dites, apalagi waktu itu sedang parah-parahnya serbuan varian delta.
Seperti apa rasanya hidung dicolok sedemikian rupa?
Menurut saya, menyakitkan sekali, sih, enggak. Memang sedikit sakit ketika stik swab itu mengenai kulit di rongga hidung, mungkin juga karena terkejut karena stik itu mengenainya secara mendadak dan kuat. Yang lebih dominan justru rasa tidak nyaman setelah proses pengambilan sampel selesai: seolah ada benda asing yang masih menempel di dalam rongga hidung (semacam upil atau ingus) dan ingin dikeluarkan, tapi ketika dibersitkan, tidak ada apa-apa yang keluar. Lubang hidung juga serasa berdarah, tapi ketika diusap, setitik darah pun tak ada.
Hasilnya, alhamdulillah, negatif untuk kami sekeluarga.
* * *
Sekitar tiga bulan sesudah itu, saya mengalami diare dengan perut serasa ditonjok dan diremas-remas. Setelah dapat obat dari periksa ke UGD puskesmas terdekat (karena poli sudah tutup), kondisi perut sudah membaik, tetapi badan mulai terasa tidak enak seperti demam, ada juga bersin dan batuk-batuk.
Batuk sendiri bukan hal yang asing bagi saya. Beberapa kali menderita bronkitis, saya pernah batuk selama tiga atau empat pekan berturut-turut, biasanya terjadi setelah demam dan pilek selama satu-dua hari. Hanya saja, selama pandemi dan di rumah saja selama satu setengah tahun, bronkitis itu belum pernah kambuh lagi, bahkan tidak ketika Bapak terinfeksi Covid parah (sampai meninggal) dan saya melakukan kontak fisik yang sangat erat dengannya, padahal masa-masa itu juga kondisi fisik dan mental luar biasa lelah yang memungkinkan daya tahan tubuh menurun drastis.
Nah, kalau kali ini mulai batuk-batuk lagi, yang gatalnya juga bukan dari tenggorokan melainkan saluran pernapasan agak bawah, sepertinya saya patut curiga. Ketika saya kembali kontrol ke UGD puskesmas pun (lagi-lagi poli sudah tutup karena saya "sengaja" datang siang), mereka menyarankan saya datang pagi supaya bisa melakukan tes swab.
Entah kenapa, proses swab kali ini terasa lebih tidak enak daripada sebelumnya. Sakitnya baru terasa, sampai saya mengerang selagi petugas lab memutar stik swab itu dalam rongga hidung saya. Mungkin juga ini refleks pertahanan diri, karena, secara umum, saya memang tidak pernah nyaman ketika ada zat apa pun yang masuk ke hidung atau mata. Ini pula yang menyebabkan saya hampir tidak pernah melakukan istinsyaq alias memasukkan air ke dalam rongga hidung ketika wudhu; setiap kali ber-istinsyaq, saya bisa muntah-muntah.
Sekali lagi, hasil tesnya negatif.
Melihat hasil itu, dokter puskesmas sempat menyuruh saya menjalani tes TBC. Saya harus menyerahkan dahak-pagi-hari yang dikeluarkan setelah bangun tidur. Apesnya, dari bangun sampai sekitar jam 9, dahak yang keluar paling cuma beberapa tetes, sampai-sampai petugas labnya bingung, "Ini beneran ada dahaknya?"
Ya, gimana, Bu, bangun tidur nggak ada dahaknya.... Perut juga udah keroncongan kalau tidak boleh makan dulu sebelum mengeluarkan dahak...
Dari awal saya sudah meyakini hasil tes TBC pasti negatif. Bukan sekali ini pula batuk-batuk saya dianggap TBC oleh dokter yang baru pertama kali memeriksa. Saya pernah di-rontgen dan hasilnya memang menunjukkan penyakit bronkitis, bukan TBC.
Batuk kali ini berlangsung selama kira-kira sebulan, dan setelah itu mereda.
* * *
Awal 2022 ini, saya merasakan gejala seperti radang tenggorokan, diikuti bersin-bersin dengan frekuensi yang cukup sering. Dua hari kemudian, badan terasa demam, tapi tidak punya termometer untuk memastikan suhu. Sempat kepikiran mau ke supermarket. Kalau suhunya tinggi dan dilarang masuk, tinggal bilang aja, "Iya, Pak, saya emang cuma mau ngecek suhu. Makasih, ya." Trus pulang. Haha...
Karena sudah dua hari izin kantor, akhirnya saya periksa ke puskesmas. Berbeda dengan sebelumnya, ketika posisi saya di Semarang, kali ini saya ada di Jogja. Harus menjelaskan ulang kondisi saya pada dokter puskesmas di Jogja, tentang riwayat bronkitis, bla bla bla.
Saya sempat tanya kepada dokternya, apa perlu tes antigen. Dokter bilang tidak perlu, karena toh sekarang sulit membedakan antara Covid atau bukan.
Seperti biasa, setelah demam dan pileknya berhenti, saya batuk selama hampir sebulan. Namun, seminggu setelah batuknya mulai hilang, ketika saya sempat pulang sebentar ke Semarang, kembali saya merasakan gejala yang sama: tenggorokan tidak nyaman, badan greges-greges seperti demam.
Hari itu libur nasional dalam rangka tahun baru Imlek. Rencananya, saya berangkat kembali ke Jogja bakda subuh. Seharian pusing tujuh keliling cari dokter atau klinik yang buka. Sebenarnya bisa saja saya periksa di Jogja, tapi kalau ternyata dokter memerintahkan saya tes antigen dan hasilnya positif, karantina di rumah sendiri pastinya lebih nyaman daripada di kos.
Qadarullah, klinik yang buka hari itu adalah klinik yang sama dengan tempat saya tes antigen pertama kali. Atas inisiatif sendiri, saya meminta tes antigen. Awalnya berharap prosesnya seperti waktu saya tes pertama kali dulu, tapi ternyata lebih mirip tes kedua.
Kalau waktu itu cukup tes saja karena tidak ada gejala, kali ini saya berkonsultasi dengan dokter. Dokter menyebutkan hasil tes saya negatif, tapi sempat kaget melihat hasil pengukuran saturasi saya. Di bagian pendaftaran tadi, seorang perawat memang melakukan skrining tanda-tanda vital. Saat mengecek saturasi, alat itu cukup lama menunjukkan angka 100, lalu berangsur turun sampai 94. Angka terakhir inilah yang rupanya dicatat oleh si perawat.
Dokter mengecek ulang dengan alat di ruangannya, dan hasilnya menunjukkan angka 97. Mungkin alat sebelumnya kurang akurat, bisa jadi karena adanya gerakan dari jari saya.
Ada momen lucu saat pemeriksaan itu. Setelah mendengar keluhan saya, dokter bertanya, "Berat badan turun?"
Saya spontan menjawab, "Malah naik, Dok!"
Malah curhat! Padahal pertanyaan berat badan itu, kan, untuk memastikan penyakitnya TBC (yang salah satu cirinya memang berat badan turun drastis) atau bukan.
Dokter mengizinkan saya bepergian ke Jogja, terutama karena hasil tesnya negatif, dan memberi saya segepok obat, yang begitu obatnya habis, saya harus langsung kontrol ke dokter di Jogja.
Di Jogja, saya ke puskesmas. Dokter yang menangani saya berbeda dengan kunjungan saya sebelumnya ke puskesmas. Dokter yang ini sempat mau menyarankan saya mengambil tes antigen, tapi ketika saya katakan saya sudah tes antigen beberapa hari lalu dengan hasil negatif, anjuran itu dibatalkan dan saya hanya diberi obat serta beberapa anjuran perawatan.
* * *
Tiga pengalaman tes antigen, baik ada gejala atau tidak... yang "menakutkan" bagi saya bukan hasilnya, tapi prosesnya yang memang tidak nyaman.
Soal hasilnya ini, saya kira inilah yang membuat sebagian kalangan malas disuruh tes walaupun habis kontak erat ataupun memunculkan gejala Covid. Yang takut di-Covid-kan, lah, yang menganggap ini cuma bisnis kelompok tertentu, lah...
Baiklah, mungkin ada kalangan yang memanfaatkan situasi pandemi ini untuk keuntungan mereka dengan merugikan masyarakat. Jika ada, saya berharap mereka mendapatkan balasan berupa azab yang pedih di dunia maupun akhirat. Saya juga tidak menafikan kalau mungkin ada yang dengan sengaja mengubah hasil negatif jadi positif, entah apa pun motifnya.
Tapi, ya, jangan juga enggan melangkah hanya karena ada orang yang memasang jerat di depan kita. Tidak semua dokter, tenaga kesehatan, atau instansi kesehatan seperti itu. Masih ada orang-orang dan instansi-instansi yang jujur, yang memperjuangkan dan memberikan hak pasien dengan baik.
Kalau memang semua tenaga kesehatan ini curang dan sekadar meng-Covid-kan, tentu saya sudah menjadi sasaran empuk dua kali. Satu dari instansi negeri alias puskesmas, satu lagi klinik swasta. Dua-duanya menyatakan hasil negatif Covid di saat saya jelas-jelas menunjukkan gejala spesifik.
* * *
Bukan cuma pengalaman saya, tapi pengalaman ibu saya juga menunjukkan bahwa tidak semua penyelenggara tes swab ini sengaja meng-Covid-kan tanpa dasar.
Serupa dengan saya, Ibu juga punya masalah dengan paru-paru. Bedanya, komorbid Ibu ada di paru-paru bagian atas, mungkin lebih dekat disebut asma. Kalau sedang kumat, napasnya berbunyi "ngiiik" keras dan kalau tidur sebisa mungkin harus dalam posisi tegak, bukan berbaring lurus.
Satu atau malam sebelum Bapak dibawa ke rumah sakit karena kondisinya yang menurun (waktu itu kami belum tahu kalau Bapak sedang terkena Covid karena 2 dokter yang ditemui tidak pernah memvonisnya demikian atau bahkan menyarankan untuk tes rapid antibodi atau PCR), Ibu juga dalam kondisi tidak fit. Ketika tidur, napasnya berbunyi keras dan seperti mendengkur, sampai-sampai Bapak membangunkan Ibu dan mengatakan, "Napasmu kok kayak orang mau mati."
Seminggu setelah kejadian itu, beberapa hari setelah Bapak masuk ICU karena Covid-nya, petugas puskesmas mendatangi rumah kami untuk melakukan tracing. Tidak semua anggota keluarga dites PCR, hanya rapid antibodi, dan baru dites PCR kalau hasil tes antibodi menunjukkan reaksi.
Tes antibodi Ibu menunjukkan hasil reaktif (sayangnya, saya tidak memperhatikan yang reaktif IgG atau IgM), maka Ibu diminta menjalani tes PCR.
Kalau mereka sengaja mau meng-Covid-kan Ibu, gampang banget, sebetulnya. Suami positif (yang berarti kontak erat), diri sendiri punya komorbid yang sedang bergejala, dibilang harus istirahat dan tak banyak membebani pikiran jelas nggak mungkin dalam kondisi seperti itu, rapid antibodi reaktif... Kurang apa lagi?
Nyatanya, hasil tes PCR yang sampai pada kami tiga hari kemudian menyatakan Ibu negatif.
Belum lama ini, kembali Covid menghampiri rumah kami. Saudara sepupu yang tinggal di rumah kami ternyata positif dengan gejala khas varian Omnicron: batuk, demam. Pada saat yang sama, Ibu juga sedang batuk-batuk lumayan parah. Ketika dites antigen, masih saja Ibu negatif.
Di satu sisi, kadang takjub juga bahwa Ibu selalu negatif ketika dites, padahal komorbidnya erat kaitannya dengan pernapasan, belum lagi penyakit asam lambungnya yang bikin geger setiap kali kambuh (karena kejadiannya hampir selalu tengah malam). Aktivitas Ibu juga tidak bisa dibilang ringan, bahkan Ibu sendiri sangat susah kalau disuruh tidur.
Masyaallah, semoga sehat-sehat selalu, Bu, dan tak perlu mengalami positif Covid satu kali pun.
* * *
Sebagaimana sisi kehidupan mana pun yang tak lepas dari akal bulus orang-orang licik, pandemi juga demikian. Tapi, apa ya kita menghindar dari semua itu kala dibutuhkan, hanya karena penjahat-penjahat itu?
Seperti yang selalu dibilang kalangan yang menolak kenyataan akan pandemi Covid, hidup-mati di tangan Allah. Kalau Allah berkehendak, apa pun bisa terjadi. Nah, kalau memang takdir Allah kita kena Covid, ya sudah... jalani saja pengobatannya, kan? Ikhtiar dengan usaha terbaik yang kita mampu.
Harus tes kalau bergejala? Tes aja. Kalau hasilnya negatif, alhamdulillah, masih bisa beraktivitas seperti biasa, jangan lupa tetap pakai masker kalau keluar rumah dan jaga jarak dengan orang lain. Kalau positif, dikasih obat, ya, diminum; disuruh karantina, ya, karantina. Toh, saat ini karantina mandiri lebih ditekankan daripada perawatan di rumah sakit selama gejala masih ringan atau tidak ada.
Di atas semua itu, jangan pernah lelah berdoa: agar kita selalu sehat, dijauhkan dari segala penyakit termasuk Covid, agar Allah segera mengangkat virus Corona ini dari muka bumi, sehingga bumi kembali menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk ditinggali, untuk beribadah, untuk bersilaturrahim, untuk menuntut ilmu, dan untuk bertafakur.
Thanks for sharing, Mbak. Mungkin testimoni seperti ini lebih dibutuhkan oleh masyarakat biar nggak gampang menuduh suatu profesi itu bohong. Setuju dgn paragraf ke-4 dari akhir. Kalau masalah oknum nakal, di segala profesi dan bidang tentu pasti ada. Tapi bukan berarti kita nggak butuh profesi itu atau barangnya kan. Buktinya beras, minyak, dll juga ada 'permainannya' tapi bukan berarti mereka nggak nyata/kita nggak butuh buat hidup sehari-hari :D
ReplyDeleteMinyak. Betul. Diduga ada yang sedang menimbun minyak, apa ya kita berhenti mengkonsumsi minyak? Malah sehat, dong. (Eh!) 😂
DeleteMantap ini, mbak. Setuju dengan komen di atas. Pengakuan seperti perlu diperbanyak. Saya sendiri juga beberapa kali swab antigen dan sekali swab PCR. Alhamdulillah semua negatif. Jadi ya agak heran aja ada yang takut dicovidkan.
ReplyDelete"Pengakuan" ini sebenarnya kan nggak valid secara ilmiah. Tapi gimana lagi, mereka juga lebih percayanya sama "pengakuan-pengakuan" itu daripada data. 😅
Deleteaku kyk ibu banget lil.. with komorbid dll alhamdulillah pas sekalinya swab negatif
ReplyDeleteeleanors juga pas diswab qodarulloh agak meler, tapi ya nggak lantas dicovidkan..
anyway sharing yg bermanfaat as usual.. good job 😘👍🏻
Alhamdulillah, ya, kita ketemu nakes yang jujur. Jadi, insyaallah, aman dan tepat sasaran, Sebenarnya sedih juga sih kalau baca kisah tentang oknum yang gak jujur, bikin masyarakat anti aja sama yang seharusnya diperlukan.
DeleteBtw, sarang laba-laba di blogmu udah dibersihkan belum? Wkwkwk. Mungkin setelah semua kesibukan usai, ya. (Halah, kapan sih kamu gak sibuk? Ahahaha.)
haloooo
Deletebahkan buat ngecek balik reply komenan pun tidak sempat yaa, ahahahaa
doakan aku ya, supaya mau menyempatkan diri buat nulis lagi 🤗😁
Wkwkwk, udah lupa ada komen ini. Yok, semangat sambat di blog lagi #eh
Delete