Rezekimu, Diulurkan atau Dilemparkan?
Sore kemarin, sewaktu mengisi mentoring, salah satu mentee menanyakan pertanyaan yang biasa kita dengar, tetapi jawabannya mungkin belum mengena di hati.
Saya tidak ingat redaksi pertanyaannya, tetapi intinya seperti ini, "Tuhan itu nggak adil, ya. Saya sudah shalat, puasa, dan melakukan amalan-amalan lainnya, tetapi hidup saya begini-begini saja. Sedangkan teman saya, dia jarang shalat, jarang puasa, aktivitasnya pacaran melulu, buat dosa terus, tapi dia kaya, diterima di kampus negeri ternama, hidupnya tampak sempurna."
Secara tersirat, dia juga mengatakan sudah bosan dengan jawaban seperti, "Itu ujian bagi orang yang taat beribadah." Ungkapan ini membuat saya terhenyak. Lalu bagaimana bisa memberikan jawaban yang memuaskan baginya? Memuaskan, dalam arti dia tidak lagi mempertanyakan keadilan Allah. Padahal, bisa jadi dalam hati saya sendiri pun sering muncul rasa berontak ini tanpa saya sadari. Maka, jawaban ini juga harusnya menjadi pengingat buat saya sendiri. Jawaban yang sama-sama memuaskan diri saya.
Dalam situasi itu, ada satu cerita yang melompat dalam pikiran saya. Cerita yang pernah viral di media sosial tentang seseorang bernama Bu Dendy. Menurut kabar yang beredar, awalnya adalah teman Bu Dendy yang terpergok berselingkuh dengan Pak Dendy. Saking emosinya, Bu Dendy kemudian mendatangi selingkuhan ini dan menantang untuk membeli harga dirinya, dengan aksi menghamburkan berlembar-lembar uang seratus ribuan sambil mencaci maki.
Diambil dari situs sketsagram.com, berikut kutipan sebagian monolog Bu Dendy di depan selingkuhan suaminya itu.
Pengenmu apa kowe karo bojoku, kowe butuh duit?
(Penginnya apa kamu dari suamiku, kamu butuh duit?)
Butuhmu karo bojoku duit to? Iki lho duit! Nyoh! Panganen!
(Butuhmu sama suamiku uang kan? Ini lho uangnya! Nih! Makan itu uang!)
Ini janda gak nduwe isin. Kowe nek ngomong duitku akeh, tak akoni nek duitku akeh.
(Ini janda gak punya malu. Kamu kalo ngomong uangku banyak, aku akui kalo uangku banyak.)
Kok penakmen kowe, duit limang juta, sepuluh juta, lima belas juta.
(Kok begitu enaknya kamu minta uang lima juta, sepuluh juta, lima belas juta.)
Harga dirimu tak tuku!
(Harga dirimu aku beli!)
Dalam kasus di atas, kesalahan diceritakan ada pada selingkuhan Pak Dendy. Dia membuat dosa: "merebut" suami orang. Tetapi, bentuk hukuman yang dijatuhkan Bu Dendy kepadanya bukanlah penderitaan kasatmata. Si selingkuhan justru dihujani "rezeki" berupa lembaran-lembaran uang seratus ribuan. Dalam kondisi normal, siapa sih yang tidak ingin diberikan uang sebanyak itu?
Tetapi bagaimana cara Bu Dendy memberikan harta sebanyak itu? Dilemparkan dengan menghina, disertai kemarahan luar biasa yang mengungkit kesalahan-kesalahan si selingkuhan.
Kembali ke pertanyaan mentee saya di awal tulisan, apakah posisi kita sama dengan selingkuhan Pak Dendy? Kita membuat dosa, mengabaikan aturan-aturan yang ditetapkan-Nya, tetapi masih diberikan rezeki yang melimpah? Apakah kita memilih untuk berdosa saja supaya kita dapat rezeki?
Tunggu dulu. Are you sure, itu rezeki? Jangan-jangan, Allah memberikan kita "rezeki" sebanyak itu dengan cara melemparkannya pada kita. Jangan-jangan, datangnya "rezeki" itu diiringi kemurkaan-Nya.
"Kau ingin apa dari-Ku? Uang? Jabatan? Harta melimpah? Kekasih? Nih, makan tuh uang! Manusia tak tahu malu, kalau kaubilang rezeki-Ku banyak, Aku memang Maha Pemberi rezeki. Cuma segitu sih kecil!"
Mungkin begitu kira-kira kemurkaan Allah pada kita. Jangan lupa, Allah adalah satu-satunya yang berhak sombong. Lalu kita mau apa?
Apakah bisa, kita masih tertawa bahagia menikmati "rezeki" yang Allah berikan, sementara yang mengiringinya adalah murka?
Kita sendirilah yang tidak tahu, tidak sadar, bagaimana cara Allah memberikan rezeki kepada kita. Apakah diulurkan baik-baik, ataukah dilemparkan sepenuh penghinaan?
Allahummaghfir lanaa...
Maka, yang terpenting bagi kita bukanlah sebanyak apa rezeki itu diberikan, tetapi seberapa berkah rezeki yang kita terima. Apa tanda keberkahan rezeki itu? Di antaranya adalah, dengan rezeki itu, kita jadi bertambah keimanan kepada Allah, kita jadi semakin tunduk dan cinta pada Allah, dan kita menjadi ringan untuk beribadah kepada Allah.
Bukankah setiap akan menyantap makanan, kita selalu memohon keberkahan dalam rezeki yang Allah berikan?
"Allaahumma baarik lanaa fii maa razaqtanaa wa qinaa 'azaaba-nnaar. (Ya Allah, berkahilah kami dalam rezeki yang telah Engkau berikan kepada kami dan peliharalah kami dari siksa api neraka.)"
Ya Allah, berikankah kami rezeki dengan cara yang Engkau ridhai, dan jadikanlah rezeki itu jalan bagi kami untuk semakin dekat dengan-Mu.
Tetapi bagaimana cara Bu Dendy memberikan harta sebanyak itu? Dilemparkan dengan menghina, disertai kemarahan luar biasa yang mengungkit kesalahan-kesalahan si selingkuhan.
Kembali ke pertanyaan mentee saya di awal tulisan, apakah posisi kita sama dengan selingkuhan Pak Dendy? Kita membuat dosa, mengabaikan aturan-aturan yang ditetapkan-Nya, tetapi masih diberikan rezeki yang melimpah? Apakah kita memilih untuk berdosa saja supaya kita dapat rezeki?
Tunggu dulu. Are you sure, itu rezeki? Jangan-jangan, Allah memberikan kita "rezeki" sebanyak itu dengan cara melemparkannya pada kita. Jangan-jangan, datangnya "rezeki" itu diiringi kemurkaan-Nya.
"Kau ingin apa dari-Ku? Uang? Jabatan? Harta melimpah? Kekasih? Nih, makan tuh uang! Manusia tak tahu malu, kalau kaubilang rezeki-Ku banyak, Aku memang Maha Pemberi rezeki. Cuma segitu sih kecil!"
Mungkin begitu kira-kira kemurkaan Allah pada kita. Jangan lupa, Allah adalah satu-satunya yang berhak sombong. Lalu kita mau apa?
Apakah bisa, kita masih tertawa bahagia menikmati "rezeki" yang Allah berikan, sementara yang mengiringinya adalah murka?
Kita sendirilah yang tidak tahu, tidak sadar, bagaimana cara Allah memberikan rezeki kepada kita. Apakah diulurkan baik-baik, ataukah dilemparkan sepenuh penghinaan?
Allahummaghfir lanaa...
Maka, yang terpenting bagi kita bukanlah sebanyak apa rezeki itu diberikan, tetapi seberapa berkah rezeki yang kita terima. Apa tanda keberkahan rezeki itu? Di antaranya adalah, dengan rezeki itu, kita jadi bertambah keimanan kepada Allah, kita jadi semakin tunduk dan cinta pada Allah, dan kita menjadi ringan untuk beribadah kepada Allah.
Bukankah setiap akan menyantap makanan, kita selalu memohon keberkahan dalam rezeki yang Allah berikan?
"Allaahumma baarik lanaa fii maa razaqtanaa wa qinaa 'azaaba-nnaar. (Ya Allah, berkahilah kami dalam rezeki yang telah Engkau berikan kepada kami dan peliharalah kami dari siksa api neraka.)"
Ya Allah, berikankah kami rezeki dengan cara yang Engkau ridhai, dan jadikanlah rezeki itu jalan bagi kami untuk semakin dekat dengan-Mu.
No comments