Musyawarah dan Konsekuensi
Seandainya Rasulullah memerintahkan umatnya untuk menjalankan titahnya tanpa pertanyaan, siapa yang akan menentangnya selain kaum kuffar? Apa yang menjadi mimpi beliau, siapa yang meragukan jika itu sebuah wahyu?
Tetapi, Rasulullah bukanlah pemimpin yang tidak mau bermusyawarah. Meski mimpi beliau jelas-jelas memperlihatkan untuk tidak mengikuti Perang Uhud, Rasulullah pun mengiyakan ketika para sahabat mendesak beliau agar maju berperang, khususnya sahabat yang Allah takdirkan untuk tidak mengikuti perang Badar.
Tokoh utama kaum munafik, Abdullah bin Ubay, menertawakan para sahabat yang tidak "menaati" Rasulullah. Sebab seandainya titah panglima tertinggi itu dituruti, niscaya pasukan muslim tidak akan mengalami kekalahan.
Tapi Rasulullah tidak menyesalkan keputusan itu. Pun para sahabat.
Maka banyak sekali ibrah yang kita dapatkan hanya dari kisah singkat itu.
Dari Rasulullah, kita belajar untuk menjadi pemimpin yang mengedepankan musyawarah, selain masalah aqidah dan ibadah. Dari para sahabat, kita belajar untuk konsekuen dengan pilihan kita sendiri, meski hal tersebut tidak selalu sesuai dengan harapan.
Sekarang, mari beralih pada kisah perang Khandaq.
Karena Rasulullah menyatakan bahwa strateginya bukan wahyu, usulan Salman al Farisi pun diterima. Orang Persia biasa membuat parit untuk melindungi diri, hal yang belum dikenal oleh bangsa Arab. Maka usulan "aneh" Salman menjadi tumpuan harapan bagi kaum muslim.
Ternyata, kemenangan gilang-gemilang mereka raih.
Artinya, bahkan Rasulullah yang ma'shum pun belum tentu bisa memberikan ide sebaik Salman, atas izin Allah tentunya. Beliau justru memberikan ruang bagi kadernya untuk berkarya.
Bagaimana dengan kita? Akankah kita bersembunyi di balik alasan bahwa, "Saya bukan Rasulullah yang bisa seperti itu."
—January 12, 2013
—January 12, 2013
No comments