Poligami? Hmm...
Sebenernya ngerasa nggak pantes lah nulisin kayak ginian, orang nikah aja belum, jadi pasti bakal ada orang yang nyinyirin tulisan ini, "Kamu bisa nulis ini kan karena kamu belum ngerasain," dan lain sebagainya.
Tapi belakangan isu ini muncul lagi dengan santernya, padahal dari dulu perdebatannya juga gitu terus. Dan yang bikin gue sesak dada, itu karena habis itu pada mencaci ajaran Islam.
Mungkin tulisan ini juga bisa jadi bahan pertimbangan lah, kalau-kalau ada yang lagi kepoin gue sebelum ta'aruf ntar, atau kalau pas ta'arufan masalah ini diangkat lagi, jadi gue tinggal sodorin artikel ini aja. Hahaha... Dan kalau ternyata gak setuju sama opini gue ini, silakan mundur teratur sebelum ngajuin proposal ke gue. Hohoho.
* * *
Poligami, sebetulnya ini istilah umum untuk laki-laki dan perempuan yang punya spouse lebih dari 1 pada saat bersamaan (according to KBBI: sistem perkawinan yang membolehkan seseorang mempunyai istri atau suami lebih dari satu orang). Kalau laki-laki yang punya istri more than one disebutnya poligini, kalau perempuan yang bersuami banyak disebut poliandri. Tapi berhubung istilah poligami lebih populer untuk laki-laki yang beristri lebih dari satu dalam satu waktu, okelah, pada tulisan ini, poligami berarti seperti itu.
Gue nggak pernah dalam posisi setuju atau tidak setuju soal poligami. Bagi gue, hukum poligami sama seperti nikah, yang bisa jadi wajib, sunnah, makrukh, maupun haram. Tergantung situasi dan kondisi. Sedikit berbeda sih, soalnya kalau menikah (sekali) itu kan secara umum sunnah, bahkan sampai "diancam" Rasulullah kalau berniat nggak pernah menikah bukan termasuk ummat beliau. Sementara poligami, emang ada dalil yang mengatakan kalau enggak poligami itu bukan termasuk ummat beliau?
Di sini titik poin yang paling penting menurut gue. Orang, terutama laki-laki, sering menyebut poligami sebagai sunnah. Padahal, sunnah berarti kalau dikerjakan dapet pahala, ditinggalkan termasuk orang yang RUGI. Bukan rugi karena masalah duniawi, tapi masalah ukhrawi.
Maka, membicarakan poligami, berarti perlu dilihat dulu akar masalahnya, kenapa bahkan sampai dalam Al Qur'an diatur masalah ini, nggak cukup lewat hadits aja. Landasan yang sering dipakai adalah Surah An Nisaa' ayat 3. Sebelum ada ayat ini, para lelaki bebas mengawini banyak banget istri, mungkin hingga belasan atau puluhan. Mau adil atau enggak, belum ada aturannya. Nah, turunnya ayat ini justru untuk membatasi keinginan para lelaki dari beristri terlalu banyak. Bahkan, kalau syarat utamanya (adil) tidak dipenuhi, yang diperintahkan adalah satu.
Ayat ini, buat gue, bukan untuk memperdebatkan hukum poligami menjadi sunnah atau haram, tetapi merupakan acuan bagi mereka yang mempertimbangkan pilihan untuk berpoligami.
Jadi, gue nggak pernah mempermasalahkan tindakan poligami seseorang, selama syaratnya terpenuhi. Apalagi kalau udah pada nyinyirin ustadz, gue sebel banget lah sama nyinyirers ini. Lah, ustadz kan ilmu agama mumpuni, asumsi umum kan mereka lebih paham tentang bagaimana berlaku adil itu. Tanggung jawab untuk mendidik mereka juga bisa, dan sebagian besar ustadz yang berpoligami ini mampu secara materi mencukupi keluarganya. Gue baru gerah dengan isu poligami kalau si cowok ini normalnya menghidupi satu wanita (plus anak-anaknya) aja nggak bisa, kerja asal-asalan, tapi malah nekat poligami.
Dari para wanita, sering banget nih gue temuin argumen macam ini (menurut gue, dua ini udah winner sama runner up dari sisi kepopuleran argumen deh).
Satu: "Rasulullah aja melarang Ali memadu Fatimah."
Udah pernah baca sirah lengkapnya? Kenapa sampai Rasulullah melarang demikian? Padahal sahabat lain punya istri sampai 4 pun nggak ditegur?
Sependek pengetahuan gue, itu karena calon yang mau dinikahi Ali adalah putrinya Abu Jahal, dan Rasulullah menolak mentah-mentah bahwa putri seorang Rasul dan putri musuh Rasul bersatu dalam keluarga. Jadi bukan poligaminya yang ditolak Rasulullah, tapi calonnya itu yang bermasalah.
Dua: "Yang dinikahi Rasulullah kan janda-janda tua, untuk melindungi mereka."
Duh! Please, mau tahu siapa yang menjadi wanita madu pertama dalam bahtera rumah tangga Rasulullah?
Sebelumnya, kita semua sepakat kan ya, Khadijah nggak pernah dimadu. Anggapannya, poligami itu terjadi ketika dua istri itu ada dalam satu masa pernikahan yang sama. Setelah Khadijah meninggal, baru Rasulullah menikah lagi, dengan Saudah. Berarti, istri pertama yang dimadu oleh Rasulullah adalah Saudah. Clear sampai sini?
Sekarang, coba baca lagi shirah-nya, siapa yang dinikahi Rasulullah tepat setelah Saudah?
Aisyah.
Apakah Aisyah tua? No. Dia justru istri Rasulullah yang secara usia paling muda dari yang lainnya.
Apakah Aisyah janda? No. Kita semua tahu Aisyah satu-satunya yang berstatus perawan ketika dinikahi Rasulullah.
Jadi, pertama kali Rasulullah melakukan poligami, itu dengan GADIS YANG MASIH BELIA. Baru setelah itu beliau menambah istri-istri lain yang bervariasi umurnya dan... yeah, sisanya janda semua.
Ini berarti, kalau ada perempuan yang berargumen bahwa laki-laki kalau mau mengikuti sunnah Rasulullah dengan totalitas, yaitu menambah istri dengan janda yang lebih tua, justru keliru. Kalau mau 100% mengikuti jejak Nabi, nambah istri dengan GADIS MUDA dulu, baru setelah itu bolehlah kalau mau nambah lagi yang lebih tua dan janda. Hahaha...
Jadi, apakah itu berarti gue setuju dengan poligami?
Wait, masih panjang bahasannya.
Gue tertarik pada status FB seorang ummahat, bahwa poligami itu tidak diawali dengan zina. Gue setuju banget. Artinya, izin poligami dalam syariat tidak serta merta diberikan hanya karena si cowok udah mulai selingkuh, terus daripada zina terus maka akhirnya menikah. Not that simple, you know. Selingkuh dan zina, bukan berarti harus sampai zina besar, sekedar kedip-kedipan mata juga udah zina mata itu. Kalau para lelaki ngotot bahwa poligami ini sunnah, berarti sunnah Nabi jangan dicemari dicemari dengan diawali oleh perbuatan dosa. Sebab pernikahan tidak bisa menghapus dosa zina.
Ada hadits yang berbunyi, "Jika engkau melihat seorang wanita, lalu ia memikat hatimu, maka segeralah datangi istrimu."
Artinya, keterpikatan pada seorang wanita lain bukan menjadi alasan utama untuk poligami, sebab tindakan yang harus dilakukan menurut Rasulullah adalah kembali pada istri (kalau jomblo, disuruhnya puasa). Kalau nggak salah inget, gue juga pernah baca riwayat bahwa ketika Nabi melihat wanita cantik (cmiiw) lewat, beliau langsung masuk ke rumah Zainab, bukannya serta-merta nambah istri hanya karena itu. Mohon dikoreksi kalau riwayat dan pen-"dalil"-annya salah.
Terus kalau istrinya sendiri udah nggak menyenangkan buat suami?
Nah, ini suami juga perlu dipertanyakan. Suami itu imam, yang dengan segala haknya juga bertanggung jawab terhadap kualitas istrinya. Lo kira suami dikasih banyak hak yang terlalu sering dibahas itu (bahwa suami kudu ditaati, dapet warisan lebih banyak, dll) demi menindas istri? Enak aja! Semua modal itu dipake untuk menjadikan si istri insan yang shalihah dunia akhirat, termasuk kualitas fisik-duniawi seorang istri.
Laki sebel karena istrinya tukang ngomel? Seberapa jauh emang suami udah mendidik istrinya untuk menahan lisan? Laki kebelet nikah lagi sama cewek yang lebih bening? Emangnya berapa duit yang udah dikeluarkan suami untuk permak si istri biar sedap dipandang mata?
Buat gue, poligami lebih bisa diterima kalau sudah terlepas dari masalah-masalah sepele semacam itu. Memang sih, tidak ada dalil khusus tentang ini, tapi menurut gue, kalau poligami hanya sebagai "pelarian" dari permasalahan dengan istri pertama, bukannya malah akan menimbulkan masalah baru? Sepandai-pandainya menyimpan istri muda, toh akan tua juga, hehe.... Maksudnya, toh dinamika rumah tangga juga kurang lebih "itu-itu" aja. Mau lari ke mana pun bakal ketemu hal yang sama. Ntar kedua istri sama-sama nyebelin, nambah tiga. Yang ketiga ikut-ikutan bikin bete, nambah empat. Masih mau nambah? Haram, bro!
Lagian, kalau alasannya cantik doang, Nabi aja udah mewanti-wanti sejak pernikahan pertama. Cantik termasuk alasan yang akan bikin rugi kalau menikahi wanita, sejajar dengan alasan nasab dan harta. Bahkan buat jomblo pun udah disarankan, nikahi agamanya kalau nggak mau kecewa. Apalagi buat yang mau nambah! Itu nggak ada kaitannya sama poligami, itu landasan dasar dalam pernikahan, berapapun jumlah istrinya!
Memang, ada kondisi tertentu yang menjadikan poligami menjadi urgent. Misalnya, si suami dinas ke tempat yang jauh tanpa mengajak istri, dan jangka waktunya lama, sehingga dibutuhkan "penjaga" di tempat dinasnya itu. Tapi ini pun juga ada pertimbangannya: kalau masa dinasnya udah selesai, si istri baru mau dikemanain? Ditinggal apa dibawa pulang? Kalau ditinggal, gimana nafkah batinnya ntar? Dicerai? Ih, emang kawin kontrak? Habis manis sepah dilepeh?
Itu sebabnya, gue nggak bisa dengan tegas menyatakan gue setuju atau tidak dengan poligami. Tergantung bagaimana kasusnya. Seberapa butuh dan mampu seseorang beserta keluarganya menjalani kehidupan poligami.
Mampu, itu kata kuncinya. Mampu secara materi (termasuk nafkah batin), mampu bersikap adil secara kasatmata. Hati, memang susah untuk dibagi rata. Bahkan Rasulullah pun cenderung pada Aisyah dibanding yang lain, padahal Aisyah sendiri sering cemburu sama Khadijah yang sudah tiada.
Mampu secara materi, itu minimal. Nambah istri harusnya nambah penghasilan. Nafkahin istri kedua dengan kerja tambahan, bukan dengan mengambil jatah yang semula milik istri pertama. Padahal istri pertama udah dikurangi jatah harinya, masih juga diambil jatah materinya. Dikatakan, antar-istri nggak boleh satu rumah, itu juga berarti bahwa hak rumah beserta isinya untuk istri pertama sama sekali tidak dikurangi akibat tindakan poligami.
Oh iya, satu lagi. Dalam Islam, memang nggak ada aturan istri pertama harus tahu kalau dirinya dimadu, apalagi minta izin. Tapi menurut gue, pemberitahuan termasuk dalam prinsip keadilan. Adil itu berarti tidak menzalimi, sedangkan mengurangi jatah hari dari istri pertama untuk istri kedua tanpa alasan itu termasuk perilaku menzalimi. Sebab hak istri pertama adalah jatah yang penuh untuk dirinya, maka bisa dikatakan "mencuri" kalau tahu-tahu jatah itu dikurangi tanpa sebab. Contoh aja sih.
Selain mampu soal materi, juga mampu dalam mendidik para istri. Seberapa dekat keluarga itu dengan Allah, itu jauh lebih penting. Materi, mungkin bagi sebagian orang terbilang relatif. Dengan satu istri saja, mampukah seorang laki-laki menjadikannya wanita yang didamba surga? Mampukah sang laki-laki meluruskan akhlak istrinya, menjadikannya dapat dikategorikan wanita shalihah? Sehingga ketika datang istri kedua, dia justru turut membawa kedua keluarga suaminya semakin dekat dengan surga. Atau istri pertama yang sudah shalihah ini ikut mendidik sang madu agar sama-sama menjadi bidadari surga. Sehingga kehadiran dua wanita di sisi seorang lelaki justru akan menjaganya dari api neraka, bukannya malah menjadi fitnah dunia yang melemparkannya ke dalam siksa.
The question now is: lo sendiri gimana, Lil? Rela gitu dipoligami?
Hehe....
Gue mau cerita panjang lebar lagi nih.
Sejak memasuki masa baligh, entah kenapa gue lebih milih jika suami gue nggak menduakan gue, tapi men-tiga-kan sekalian. Nambah istri jangan cuma jadi dua, cari gimana caranya biar jumlahnya ganjil: nah, berarti kan bisanya cuma satu atau tiga. Kenapa? Alasan konyolnya sih, biar kalau suami gue lagi dapet jatah di istri kedua, misalnya, gue masih punya temen ngobrol yaitu si istri ketiga. Haha.... Atau, sekalian buat "mempersulit" keadaan, karena nafkahin tiga orang jelas nggak segampang nafkahin dua, jadi kali-kali aja dia ngeper duluan.
Tapi pas gue memasuki usia kepala dua, gue baca tulisan yang mendukung kondisi yang gue syaratkan. Kalau mau poligami, jangan cuma dua istri, sebab perempuan berdua, yang ada justru persaingan. Sekalian tiga atau empat, biar ada lebih banyak "teman sejawat".
Emang nggak cemburu?
Well, kayaknya gue emang tipe pencemburu. Atau iri. Apapun dah, jealous, envious, atau istilah lain bermakna serupa tapi tak sama.
Contoh kasus paling dekat yang pernah dan sering terjadi, betapa gue cemburu kalau ada teman sewajihah yang nggak fokus pada wajihah tersebut, tapi malah fokus pada wajihah lainnya. Lebih-lebih kalau si temen ini punya posisi yang penting di wajihah yang bersama gue itu, terutama pimpinan, tapi meninggalkan pos yang satu ini. Tapi gue pun belum pernah punya masalah kalau kejadiannya, si temen ini multiamanah tanpa mengabaikan kewajibannya terhadap wajihah gue dan dia. Terserah dia mau punya amanah lain, selama amanah yang di sini juga dipenuhi.
Bisakah ini jadi gambaran jawaban atas pertanyaan tadi? FYI, dulu gue selalu mengistilahkan orang yang multiamanah dengan orang yang poligami, baik dia laki-laki maupun perempuan, lalu menilainya dari seberapa adil dia pada semua amanahnya itu.
Kesimpulannya?
Lihat nanti kondisi mas suami deh... seberapa jauh syarat syar'i maupun moralnya terpenuhi.
Yaelah, pada akhirnya balik ke situ juga deh!
Terus kalau istrinya sendiri udah nggak menyenangkan buat suami?
Nah, ini suami juga perlu dipertanyakan. Suami itu imam, yang dengan segala haknya juga bertanggung jawab terhadap kualitas istrinya. Lo kira suami dikasih banyak hak yang terlalu sering dibahas itu (bahwa suami kudu ditaati, dapet warisan lebih banyak, dll) demi menindas istri? Enak aja! Semua modal itu dipake untuk menjadikan si istri insan yang shalihah dunia akhirat, termasuk kualitas fisik-duniawi seorang istri.
Laki sebel karena istrinya tukang ngomel? Seberapa jauh emang suami udah mendidik istrinya untuk menahan lisan? Laki kebelet nikah lagi sama cewek yang lebih bening? Emangnya berapa duit yang udah dikeluarkan suami untuk permak si istri biar sedap dipandang mata?
Buat gue, poligami lebih bisa diterima kalau sudah terlepas dari masalah-masalah sepele semacam itu. Memang sih, tidak ada dalil khusus tentang ini, tapi menurut gue, kalau poligami hanya sebagai "pelarian" dari permasalahan dengan istri pertama, bukannya malah akan menimbulkan masalah baru? Sepandai-pandainya menyimpan istri muda, toh akan tua juga, hehe.... Maksudnya, toh dinamika rumah tangga juga kurang lebih "itu-itu" aja. Mau lari ke mana pun bakal ketemu hal yang sama. Ntar kedua istri sama-sama nyebelin, nambah tiga. Yang ketiga ikut-ikutan bikin bete, nambah empat. Masih mau nambah? Haram, bro!
Lagian, kalau alasannya cantik doang, Nabi aja udah mewanti-wanti sejak pernikahan pertama. Cantik termasuk alasan yang akan bikin rugi kalau menikahi wanita, sejajar dengan alasan nasab dan harta. Bahkan buat jomblo pun udah disarankan, nikahi agamanya kalau nggak mau kecewa. Apalagi buat yang mau nambah! Itu nggak ada kaitannya sama poligami, itu landasan dasar dalam pernikahan, berapapun jumlah istrinya!
Memang, ada kondisi tertentu yang menjadikan poligami menjadi urgent. Misalnya, si suami dinas ke tempat yang jauh tanpa mengajak istri, dan jangka waktunya lama, sehingga dibutuhkan "penjaga" di tempat dinasnya itu. Tapi ini pun juga ada pertimbangannya: kalau masa dinasnya udah selesai, si istri baru mau dikemanain? Ditinggal apa dibawa pulang? Kalau ditinggal, gimana nafkah batinnya ntar? Dicerai? Ih, emang kawin kontrak? Habis manis sepah dilepeh?
Itu sebabnya, gue nggak bisa dengan tegas menyatakan gue setuju atau tidak dengan poligami. Tergantung bagaimana kasusnya. Seberapa butuh dan mampu seseorang beserta keluarganya menjalani kehidupan poligami.
Mampu, itu kata kuncinya. Mampu secara materi (termasuk nafkah batin), mampu bersikap adil secara kasatmata. Hati, memang susah untuk dibagi rata. Bahkan Rasulullah pun cenderung pada Aisyah dibanding yang lain, padahal Aisyah sendiri sering cemburu sama Khadijah yang sudah tiada.
Mampu secara materi, itu minimal. Nambah istri harusnya nambah penghasilan. Nafkahin istri kedua dengan kerja tambahan, bukan dengan mengambil jatah yang semula milik istri pertama. Padahal istri pertama udah dikurangi jatah harinya, masih juga diambil jatah materinya. Dikatakan, antar-istri nggak boleh satu rumah, itu juga berarti bahwa hak rumah beserta isinya untuk istri pertama sama sekali tidak dikurangi akibat tindakan poligami.
Oh iya, satu lagi. Dalam Islam, memang nggak ada aturan istri pertama harus tahu kalau dirinya dimadu, apalagi minta izin. Tapi menurut gue, pemberitahuan termasuk dalam prinsip keadilan. Adil itu berarti tidak menzalimi, sedangkan mengurangi jatah hari dari istri pertama untuk istri kedua tanpa alasan itu termasuk perilaku menzalimi. Sebab hak istri pertama adalah jatah yang penuh untuk dirinya, maka bisa dikatakan "mencuri" kalau tahu-tahu jatah itu dikurangi tanpa sebab. Contoh aja sih.
Selain mampu soal materi, juga mampu dalam mendidik para istri. Seberapa dekat keluarga itu dengan Allah, itu jauh lebih penting. Materi, mungkin bagi sebagian orang terbilang relatif. Dengan satu istri saja, mampukah seorang laki-laki menjadikannya wanita yang didamba surga? Mampukah sang laki-laki meluruskan akhlak istrinya, menjadikannya dapat dikategorikan wanita shalihah? Sehingga ketika datang istri kedua, dia justru turut membawa kedua keluarga suaminya semakin dekat dengan surga. Atau istri pertama yang sudah shalihah ini ikut mendidik sang madu agar sama-sama menjadi bidadari surga. Sehingga kehadiran dua wanita di sisi seorang lelaki justru akan menjaganya dari api neraka, bukannya malah menjadi fitnah dunia yang melemparkannya ke dalam siksa.
* * *
The question now is: lo sendiri gimana, Lil? Rela gitu dipoligami?
Hehe....
Gue mau cerita panjang lebar lagi nih.
Sejak memasuki masa baligh, entah kenapa gue lebih milih jika suami gue nggak menduakan gue, tapi men-tiga-kan sekalian. Nambah istri jangan cuma jadi dua, cari gimana caranya biar jumlahnya ganjil: nah, berarti kan bisanya cuma satu atau tiga. Kenapa? Alasan konyolnya sih, biar kalau suami gue lagi dapet jatah di istri kedua, misalnya, gue masih punya temen ngobrol yaitu si istri ketiga. Haha.... Atau, sekalian buat "mempersulit" keadaan, karena nafkahin tiga orang jelas nggak segampang nafkahin dua, jadi kali-kali aja dia ngeper duluan.
Tapi pas gue memasuki usia kepala dua, gue baca tulisan yang mendukung kondisi yang gue syaratkan. Kalau mau poligami, jangan cuma dua istri, sebab perempuan berdua, yang ada justru persaingan. Sekalian tiga atau empat, biar ada lebih banyak "teman sejawat".
Emang nggak cemburu?
Well, kayaknya gue emang tipe pencemburu. Atau iri. Apapun dah, jealous, envious, atau istilah lain bermakna serupa tapi tak sama.
Contoh kasus paling dekat yang pernah dan sering terjadi, betapa gue cemburu kalau ada teman sewajihah yang nggak fokus pada wajihah tersebut, tapi malah fokus pada wajihah lainnya. Lebih-lebih kalau si temen ini punya posisi yang penting di wajihah yang bersama gue itu, terutama pimpinan, tapi meninggalkan pos yang satu ini. Tapi gue pun belum pernah punya masalah kalau kejadiannya, si temen ini multiamanah tanpa mengabaikan kewajibannya terhadap wajihah gue dan dia. Terserah dia mau punya amanah lain, selama amanah yang di sini juga dipenuhi.
Bisakah ini jadi gambaran jawaban atas pertanyaan tadi? FYI, dulu gue selalu mengistilahkan orang yang multiamanah dengan orang yang poligami, baik dia laki-laki maupun perempuan, lalu menilainya dari seberapa adil dia pada semua amanahnya itu.
Kesimpulannya?
Lihat nanti kondisi mas suami deh... seberapa jauh syarat syar'i maupun moralnya terpenuhi.
Yaelah, pada akhirnya balik ke situ juga deh!
E... tapi... meski masih mempertimbangkan kemungkinan diduakan, ditigakan, atau diempatkan, kayaknya ada satu pertanyaan yang bisa gue jawab dengan tegas: ogah kalau jadi yang kedua, ketiga, apalagi keempat. Tetep, gue harus jadi yang pertama.
Hahaha.... (Ketawa jahat.)
No comments