Keseimbangan dari Dia
Botol yang kami gunakan sebagai bekal i'tikaf Ramadhan tahun ini. Bisa menentukan yang mana milikku dan mana yang miliknya, kan? Captured by her. |
Bukan hal yang mudah mencari teman yang sekaligus bisa diajak ngobrol, diskusi, jalan, dan "saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran". Dan dia adalah satu dari yang sulit dicari itu. Mungkin, dalam hidupku yang baru seperempat abad ini, dia-lah satu-satunya.
Dia bisa mengimbangi karakterku yang aneh, tidak bisa serius walaupun sedang membahas topik berat. Bersama dia, aku bisa saja membicarakan berbagai hal dari yang berat seperti isu Palestina, sampai selorohan tak penting tentang nomor lambung bus Trans Semarang. Rasanya tak perlu terlalu jaim di depan dia.
Tetapi itu tidak berarti hura-hura bersama dia. Tawa itu diimbangi dengan "perbaikan ruhiyah" yang sama banyaknya. Jujur, aku bahkan tak tahu istilah apa yang tepat, sehingga biarkan aku menggunakan istilah itu. Bersama dia, itu berarti juga tidak melupakan Allah. Dia teman jalan yang nyaman, tapi destinasi kami mencakup i'tikaf bersama yang jumlah harinya semakin bertambah tiap tahun. Jalan ke mall pun, tempat yang kami cari haruslah dekat dengan tempat shalat. Malah, dia selalu menyeretku shalat di Masjid Baiturrahman alih-alih menggunakan mushala Citra Land. Bersama dia pula, kami memiliki misi menyambung silaturrahim dengan mengunjungi guru dan sahabat.
Itulah yang belum kudapat dari orang lain. Keseimbangan. Antara dunia dan akhirat. Tentang nasihat yang tak melulu menekan. Tentang teladan yang tak membuatku sungkan. Tentang pengingat yang tak muluk-muluk, tapi merasuk dalam hati.
Ketika dia kuliah di Bogor, aku sering merindukan dia sebagai teman berjuang di Semarang. Sampai-sampai aku mencurahkan kerinduanku dalam sebuah tulisan. Dan Allah justru "mengembalikan" dia padaku, tepat di saat aku sendiri, dalam artian yang nyaris harfiah. Ketika teman-teman di kampus satu per satu mulai mutasi ke luar Semarang, Allah hadirkan kembali dia di Ungaran untuk menemaniku.
Meski hanya bertemu paling sering sekali dalam sebulan, pertemuan dengan dia cukup memuaskan kebutuhanku akan interaksi. Aku yang sudah jarang bertemu dengan orang-orang yang memiliki frekuensi yang sama, merasa lega sekali ketika akhirnya bisa bertukar pikiran dengan dia dalam pertemuan sehari itu. Bersama dia, aku berkelana secara fisik dan pikiran.
* * *
Kau lihat gambar botol di atas itu?
Itu gambar yang dia jepret waktu kami i'tikaf bersama di Ramadhan tahun ini. Botol yang menjadi bekal kami selama menjalani ibadah akhir Ramadhan. Kami biasa i'tikaf bersama dalam beberapa Ramadhan terakhir ini.
Potret botol itu... mungkin cukup menggambarkan, bagaimana perbandingan aku dan dia. Seorang yang tampak besar namun ketika digencet akan mudah bengkok, dengan seorang yang tampak kecil namun berbahan kuat.
* * *
Sejujurnya bukan ini yang ingin kutuliskan. Tapi walaupun sudah membuat beberapa draft, perbendaharaan kataku tidak lengkap untuk bisa mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran. Kalau masih menulis dengan kertas dan pena, mungkin seperti seorang yang ingin menulis pada kekasihnya: tulis beberapa kata, lalu kertas itu diremas dan dilempar ke sudut ruangan.
Aku pernah berjanji akan menuliskan tentang dia ketika dia menikah. Meski aku bahkan lupa, judul apa yang ingin kusematkan. Kalau tidak salah, ada kata "jomblo"-nya? Entahlah. Yang jelas, mungkin kabar pernikahan dia terasa mendadak, sehingga laju aliran rasa itu pun menabraknya.
Mungkin, kutuliskan saja nanti saat dia menjadi ibu. Atau ketika aku sendiri yang menikah. Atau dibuat menjadi seperti time capsule yang dipendam dan dibuka sepuluh tahun mendatang. Atau tak perlulah menunggu momen-momen tertentu untuk mengucapkan semua ini, kapan pun bisa, seperti kehadiran dia yang tak perlu menunggu saat-saat khusus.
* * *
Esok, dia akan menikah. Insyaallah. Masihkah perjalanan kami sama seperti dulu, ketika kami sama-sama belum terikat oleh perjanjian yang teguh? Masih bisakah kami i'tikaf bersama di Ramadhan tahun depan? Masih bisakah kami menunaikan rencana silaturrahim yang belum sempat terlaksana?
Entahlah. Hanya Allah yang menakdirkan. Tetapi, Ya Allah, izinkan itu untuk kami. Izinkan kami tetap bersama-sama mendekatkan diri pada-Mu.
* * *
Orang-orang yang lebih dewasa dari kami memanggilnya Hanif. Teman-teman memanggilnya Iip. Sebagian menjulukinya Eyang. Ada pula yang memanggilnya Iipo, Iop, dan variasi lainnya.
Tapi aku memanggilnya Nenek. Entah kenapa. Mungkin karena dia pernah memulai memanggilku nenek, atau aku yang mulai memanggilnya begitu?
Yang jelas, Nenek... ukhibbuki fillah...
No comments