Darah Sang Aktivis
Hari: h. Bulan: b. Tahun: t.
Pukul: 07.30
Tempat: Selasar Dosenat
"Demo lagi?"
"Bukan demo. Aksi."
Atlas menggelengkan kepala. "Mau TA nggak?"
"Nggak perlu."
"Nggak akan diabsen satu-satu kali, Zi."
"Sekali lagi kamu membujukku TA, awas saja!" ancamku sambil mengaitkan risleting jaket. "Dan jangan berani-berani tanda tangan di kolom namaku."
Aku berbalik sambil berucap salam, yang dijawabnya dengan bonus putaran mata.
Sampai semester 6 begini, dia seolah belum mengenalku. Bahwa aku punya prinsip, no TA, semendesak apapun urusanku. Kalau kalian belum tahu, TA merupakan singkatan titip absen, hal yang lumrah di kalangan mahasiswa. Lembar presensi yang beredar sendiri, seringnya dosen percaya saja walau kadang jumlah tanda tangan bisa dua kali lipat kepala yang hadir dalam kelas. Hanya satu-dua dosen yang mengecek ulang kehadiran, yang kemudian menjatuhkan sanksi tegas pada kedua pihak pelaku TA itu.
Beberapa kali, kawan-kawan menawarkan TA padaku, dan sesekali malah tanpa izinku. Sebanyak itu pula kubilang jangan. Bagaimana mungkin aku, aktivis mahasiswa, menyerukan penolakan pada korupsi, ternyata tidak jujur dalam memenuhi syarat ikut ujian berupa kehadiran kuliah? Di mana harga diriku sebagai, saat ini, ketua komisariat salah satu organisasi mahasisawa ekstrakampus, kalau aku justru memulai kecurangan itu dari diriku sendiri? Kabura maqtan, itu ancaman Allah bagi pelaku ketidaksinkronan ucapan dan perbuatan.
Lagipula, sistem kampus mengizinkan kami bolos sampai 4 kali untuk tiap mata kuliah. Jika ditotal, kesempatannya jadi sebulan. Apa masih kurang kelonggaran itu? Aku pun tahu diri, menggunakan kesempatan itu hanya ketika benar-benar membutuhkannya. Dan sejauh ini, semuanya kugunakan untuk ikut aksi.
* * *
Hari: h+0. Bulan: b+0. Tahun: t+0.
Pukul: 11.30
Tempat: Halaman Kantor Gubernur
"T'rima kasih... t'rima kasih... t'rima kasih, Pak Polisi..."
Lagu khas perpisahan itu masih bergaung, sembari kami para peserta aksi mendudukkan diri di bawah pohon. Aksi baru saja selesai, kami sudah bersalaman dengan para polisi dan petugas lain yang menjaga dan menemui kami, dan sekarang sedang bersiap evaluasi.
Aksi yang cukup seru. Bosan dengan aksi yang biasanya adem-ayem, Mas Eza berinisiatif agar aksi kali ini sedikit heboh. Diwarnai sedikit dorong-dorongan dengan polisi, termasuk para polwan. Sedikit, karena paling cuma beberapa menit. Juga sekadar menarik minat media, dengan isu seseksi kenaikan harga BBM.
Di depan, Mas Eza sang korlap sedang mengecek jumlah massanya. "Zi, pasukanmu lengkap?" dia berpaling.
"Masih lengkap, Mas," seruku.
Ketua komisariat sebelah melaporkan, dua kadernya tak kembali.
"Siapa?"
"Gun dan Adnan."
Beberapa orang tertawa.
"Mereka lagi beli minum tuh," celetuk salah seorang yang tertawa itu. "Tuh," tambahnya sambil menunjuk arah jam 10, dari mana kedua bocah yang dicari tergopoh-gopoh membawa beberapa dus air mineral. Keduanya disambut tepukan seluruh massa.
"Dikira masih diculik," seru Putri.
Memang, tadi sempat ada beberapa peserta yang ditangkap dan dipinggirkan oleh polisi. Polisi sempat mengancam, mereka takkan dibebaskan sebelum kami berhenti melawan, padahal kami meningkatkan perlawanan demi membebaskan kawan kami. Sampai kami melanjutkan ke bagian teatrikal pun, para tawanan menontonnya dari jauh, dijaga ketat oleh polisi. Padahal, tiga dari yang diamankan itu anak semester 2.
Harusnya aku yang mereka amankan. Aku, yang ada di baris terdepan ketika dorong-dorongan dengan border polisi terjadi. Aku, yang isi orasinya pedas, dengan menyertakan beberapa kutukan pada pemerintah. Aku, yang ketika kami tak diizinkan masuk, berseru-seru sinis pada para penjaga, menyindir pejabat yang tak berani menemui. Aku, yang lebih tepat dijuluki provokator daripada maba-maba itu.
"Oke, terima kasih atas kehadiran kawan-kawan hari ini," Mas Eza menutup evaluasi. "Kita masih akan kawal kebijakan ini, sampai semua kebijakan berpihak pada rakyat. Pun masih akan banyak aksi-aksi lainnya, kalau melihat kebijakan pemerintah yang makin hari makin bencong begini. Siapkan fisik kalian... siapa tahu kalian berminat dorong-dorongan lagi."
Semua tertawa.
Di depan, Mas Eza sang korlap sedang mengecek jumlah massanya. "Zi, pasukanmu lengkap?" dia berpaling.
"Masih lengkap, Mas," seruku.
Ketua komisariat sebelah melaporkan, dua kadernya tak kembali.
"Siapa?"
"Gun dan Adnan."
Beberapa orang tertawa.
"Mereka lagi beli minum tuh," celetuk salah seorang yang tertawa itu. "Tuh," tambahnya sambil menunjuk arah jam 10, dari mana kedua bocah yang dicari tergopoh-gopoh membawa beberapa dus air mineral. Keduanya disambut tepukan seluruh massa.
"Dikira masih diculik," seru Putri.
Memang, tadi sempat ada beberapa peserta yang ditangkap dan dipinggirkan oleh polisi. Polisi sempat mengancam, mereka takkan dibebaskan sebelum kami berhenti melawan, padahal kami meningkatkan perlawanan demi membebaskan kawan kami. Sampai kami melanjutkan ke bagian teatrikal pun, para tawanan menontonnya dari jauh, dijaga ketat oleh polisi. Padahal, tiga dari yang diamankan itu anak semester 2.
Harusnya aku yang mereka amankan. Aku, yang ada di baris terdepan ketika dorong-dorongan dengan border polisi terjadi. Aku, yang isi orasinya pedas, dengan menyertakan beberapa kutukan pada pemerintah. Aku, yang ketika kami tak diizinkan masuk, berseru-seru sinis pada para penjaga, menyindir pejabat yang tak berani menemui. Aku, yang lebih tepat dijuluki provokator daripada maba-maba itu.
"Oke, terima kasih atas kehadiran kawan-kawan hari ini," Mas Eza menutup evaluasi. "Kita masih akan kawal kebijakan ini, sampai semua kebijakan berpihak pada rakyat. Pun masih akan banyak aksi-aksi lainnya, kalau melihat kebijakan pemerintah yang makin hari makin bencong begini. Siapkan fisik kalian... siapa tahu kalian berminat dorong-dorongan lagi."
Semua tertawa.
* * *
"Zi, ini kamu?" tanteku berhenti menyuapkan nasi ke putranya yang masih balita, demi melihat berita malam ini.
"Iya, kali," jawabku acuh. Masih asyik menyendokkan nasi banyak-banyak ke piringku. Tapi lirikan sekilas ke televisi memberitahukan penampilanku waktu orasi kemarin.
"Zi!" kali ini nadanya menegur. Tak memedulikan rengekan putranya yang mulutnya sudah kosong. "Hati-hatilah kamu ini. Kalau keseringan ikutan demo rusuh begitu, bisa bahaya kamu."
"Aksi, Tante, bukan demo," sahutku kalem.
"Sama aja, lah!"
"Beda, dong. Aksi rodanya empat, demo rodanya tiga."
"Yee, itu sih taksi sama bemo," sungut si tante.
Ayah dan ibuku meledak tertawa. Aku ikutan nyengir. Tebak-tebakan lawas itu memang pertama kali kudengar dari Ayah.
Aku memang seringkali otomatis mengoreksi mereka yang menyebut aktivitasku demo, bukannya aksi. Bagi orang lain mungkin sama saja, tapi reaksi otakku berbeda ketika mendengar kedua istilah itu. Aku memilih sebutan "aksi" untuk kegiatanku menyuarakan aspirasi di jalanan. Kata "aksi" masih luas, bisa aksi unjuk rasa, aksi teatrikal, aksi long march, bahkan aksi mogok makan; karenanya masih membuka persepsi kesantunan menyampaikan pendapat. Sedangkan demo, mungkin karena pengaruh media, lebih sering dikonotasikan dengan kericuhan. Coba perhatikan, kalau ada penyampaian pendapat secara damai, bagaimana berita memberitakan: aksi damai atau demo damai?
Tanteku nampak tak terpengaruh dengan candaan barusan. Sikapnya tetap serius. "Nggak usah lah ikut-ikutan yang kayak gitu. Belajar aja yang rajin, lulus cepet. Ngapain sih kamu mau-mau aja terlibat demo yang rusuh itu?"
Celetukan spontan dalam hati: gimana, orasiku keren nggak, Tante? Lagian, yang barusan Tante lihat di TV belum ada apa-apanya. Dorong-dorongannnya doang yang di-shoot, pas damainya enggak.
Mataku menangkap tatapan Ibu. Ah, ibu yang satu ini emang keren. Di saat para orang tua lain bersikap seperti Tante, sehingga tak jarang kawan-kawanku menutup mukanya dengan slayer biar tidak ketahuan keluarga kalau ikut aksi, ibuku sendiri mendukung penuh keikutsertaanku dalam organisasi mahasiswa dan segala aktivitasnya, termasuk aksi. Ibuku juga sama gerahnya denganku terhadap suasana negeri yang kacau balau begini. Meski berstatus PNS, Ibu tak segan-segan mengkritik kebijakan pemerintah lewat akun-akun media sosialnya, yang menurutnya, satu-satunya lahan yang bisa dia manfaatkan. Karenanya Ibu tak pernah melarangku memperjuangkan kepentingan rakyat; hanya berpesan agar aktivitasku tak mengganggu kuliah, dan tetap menjaga diri.
Tapi sepertinya Tante tak membutuhkan jawabanku. Sambil menyuapkan sesendok nasi lagi ke putranya, beliau mengulang pesannya, "Hati-hatilah kamu ini."
* * *
Rupiah anjok. Harga bahan pokok melambung. PHK di mana-mana. Koruptor ditahan dalam penjara bintang lima. Musuh-musuh pemerintah dihancurkan satu-satu. Dalam kondisi begini, tuntutan terbesar bukan pada pemerintah, tapi justru mahasiswa supaya berunjuk rasa dengan target menurunkan Presiden.
Jujur saja, aku sedikit dilema. Secara pribadi, aku hanya merasa... tanggung. Masa jabatan Presiden hanya setahun lagi, kurang efektif kalau mau menurunkan Presiden sekarang, toh sebentar lagi juga ganti. Aku tahu, pengurus pusat dari organisasi yang sama seperti yang dua tahun lalu aku mengetuai komisariatnya, berpikiran hampir sama denganku. Tetapi betul, situasi ini memang menggerahkan, dan tekanan masyarakat yang begitu besar akhirnya membuat Pusat menyeru pengurus-pengurus di daerah menggelar aksi.
Pengurus inti organisasi daerah mendesakku mengadakan konsolidasi secepatnya. Nampak sekali mereka frustasi dengan keengganan kepala bidang kebijakan publik mereka bergerak.
Oh iya, aku lupa memberi tahu. Dulu aku di memang komisariat, tapi sekarang sudah "naik level" ke daerah. Masih organisasi ekstra mahasiswa yang sama, walaupun untuk level daerah, hampir separo pengurusnya sudah bergelar sarjana (aku sendiri pekan depan dijadwalkan sidang skripsi). Dan saat ini, akulah yang menjadi sasaran frustasi para pengurusnya.
Semuanya berusaha mengomporiku supaya bersemangat seperti dulu. Pasti aneh bagi mereka, aku yang biasanya paling semangat ikut aksi, di situasi seperti ini justru paling malas berpartisipasi. Aku, yang sejak bergabung di tingkat komisariat rajin berangkat aksi, walau cuma sendiri dari komisariat... aku, yang semasa jadi ketua komisariat aktif meneror pengurus daerah dengan pertanyaan kapan aksi lagi... aku, yang pada awal kepengurusan pernah berseloroh, "Kapan nih mau dudukin istana?"
Tapi kalau sekarang aksi hanya karena ocehan miring yang mencari mahasiswa, tidakkah itu alasan yang sedikit kurang berdasar?
"Tentu saja berdasar, kan itu artinya kita sedang diminta masyarakat menyampaikan aspirasi mereka," ujar Lihar,
"Kenapa nggak mereka yang menyampaikan aspirasi sendiri, coba?" aku mencoba menyanggah. "Apalagi mereka yang terkena dampak langsung: mereka yang di-PHK, mereka yang nggak bisa beli beras, mereka yang..."
"Dan kamu diam saja melihat mereka begitu?" tuntut Lihar lagi.
"Ya nggak juga, tapi untuk menurunkan presiden..."
"Kita nggak diminta menurunkan presiden," koreksi Achada, sang ketua daerah.
Aku melongo. "Bukankah..."
"Di medsos memang banyak yang pengin gitu, tapi instruksi dari pusat, kita hanya aksi biasa, tuntutannya lebih ke perbaikan."
"Masa?" Aku membaca ulang edaran berisi instruksi pusat. Memang, tidak ada kata-kata terkait penurunan presiden.
"Menurut pusat, berkenaan dengan penurunan presiden masih akan ditinjau lagi, melihat situasi dulu," jelas Achada.
Aku diam.
"Baik, karena rencana aksi dua hari lagi, besok segera adakan konsol dengan komisariat, Zi," perintah Achada.
Aku masih diam. Masih mencoba meluruskan niat.
* * *
Aku berteriak sampai serak. Meski terbantu pengeras suara, sepertinya hanya beberapa yang mendengarku. Situasi di hadapanku terlalu kacau untuk bisa menangkap instruksi.
Aksi berjalan rusuh. Betul-betul di luar rencana. Aku tahu ada provokator berhasil masuk ke barisan aksi, juga sudah kucurigai orang-orangnya, tapi belum pasti. Tadi, saat aku orasi, ada yang berteriak menyambut, "Presiden turun!" diikuti pekik yang sama dari massa. Suara itu dari belakang, aku sempat menoleh ke arah sumber suara, tapi di antara kepalan tangan yang mengacung, aku tak menemukan orang yang berteriak itu. Sekilas tak ada yang mencurigakan, di area itu semuanya pakai jaket khas organisasi. Waktu konsol kemarin, Achada juga sudah menekankan masalah tidak menurunkan presiden itu, dan seluruh komisariat sudah paham. Sekarang ada yang berteriak begitu?
Lalu, entah dari mana, lebih banyak massa berdatangan, berteriak-teriak menyerukan presiden turun, dan mulai membuat kerusuhan. Mulai dorong-dorongan dengan polisi, bahkan ada yang memukul polisi. Situasi kacau balau. Gas air mata disemprotkan. Kudengar beberapa peserta aksi yang masih semester awal berteriak panik, menyerukan mundur.
Aku berbalik, mencoba memutar mencari posisi yang lebih strategis untuk memberi instruksi. Di hadapanku sudah berdiri Achada, pelipisnya berdarah.
"Kita ditunggangi," dia berkata. "Tarik massa kita."
"Mundur!" perintahku pada massa dari organisasiku, sambil menarik orang-orang dalam jangkauan.
Perintah itu digemakan massa terdekatku, tapi di sisi seberang pekikan lain malah berbunyi, "Maju terus! Serang!"
"Mundur, semua!" seruku. "Ini instruksi korlap!"
Percuma. Kalimat terakhirku ditenggelamkan seruan dari seberang itu. Dari belakangku malah muncul sepasukan massa lain, menuju barisan yang masih rusuh itu. Aku ngeri, mereka ternyata membawa senjata tajam!
"Acha...!" jeritanku terputus. Achada tersungkur terhantam massa yang baru datang itu, dan sedang berusaha bangkit.
"Tetap usahakan tarik," serunya.
Aku kembali mencoba menerobos kerumunan, menarik siapa saja orang-orangku yang masih bisa dicapai, memaksa mereka mundur. Tak sengaja sebuah makian terlontar pelan dari bibirku, mengutuk orang-orang yang menunggangi aksi yang direncanakan damai ini.
Mendadak, sebilah pisau menyabet lengan kananku. Entah disengaja atau tidak.
Keraguan yang sejak kemarin menguasaiku, kini muncul kembali. Seandainya mereka mendengarku...
Tidak, bisik sudut lain pikiranku. Semua sudah sepakat. Kau sendiri juga menyepakati.
Tapi tidak sepenuh hati. Hanya menuruti keinginan mereka.
Ini perjuangan!
Tidak dengan cara begini. Keraguanku terbukti.
Pemerintahmu sudah begitu zhalim pada rakyat. Ingat kata Lihar, kau mau diam saja?
Aku sudah salah niat?
Luruskan lagi saja. Ini menentang kezhaliman. Ingat saja semua yang sudah pemerintahmu lakukan. Bahkan sebagai seorang muslim, ingat saja, diskriminasi apa yang sudah mereka lakukan untuk membungkammu.
Ingatanku melayang pada aturan-aturan yang membatasi gerak umat Islam. Isi khutbah Jum'at harus dilaporkan, kalau terindikasi menyinggung pemerintah, besoknya sang khatib ditangkap. Mentoring Agama Islam sudah dilarang langsung oleh pemerintah. Beberapa masjid dibakar, pelakunya selalu bebas. Jilbab dilarang di institusi pemerintah. Mengaji tidak....
"AAAAGGRRRHHH!!!"
Pikiranku terputus oleh peluru yang menyerempet bahu kiri. Aku kembali menyadari situasi, dan di sana... seorang polisi ambruk, pistolnya diambil salah satu penunggang itu. Peluru dari pistol itu yang tadi mengenaiku, sedikit meleset karena Lihar menarikku. Tapi tak ayal, bahuku berdarah juga.
"Menyingkir, Zi," teriaknya. "Sebagian besar orang kita sudah berhasil keluar. Tinggal beberapa di sekitar sini."
Lihar memanduku, tampaknya mencoba mengambil alih komando melihat kondisiku. Dengan tangan kanan menahan kucuran darah di bahu kiri, dan tangan kiri menutup luka sabetan di lengan kanan, aku berlari mengikutinya. Sisa pasukanku turut serta.
"Semua aman, Har?" tanyaku.
"Yeah," jawabnya. "Achada juga luka, tapi begitu memastikan tinggal sedikit orang masih di sini, dia bilang aku harus membantumu keluar."
"Jadi di sini tinggal penumpang gelap itu?" aku memastikan.
"Selain kita."
Melihat massaku beberapa puluh meter di sana, aku mempercepat lari. Terlambat menyadari, dari arah jam dua, ada yang sedang berputar dengan mengacungkan pentungan karet. Pentungan itu menghantam mukaku keras.
Masih sempat kudengar jeritan, "ZI!!!" dari sekelilingku. Masih sempat kudengar bisikan, "Luruskan niatmu!" dari sudut kepalaku.
Lalu aku tak ingat apa-apa.
* * *
Hari: h+1. Bulan: b. Tahun: t.
Pukul: 18.30
Tempat: Ruang Keluarga"Zi, ini kamu?" tanteku berhenti menyuapkan nasi ke putranya yang masih balita, demi melihat berita malam ini.
"Iya, kali," jawabku acuh. Masih asyik menyendokkan nasi banyak-banyak ke piringku. Tapi lirikan sekilas ke televisi memberitahukan penampilanku waktu orasi kemarin.
"Zi!" kali ini nadanya menegur. Tak memedulikan rengekan putranya yang mulutnya sudah kosong. "Hati-hatilah kamu ini. Kalau keseringan ikutan demo rusuh begitu, bisa bahaya kamu."
"Aksi, Tante, bukan demo," sahutku kalem.
"Sama aja, lah!"
"Beda, dong. Aksi rodanya empat, demo rodanya tiga."
"Yee, itu sih taksi sama bemo," sungut si tante.
Ayah dan ibuku meledak tertawa. Aku ikutan nyengir. Tebak-tebakan lawas itu memang pertama kali kudengar dari Ayah.
Aku memang seringkali otomatis mengoreksi mereka yang menyebut aktivitasku demo, bukannya aksi. Bagi orang lain mungkin sama saja, tapi reaksi otakku berbeda ketika mendengar kedua istilah itu. Aku memilih sebutan "aksi" untuk kegiatanku menyuarakan aspirasi di jalanan. Kata "aksi" masih luas, bisa aksi unjuk rasa, aksi teatrikal, aksi long march, bahkan aksi mogok makan; karenanya masih membuka persepsi kesantunan menyampaikan pendapat. Sedangkan demo, mungkin karena pengaruh media, lebih sering dikonotasikan dengan kericuhan. Coba perhatikan, kalau ada penyampaian pendapat secara damai, bagaimana berita memberitakan: aksi damai atau demo damai?
Tanteku nampak tak terpengaruh dengan candaan barusan. Sikapnya tetap serius. "Nggak usah lah ikut-ikutan yang kayak gitu. Belajar aja yang rajin, lulus cepet. Ngapain sih kamu mau-mau aja terlibat demo yang rusuh itu?"
Celetukan spontan dalam hati: gimana, orasiku keren nggak, Tante? Lagian, yang barusan Tante lihat di TV belum ada apa-apanya. Dorong-dorongannnya doang yang di-shoot, pas damainya enggak.
Mataku menangkap tatapan Ibu. Ah, ibu yang satu ini emang keren. Di saat para orang tua lain bersikap seperti Tante, sehingga tak jarang kawan-kawanku menutup mukanya dengan slayer biar tidak ketahuan keluarga kalau ikut aksi, ibuku sendiri mendukung penuh keikutsertaanku dalam organisasi mahasiswa dan segala aktivitasnya, termasuk aksi. Ibuku juga sama gerahnya denganku terhadap suasana negeri yang kacau balau begini. Meski berstatus PNS, Ibu tak segan-segan mengkritik kebijakan pemerintah lewat akun-akun media sosialnya, yang menurutnya, satu-satunya lahan yang bisa dia manfaatkan. Karenanya Ibu tak pernah melarangku memperjuangkan kepentingan rakyat; hanya berpesan agar aktivitasku tak mengganggu kuliah, dan tetap menjaga diri.
Tapi sepertinya Tante tak membutuhkan jawabanku. Sambil menyuapkan sesendok nasi lagi ke putranya, beliau mengulang pesannya, "Hati-hatilah kamu ini."
* * *
Hari: h-18. Bulan: b+4. Tahun: t+2.
Pukul: 18.30
Tempat: Sekretariat DaerahJujur saja, aku sedikit dilema. Secara pribadi, aku hanya merasa... tanggung. Masa jabatan Presiden hanya setahun lagi, kurang efektif kalau mau menurunkan Presiden sekarang, toh sebentar lagi juga ganti. Aku tahu, pengurus pusat dari organisasi yang sama seperti yang dua tahun lalu aku mengetuai komisariatnya, berpikiran hampir sama denganku. Tetapi betul, situasi ini memang menggerahkan, dan tekanan masyarakat yang begitu besar akhirnya membuat Pusat menyeru pengurus-pengurus di daerah menggelar aksi.
Pengurus inti organisasi daerah mendesakku mengadakan konsolidasi secepatnya. Nampak sekali mereka frustasi dengan keengganan kepala bidang kebijakan publik mereka bergerak.
Oh iya, aku lupa memberi tahu. Dulu aku di memang komisariat, tapi sekarang sudah "naik level" ke daerah. Masih organisasi ekstra mahasiswa yang sama, walaupun untuk level daerah, hampir separo pengurusnya sudah bergelar sarjana (aku sendiri pekan depan dijadwalkan sidang skripsi). Dan saat ini, akulah yang menjadi sasaran frustasi para pengurusnya.
Semuanya berusaha mengomporiku supaya bersemangat seperti dulu. Pasti aneh bagi mereka, aku yang biasanya paling semangat ikut aksi, di situasi seperti ini justru paling malas berpartisipasi. Aku, yang sejak bergabung di tingkat komisariat rajin berangkat aksi, walau cuma sendiri dari komisariat... aku, yang semasa jadi ketua komisariat aktif meneror pengurus daerah dengan pertanyaan kapan aksi lagi... aku, yang pada awal kepengurusan pernah berseloroh, "Kapan nih mau dudukin istana?"
Tapi kalau sekarang aksi hanya karena ocehan miring yang mencari mahasiswa, tidakkah itu alasan yang sedikit kurang berdasar?
"Tentu saja berdasar, kan itu artinya kita sedang diminta masyarakat menyampaikan aspirasi mereka," ujar Lihar,
"Kenapa nggak mereka yang menyampaikan aspirasi sendiri, coba?" aku mencoba menyanggah. "Apalagi mereka yang terkena dampak langsung: mereka yang di-PHK, mereka yang nggak bisa beli beras, mereka yang..."
"Dan kamu diam saja melihat mereka begitu?" tuntut Lihar lagi.
"Ya nggak juga, tapi untuk menurunkan presiden..."
"Kita nggak diminta menurunkan presiden," koreksi Achada, sang ketua daerah.
Aku melongo. "Bukankah..."
"Di medsos memang banyak yang pengin gitu, tapi instruksi dari pusat, kita hanya aksi biasa, tuntutannya lebih ke perbaikan."
"Masa?" Aku membaca ulang edaran berisi instruksi pusat. Memang, tidak ada kata-kata terkait penurunan presiden.
"Menurut pusat, berkenaan dengan penurunan presiden masih akan ditinjau lagi, melihat situasi dulu," jelas Achada.
Aku diam.
"Baik, karena rencana aksi dua hari lagi, besok segera adakan konsol dengan komisariat, Zi," perintah Achada.
Aku masih diam. Masih mencoba meluruskan niat.
* * *
Hari: h-16. Bulan: b+4. Tahun: t+2.
Pukul: 11.30
Tempat: Halaman Gedung DPRDAku berteriak sampai serak. Meski terbantu pengeras suara, sepertinya hanya beberapa yang mendengarku. Situasi di hadapanku terlalu kacau untuk bisa menangkap instruksi.
Aksi berjalan rusuh. Betul-betul di luar rencana. Aku tahu ada provokator berhasil masuk ke barisan aksi, juga sudah kucurigai orang-orangnya, tapi belum pasti. Tadi, saat aku orasi, ada yang berteriak menyambut, "Presiden turun!" diikuti pekik yang sama dari massa. Suara itu dari belakang, aku sempat menoleh ke arah sumber suara, tapi di antara kepalan tangan yang mengacung, aku tak menemukan orang yang berteriak itu. Sekilas tak ada yang mencurigakan, di area itu semuanya pakai jaket khas organisasi. Waktu konsol kemarin, Achada juga sudah menekankan masalah tidak menurunkan presiden itu, dan seluruh komisariat sudah paham. Sekarang ada yang berteriak begitu?
Lalu, entah dari mana, lebih banyak massa berdatangan, berteriak-teriak menyerukan presiden turun, dan mulai membuat kerusuhan. Mulai dorong-dorongan dengan polisi, bahkan ada yang memukul polisi. Situasi kacau balau. Gas air mata disemprotkan. Kudengar beberapa peserta aksi yang masih semester awal berteriak panik, menyerukan mundur.
Aku berbalik, mencoba memutar mencari posisi yang lebih strategis untuk memberi instruksi. Di hadapanku sudah berdiri Achada, pelipisnya berdarah.
"Kita ditunggangi," dia berkata. "Tarik massa kita."
"Mundur!" perintahku pada massa dari organisasiku, sambil menarik orang-orang dalam jangkauan.
Perintah itu digemakan massa terdekatku, tapi di sisi seberang pekikan lain malah berbunyi, "Maju terus! Serang!"
"Mundur, semua!" seruku. "Ini instruksi korlap!"
Percuma. Kalimat terakhirku ditenggelamkan seruan dari seberang itu. Dari belakangku malah muncul sepasukan massa lain, menuju barisan yang masih rusuh itu. Aku ngeri, mereka ternyata membawa senjata tajam!
"Acha...!" jeritanku terputus. Achada tersungkur terhantam massa yang baru datang itu, dan sedang berusaha bangkit.
"Tetap usahakan tarik," serunya.
Aku kembali mencoba menerobos kerumunan, menarik siapa saja orang-orangku yang masih bisa dicapai, memaksa mereka mundur. Tak sengaja sebuah makian terlontar pelan dari bibirku, mengutuk orang-orang yang menunggangi aksi yang direncanakan damai ini.
Mendadak, sebilah pisau menyabet lengan kananku. Entah disengaja atau tidak.
Keraguan yang sejak kemarin menguasaiku, kini muncul kembali. Seandainya mereka mendengarku...
Tidak, bisik sudut lain pikiranku. Semua sudah sepakat. Kau sendiri juga menyepakati.
Tapi tidak sepenuh hati. Hanya menuruti keinginan mereka.
Ini perjuangan!
Tidak dengan cara begini. Keraguanku terbukti.
Pemerintahmu sudah begitu zhalim pada rakyat. Ingat kata Lihar, kau mau diam saja?
Aku sudah salah niat?
Luruskan lagi saja. Ini menentang kezhaliman. Ingat saja semua yang sudah pemerintahmu lakukan. Bahkan sebagai seorang muslim, ingat saja, diskriminasi apa yang sudah mereka lakukan untuk membungkammu.
Ingatanku melayang pada aturan-aturan yang membatasi gerak umat Islam. Isi khutbah Jum'at harus dilaporkan, kalau terindikasi menyinggung pemerintah, besoknya sang khatib ditangkap. Mentoring Agama Islam sudah dilarang langsung oleh pemerintah. Beberapa masjid dibakar, pelakunya selalu bebas. Jilbab dilarang di institusi pemerintah. Mengaji tidak....
"AAAAGGRRRHHH!!!"
Pikiranku terputus oleh peluru yang menyerempet bahu kiri. Aku kembali menyadari situasi, dan di sana... seorang polisi ambruk, pistolnya diambil salah satu penunggang itu. Peluru dari pistol itu yang tadi mengenaiku, sedikit meleset karena Lihar menarikku. Tapi tak ayal, bahuku berdarah juga.
"Menyingkir, Zi," teriaknya. "Sebagian besar orang kita sudah berhasil keluar. Tinggal beberapa di sekitar sini."
Lihar memanduku, tampaknya mencoba mengambil alih komando melihat kondisiku. Dengan tangan kanan menahan kucuran darah di bahu kiri, dan tangan kiri menutup luka sabetan di lengan kanan, aku berlari mengikutinya. Sisa pasukanku turut serta.
"Semua aman, Har?" tanyaku.
"Yeah," jawabnya. "Achada juga luka, tapi begitu memastikan tinggal sedikit orang masih di sini, dia bilang aku harus membantumu keluar."
"Jadi di sini tinggal penumpang gelap itu?" aku memastikan.
"Selain kita."
Melihat massaku beberapa puluh meter di sana, aku mempercepat lari. Terlambat menyadari, dari arah jam dua, ada yang sedang berputar dengan mengacungkan pentungan karet. Pentungan itu menghantam mukaku keras.
Masih sempat kudengar jeritan, "ZI!!!" dari sekelilingku. Masih sempat kudengar bisikan, "Luruskan niatmu!" dari sudut kepalaku.
Lalu aku tak ingat apa-apa.
* * *
Dedicated to the troop I belong to:
Let's keep our motive (niyyah)
"So stand you firm and straight as you are commanded..."
aaa merinding bacanya mbak lil.
ReplyDeleteIr, menurutmu, si tokoh "Zi" ini laki apa perempuan? hehe
ReplyDelete