Emak-Emak Menghafal
Bermula dari belum pulangnya ibu gue dari peradaban (baca: pekerjaan), gue diminta guru TPQ belakang rumah buat gantiin ibu gue jadi juri lomba tahfizh. Bukan pertama kalinya juga sih gue bantuin jadi juri lomba menghafal Qur'an buat anak-anak dalam rangka pitulasan, jadi keberatan awal gue cuma gara-gara males. Selanjutnya gue menemukan alasan lain untuk keberatan ketika tahu bahwa ternyata pesertanya bukan anak-anak, tapi ibu-ibu!
Oke, gue emang gak apdet sama perkembangan kampung sendiri, sampai-sampai gak tahu kalau sekarang TPQ udah buka "program" ngaji buat ibu-ibu. Sejak gue kecil, TPQ diperuntukkan buat anak-anak, bahkan usia SMP aja udah pada "males" ngaji (termasuk gue, soalnya waktu SMP gue udah baru pulang sekolah jam 4, tapi gue termasuk santri yang bertahan sampai khatam Qur'an, walaupun mirisnya udah start baca Qur'an sejak 4 tahun, baru khatam kelas 4 SD, haha). Buat ibu-ibu, setahu gue paling cuma kelompok yasinan atau arpalah tiap jangka waktu tertentu. Jadi, lomba yang pada awalnya gue duga serangkaian sama lomba-lomba tujuh belasan lain yang diadakan sama karang taruna, ternyata murni diselenggarakan sama TPQ buat ibu-ibu "santri" yang udah ada anggota tetapnya.
Keberatan gue bukan karena gak mau bantu, tapi gak enak sama ibu-ibu. Kesannya keminter gak sih, bisa nilai hafalannya orang tua? Secara konsep gak ada pengaruhnya lah, apalagi (bukannya bermaksud sombong) hafalan gue sedikit lebih banyak daripada beliau-beliau ini, dan belajar agama itu gak pandang usia. Tapi secara kultur, udah gue jarang bersosialisasi sampai gak kenal siapa aja ibu-ibu ini kecuali dua-tiga, atau kenal orangnya tapi gak tau namanya, ujug-ujug memegang separo kendali menentukan siapa yang terbaik dalam menghafal Qur'an di antara mereka.
Singkatnya, setelah dipaksa-paksa sama bapak gue, gue pun berangkatlah. Ternyata Bu Sofi (pengajar TPQ yang selama hampir 2 dekade merupakan the only main ustadzah there, cuma sesekali dibantu pengajar lain) belum sampai, maka gue cuma duduk di dekat salah satu ibu yang lagi hafalan Qur'an, sambil menyimak obrolan-obrolan unik mereka. Pas Bu Sofi udah dateng dan acara dimulai dengan doa, gue sempet bengong: doa yang dimaksud itu ternyata dari Al Fatihah, doa menuntut ilmu, doa khatam Qur'an, doa mohon keselamatan, sampai baca Asma'ul Husna lengkap dengan doa pengantarnya. Yang jadi masalah bukan gara-gara doanya berentetan kayak habis shalat, tapi karena separonya dilagukan sehingga panjangnya jadi bukan main. Tahu sendiri lah kalau "ngaji" berlagu di kampung-kampung, huruf satu harakat bisa sepanjang dua harakat sendiri.
(Besok-besoknya, pas gue disuruh bantuin lomba lagi, gue sengaja dateng habis doa, sambil nonton kejurdun badminton dulu di rumah.)
Dan acara inti lomba pun dimulai. Awalnya ditawarkan standar nilainya dulu. Bu Sofi usul, untuk masing-masing komponen, bernilai 60-90. Gue nanya, "Kok gak 100 sekalian, Bu?" Habis itu ada ibu yang nyeletuk, "Udah 90 aja. Nilai 100 hanya milik Allah."
Gue dan Bu Sofi pun menyingkir ke ruang sebelah tempat peserta satu per satu disimak hafalannya. Dalam lomba ini, surat wajibnya Al Kaafiruun, surat pilihannya bebas se-Al Qur'an sejumlah 2.
Dan sebagai satu-satunya bocah yang masih imut, gue berkali-kali salah tingkah di hadapan ibu-ibu. Mau ketawa lepas kayak Bu Sofi, tapi gue jaim. Mau sok serius, ntar dikira gak membaur. Tapi emang ibu-ibu itu lucu-lucu. Ada yang saking gugupnya, bacanya cepet banget kayak merapal mantra. Ada lagi yang sambil nanya, "Baca a'udzu dulu ya, Bu?" ke Bu Sofi. Ada yang baca ayat 3 surat Al Kaafiruun berkali-kali, mubeng-mubeng terus setelah ayat 4 karena emang bacaannya sama.
Karakter mayoritas lomba ini, pertama: 2 komponen penilaian berupa tajwid dan makhraj sama sekali luput. Cuma dua-tiga peserta yang menurut gue layak diloloskan. Kedua: surat pilihan berada di dua halaman terakhir Qur'an halaman standar Indonesia, alias dari Al Kautsar sampai An Naas. Beberapa gelintir doang yang ambil dari antara Al Humazah sampai Al Ma'un, tapi ada satu yang milih surat Asy Syams dan Adh Dhuhaa. Meski sempet sedikit kebolak-balik menjelang akhir surat Asy Syams, gue kasih nilai tertinggi buat si ibu, apalagi tajwid dan makhrajnya termasuk yang paling baik. Pas ditotal nilai akhirnya sama dengan seorang ibu lain, gue tambahin poin buat ibu pemilih Asy Syams ini karena berani milih surat yang jauh dari yang lain, yang bahkan belum pernah gue denger dibacain sama semua imam di masjid setempat.
Ada lagi ibu yang datengnya beberapa saat setelah peserta terakhir maju, dan sama Bu Sofi diizinkan ikutan. Walaupun bacaannya parah, gue acungin jempol karena semangatnya. Sebelumnya juga ada yang diizinkan Bu Sofi buat baca (bukan hafalan), dan baru setelah dia keluar, Bu Sofi memberi tahu gue kalau dia ini mualaf. Wuiiih, masya Allah...
Secara keseluruhan, gue salut sama ibu-ibu itu. Walaupun sambil belepotan, dan terlepas dari bisa jadi ada yang cuma gara-gara buat lomba ini, mereka masih semangat menghafal. Sebagai orang yang sudah berumur, menghafal tentu bukan perkara mudah bagi mereka dibanding kita yang masih muda gini. Tapi seperti yang dibilang Bu Sofi, walaupun cuma lomba, yang penting diniatkan ibadah, sehingga insya Allah berpahala.
Gimana dengan kita yang masih dikaruniai otak yang mudah menyerap hafalan? Dan masihkah hafalan itu terjaga? *nangis darah*
* * *
Besoknya, gue disuruh kembali lagi buat bantuin nulis skor lomba cerdas cermat. Puncak kelucuan pun terjadi dengan jawaban para ibu yang konyol-konyol. Tapi susah buat ceritain semua, jadi diakhiri aja ya ini tulisan.
Apa? Penasaran?
Yaudah, gue ceritain satu yang gak lucu nih.
Jadi, pertanyaan yang diajukan dalam sesi lemparan ini adalah, "Sebutkan istri-istri Rasulullah!" Dan ketiga tim cuma bisa nyebut Khadijah dan Aisyah. Tapi dalam batas waktu mikir itu, ada (entah peserta entah penonton) yang nyeletuk, "Maemunah," ditingkahi tawa seantero ruang. Gue berbisik pada Bu Sofi, "Bukannya Maimunah itu bener ya, Bu?" Sambil ketawa, Bu Sofi malah nyuruh gue diem. Baru setelah ketiga tim gak bisa menyebutkan lebih dari dua nama di atas, Bu Sofi membenarkan, dan tawa ibu-ibu itu semakin lepas, "Tuh, bener kan!"
Singkatnya, setelah dipaksa-paksa sama bapak gue, gue pun berangkatlah. Ternyata Bu Sofi (pengajar TPQ yang selama hampir 2 dekade merupakan the only main ustadzah there, cuma sesekali dibantu pengajar lain) belum sampai, maka gue cuma duduk di dekat salah satu ibu yang lagi hafalan Qur'an, sambil menyimak obrolan-obrolan unik mereka. Pas Bu Sofi udah dateng dan acara dimulai dengan doa, gue sempet bengong: doa yang dimaksud itu ternyata dari Al Fatihah, doa menuntut ilmu, doa khatam Qur'an, doa mohon keselamatan, sampai baca Asma'ul Husna lengkap dengan doa pengantarnya. Yang jadi masalah bukan gara-gara doanya berentetan kayak habis shalat, tapi karena separonya dilagukan sehingga panjangnya jadi bukan main. Tahu sendiri lah kalau "ngaji" berlagu di kampung-kampung, huruf satu harakat bisa sepanjang dua harakat sendiri.
(Besok-besoknya, pas gue disuruh bantuin lomba lagi, gue sengaja dateng habis doa, sambil nonton kejurdun badminton dulu di rumah.)
Dan acara inti lomba pun dimulai. Awalnya ditawarkan standar nilainya dulu. Bu Sofi usul, untuk masing-masing komponen, bernilai 60-90. Gue nanya, "Kok gak 100 sekalian, Bu?" Habis itu ada ibu yang nyeletuk, "Udah 90 aja. Nilai 100 hanya milik Allah."
Gue dan Bu Sofi pun menyingkir ke ruang sebelah tempat peserta satu per satu disimak hafalannya. Dalam lomba ini, surat wajibnya Al Kaafiruun, surat pilihannya bebas se-Al Qur'an sejumlah 2.
Dan sebagai satu-satunya bocah yang masih imut, gue berkali-kali salah tingkah di hadapan ibu-ibu. Mau ketawa lepas kayak Bu Sofi, tapi gue jaim. Mau sok serius, ntar dikira gak membaur. Tapi emang ibu-ibu itu lucu-lucu. Ada yang saking gugupnya, bacanya cepet banget kayak merapal mantra. Ada lagi yang sambil nanya, "Baca a'udzu dulu ya, Bu?" ke Bu Sofi. Ada yang baca ayat 3 surat Al Kaafiruun berkali-kali, mubeng-mubeng terus setelah ayat 4 karena emang bacaannya sama.
Karakter mayoritas lomba ini, pertama: 2 komponen penilaian berupa tajwid dan makhraj sama sekali luput. Cuma dua-tiga peserta yang menurut gue layak diloloskan. Kedua: surat pilihan berada di dua halaman terakhir Qur'an halaman standar Indonesia, alias dari Al Kautsar sampai An Naas. Beberapa gelintir doang yang ambil dari antara Al Humazah sampai Al Ma'un, tapi ada satu yang milih surat Asy Syams dan Adh Dhuhaa. Meski sempet sedikit kebolak-balik menjelang akhir surat Asy Syams, gue kasih nilai tertinggi buat si ibu, apalagi tajwid dan makhrajnya termasuk yang paling baik. Pas ditotal nilai akhirnya sama dengan seorang ibu lain, gue tambahin poin buat ibu pemilih Asy Syams ini karena berani milih surat yang jauh dari yang lain, yang bahkan belum pernah gue denger dibacain sama semua imam di masjid setempat.
Ada lagi ibu yang datengnya beberapa saat setelah peserta terakhir maju, dan sama Bu Sofi diizinkan ikutan. Walaupun bacaannya parah, gue acungin jempol karena semangatnya. Sebelumnya juga ada yang diizinkan Bu Sofi buat baca (bukan hafalan), dan baru setelah dia keluar, Bu Sofi memberi tahu gue kalau dia ini mualaf. Wuiiih, masya Allah...
Secara keseluruhan, gue salut sama ibu-ibu itu. Walaupun sambil belepotan, dan terlepas dari bisa jadi ada yang cuma gara-gara buat lomba ini, mereka masih semangat menghafal. Sebagai orang yang sudah berumur, menghafal tentu bukan perkara mudah bagi mereka dibanding kita yang masih muda gini. Tapi seperti yang dibilang Bu Sofi, walaupun cuma lomba, yang penting diniatkan ibadah, sehingga insya Allah berpahala.
Gimana dengan kita yang masih dikaruniai otak yang mudah menyerap hafalan? Dan masihkah hafalan itu terjaga? *nangis darah*
* * *
Besoknya, gue disuruh kembali lagi buat bantuin nulis skor lomba cerdas cermat. Puncak kelucuan pun terjadi dengan jawaban para ibu yang konyol-konyol. Tapi susah buat ceritain semua, jadi diakhiri aja ya ini tulisan.
Apa? Penasaran?
Yaudah, gue ceritain satu yang gak lucu nih.
Jadi, pertanyaan yang diajukan dalam sesi lemparan ini adalah, "Sebutkan istri-istri Rasulullah!" Dan ketiga tim cuma bisa nyebut Khadijah dan Aisyah. Tapi dalam batas waktu mikir itu, ada (entah peserta entah penonton) yang nyeletuk, "Maemunah," ditingkahi tawa seantero ruang. Gue berbisik pada Bu Sofi, "Bukannya Maimunah itu bener ya, Bu?" Sambil ketawa, Bu Sofi malah nyuruh gue diem. Baru setelah ketiga tim gak bisa menyebutkan lebih dari dua nama di atas, Bu Sofi membenarkan, dan tawa ibu-ibu itu semakin lepas, "Tuh, bener kan!"
No comments