Sesekali tentang Cinta dan Pernikahan, Tak Apa, Kan?
Pagi ini, aku iseng mencari sebuah nama lewat Google. Salah satu hasil pencariannya berupa video di Youtube, sebuah klip berdurasi 9 menit saat pernikahannya. Karena cukup banyak mengetahui latar belakang nama tersebut, aku sempat menangis menyaksikannya. Aku sendiri juga heran, tak biasanya aku merasakan sentuhan luar biasa menyaksikan pernikahan yang aku tahu didahului oleh pacaran.
Aku pernah mengalaminya, sewaktu menyaksikan pernikahan salah seorang saudaraku. Yang kutahu, mereka telah berpacaran lebih dari 6 tahun. Maka prosesi akad nikah pun serasa hanya formalitas, upacara tanpa makna. Melihat mempelai wanita mencium tangan suaminya, ada yang hambar di sana. Bukankah mereka sudah sering melakukan bahkan lebih dari sekadar cium tangan sebelum ini? Lalu apa yang membedakan momen ini dengan momen sebelumnya? Di mana kesakralan pernikahan itu?
Mendadak saja, tergambar beberapa akad nikah lain yang pernah kuhadiri. Baik yang mempelainya sama sekali belum pernah saling mengenal, ataupun yang sudah lama mengenal tapi sebatas rekan kerja yang tiba-tiba saja "dipaksa" Allah untuk menjadi sepasang pejuang dakwah. Ada perasaan halus yang selalu menyusup di hatiku yang keras ini, sesuatu yang agung. Mitsaqan ghalizha, perjanjian yang agung. Perjanjian yang hanya dipakai tiga kali dalam Al Qur'an untuk menggambarkan perjanjian dengan para nabi, dengan bani Israil, dan untuk pernikahan.
Melihat masih kakunya pengantin baru itu kala harus berdiri bersisian di "kursi pajangan", aku jadi teringat salah satu diskusi di kelas Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Waktu itu ada seorang kawan yang memberikanstatement bahwa masalah pergaulan laki-laki dan perempuan juga telah menggeser budaya. Jaman dulu, pacaran itu paling banter cuma surat-suratan, itu pun dititipin, dan saking jarang ketemunya, sebuah pertemuan pun menjadi sesuatu yang membuat hati berdebar, malu namun indah. Berbeda dengan saat ini, saat sesuatu yang lebih ekstrim dari sekadar boncengan di atas motor dibilang biasa saja, hingga hati pun mati untuk merasakan keindahan debaran rasa malu itu.
Aku tak tahu apa yang salah dengan pergaulan sekarang. Dalam hati, aku selalu menyetujui perkataan kawanku itu. Budaya ini sudah bergeser. Budaya sekarang adalah, MALU saat seorang pemuda tak beraninembak gadis pujaannya. MALU saat seorang gadis masih single hingga kepala dua. Bahkan saking malunya dengan status single itu, tak jarang gadis itu mempermalukan dirinya sendiri dengan nembak pemuda yang dianggapnya akan mampu melindungi dirinya (sekalian aja sewa satu batalyon tentara buat mengawal ke mana-mana!).
Bahkan, aktivis dakwah pun justru terwarnai oleh objek dakwahnya. Dengan dalih supaya bisa diterima di lingkungannya, cairnya sikap para aktivis ternyata malah membuatnya tercelup sedalam ini. Alam bawah sadarnya iri dengan romantisme palsu yang ditampilkan kawan-kawannya, hingga membuat aktivis ini mengikuti jejak mereka.
Ah, aku jadi ingat apa yang dikatakan ibuku. Kalau ada aktivis yang merasa begini, biasanya karena dia selalu dijejali informasi tentang manisnya pernikahan. Siapa sih yang gak pengin punya istri cantik nan shalihah seperti bidadari? Siapa sih yang gak pengin punya suami tampan, shalih, kaya, dan mampu mengayomi? Tapi apa daya, masih kuliah, belum punya penghasilan, belum dapat izin ortu.
Kalau begitu, PUASA! Bukannya malah obral diri. Yang laki-laki gengsi kalau belum dapat kecengan, yang perempuan merasa sepi tanpa perhatian.
Kalau begitu, PUASA!
Dan lagi, cukup deh bahas pernikahan itu dari sisi indahnya. Yang pengin punya istri sejelita bidadari, emang situ udah segagah bidadara? Enak aja, wanitanya disuruh jadi bidadari yang taat dan kalem, laki-lakinya seenaknya sendiri. Yang pengin punya suami sempurna dan bisa menjadi imam yang baik, emang situ udah bisa jadi makmum yang baik? Jadi makmum shalat aja sering protes imam kalau shalatnya kelamaan, enak aja laki-lakinya disuruh menjadi imam yang baik untuk makmum yang asal-asalan.
Well, by the way, tumben ya seorang Lila yang sadis ngomongin hal mellow macam cinta dan nikah? Hehe... Tapi emangnya gak boleh?
Lagipula, kenapa cinta dan nikah itu dipandang sebagai hal yang mellow? Kenapa pembicaraan tentang cinta dan pernikahan selalu dibuat guyonan, bahkan sering juga berujung pada ledekan yang menjodoh-jodohkan seseorang? Kalau yang dijodoh-jodohkan ternyata malah jadi suka beneran, lalu mulai melakukan hal-hal yang meskipun kecil tapi dosa, bukankah yang menjodoh-jodohkan ikutan menanggung dosa?
Terus terang, hal yang paling kuinginkan saat membicarakan masalah seperti ini adalah keseriusan pikiran. Nikah itu ibadah, kan? Sama seperti shalat, zakat, puasa, haji... Tapi kalau membicarakan empat ibadah itu, misalnya, kan jarang kita dengar ungkapan, "Ciee... ciee..."
Dan lagi, saat mendengar taushiyah ibuku berupa hal-hal di atas, kupikir aku harus segera menuliskannya sebelum lupa. Apalagi, masalah virus merah jambu alias VMJ ini emang hal paling mengganggu dalam aktivitas dakwah.
Sabda Nabi kan, kalau udah siap, ya nikah. Kalau belum siap, puasa. Bukan malah memilih hubungan tanpa status atau mengobral janji dan harapan yang belum tentu terlaksana. Jangan mendahului takdir.
Menutup tulisan ini, aku jadi ingat kalimat seorang ummahat tentang pernikahannya. Kalimat yang bebas dari nuansa mellow dan cengeng, tapi pernyataan cintanya pada suaminya merupakan semangat jihad yang menjadikan cinta itu hanyalah "pekerjaan sambilan" di samping dakwah.
Aku pernah mengalaminya, sewaktu menyaksikan pernikahan salah seorang saudaraku. Yang kutahu, mereka telah berpacaran lebih dari 6 tahun. Maka prosesi akad nikah pun serasa hanya formalitas, upacara tanpa makna. Melihat mempelai wanita mencium tangan suaminya, ada yang hambar di sana. Bukankah mereka sudah sering melakukan bahkan lebih dari sekadar cium tangan sebelum ini? Lalu apa yang membedakan momen ini dengan momen sebelumnya? Di mana kesakralan pernikahan itu?
Mendadak saja, tergambar beberapa akad nikah lain yang pernah kuhadiri. Baik yang mempelainya sama sekali belum pernah saling mengenal, ataupun yang sudah lama mengenal tapi sebatas rekan kerja yang tiba-tiba saja "dipaksa" Allah untuk menjadi sepasang pejuang dakwah. Ada perasaan halus yang selalu menyusup di hatiku yang keras ini, sesuatu yang agung. Mitsaqan ghalizha, perjanjian yang agung. Perjanjian yang hanya dipakai tiga kali dalam Al Qur'an untuk menggambarkan perjanjian dengan para nabi, dengan bani Israil, dan untuk pernikahan.
Melihat masih kakunya pengantin baru itu kala harus berdiri bersisian di "kursi pajangan", aku jadi teringat salah satu diskusi di kelas Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Waktu itu ada seorang kawan yang memberikanstatement bahwa masalah pergaulan laki-laki dan perempuan juga telah menggeser budaya. Jaman dulu, pacaran itu paling banter cuma surat-suratan, itu pun dititipin, dan saking jarang ketemunya, sebuah pertemuan pun menjadi sesuatu yang membuat hati berdebar, malu namun indah. Berbeda dengan saat ini, saat sesuatu yang lebih ekstrim dari sekadar boncengan di atas motor dibilang biasa saja, hingga hati pun mati untuk merasakan keindahan debaran rasa malu itu.
Aku tak tahu apa yang salah dengan pergaulan sekarang. Dalam hati, aku selalu menyetujui perkataan kawanku itu. Budaya ini sudah bergeser. Budaya sekarang adalah, MALU saat seorang pemuda tak beraninembak gadis pujaannya. MALU saat seorang gadis masih single hingga kepala dua. Bahkan saking malunya dengan status single itu, tak jarang gadis itu mempermalukan dirinya sendiri dengan nembak pemuda yang dianggapnya akan mampu melindungi dirinya (sekalian aja sewa satu batalyon tentara buat mengawal ke mana-mana!).
Bahkan, aktivis dakwah pun justru terwarnai oleh objek dakwahnya. Dengan dalih supaya bisa diterima di lingkungannya, cairnya sikap para aktivis ternyata malah membuatnya tercelup sedalam ini. Alam bawah sadarnya iri dengan romantisme palsu yang ditampilkan kawan-kawannya, hingga membuat aktivis ini mengikuti jejak mereka.
Ah, aku jadi ingat apa yang dikatakan ibuku. Kalau ada aktivis yang merasa begini, biasanya karena dia selalu dijejali informasi tentang manisnya pernikahan. Siapa sih yang gak pengin punya istri cantik nan shalihah seperti bidadari? Siapa sih yang gak pengin punya suami tampan, shalih, kaya, dan mampu mengayomi? Tapi apa daya, masih kuliah, belum punya penghasilan, belum dapat izin ortu.
Kalau begitu, PUASA! Bukannya malah obral diri. Yang laki-laki gengsi kalau belum dapat kecengan, yang perempuan merasa sepi tanpa perhatian.
Kalau begitu, PUASA!
Dan lagi, cukup deh bahas pernikahan itu dari sisi indahnya. Yang pengin punya istri sejelita bidadari, emang situ udah segagah bidadara? Enak aja, wanitanya disuruh jadi bidadari yang taat dan kalem, laki-lakinya seenaknya sendiri. Yang pengin punya suami sempurna dan bisa menjadi imam yang baik, emang situ udah bisa jadi makmum yang baik? Jadi makmum shalat aja sering protes imam kalau shalatnya kelamaan, enak aja laki-lakinya disuruh menjadi imam yang baik untuk makmum yang asal-asalan.
Well, by the way, tumben ya seorang Lila yang sadis ngomongin hal mellow macam cinta dan nikah? Hehe... Tapi emangnya gak boleh?
Lagipula, kenapa cinta dan nikah itu dipandang sebagai hal yang mellow? Kenapa pembicaraan tentang cinta dan pernikahan selalu dibuat guyonan, bahkan sering juga berujung pada ledekan yang menjodoh-jodohkan seseorang? Kalau yang dijodoh-jodohkan ternyata malah jadi suka beneran, lalu mulai melakukan hal-hal yang meskipun kecil tapi dosa, bukankah yang menjodoh-jodohkan ikutan menanggung dosa?
Terus terang, hal yang paling kuinginkan saat membicarakan masalah seperti ini adalah keseriusan pikiran. Nikah itu ibadah, kan? Sama seperti shalat, zakat, puasa, haji... Tapi kalau membicarakan empat ibadah itu, misalnya, kan jarang kita dengar ungkapan, "Ciee... ciee..."
Dan lagi, saat mendengar taushiyah ibuku berupa hal-hal di atas, kupikir aku harus segera menuliskannya sebelum lupa. Apalagi, masalah virus merah jambu alias VMJ ini emang hal paling mengganggu dalam aktivitas dakwah.
Sabda Nabi kan, kalau udah siap, ya nikah. Kalau belum siap, puasa. Bukan malah memilih hubungan tanpa status atau mengobral janji dan harapan yang belum tentu terlaksana. Jangan mendahului takdir.
Menutup tulisan ini, aku jadi ingat kalimat seorang ummahat tentang pernikahannya. Kalimat yang bebas dari nuansa mellow dan cengeng, tapi pernyataan cintanya pada suaminya merupakan semangat jihad yang menjadikan cinta itu hanyalah "pekerjaan sambilan" di samping dakwah.
No comments