Sebuah Resensi, Sebuah Tanggapan, Sebuah Kelanjutan
Beberapa waktu yang lalu saya ditandai dalam catatan yang dipublikasikan melalui facebook oleh Kakom KAMMI Teknik Undip, Akhi Hermawan, yang berjudul "Harry Potter atau Muhammad Al-Fatih?". Sebuah tulisan dengan tema yang membuat kepala saya penuh dengan tanggapan yang memberontak ingin dituangkan saat itu juga. (Dan bisa dibilang, untuk pertama kalinya saya menyatakan sepakat sepenuhnya dengan beliau tanpa bantahan, hehe...)
Tapi sebelum saya mulai mengelaborasikan tanggapan yang sempat saya tulis melalui komentar menjadi sebuah catatan baru, saya ingin meringkas tulisan beliau tersebut.
Kita semua tahu bahwa novel serta film Harry Potter pernah menghebohkan dunia. Jutaan orang di seluruh dunia rela antri berjam-jam demi mendapatkan buku terbarunya, atau mendapat tiket menontonnya di bioskop, bahkan dandanan para penggemar Harry Potter pun meniru habis-habisan aksesori para tokoh dalam fiksi tersebut. Seorang profesor yang juga anggota DPR menganggap bahwa penulis novel Harry Potter sering menyisipkan falsafah hidup, sehingga mendukung keinginan anaknya untuk membaca novel tersebut.
Akh Hermawan kemudian berusaha membantah pernyataan profesor tersebut bahwa, jika ingin mencari falsafah, sebetulnya Allah sudah memberikannya melalui Islam, melalui teladan Rasulullah. Bahkan sudah banyak tokoh muslim yang mengguncang dunia, seperti Muhammad Al Fatih, Ibnu Sina, atau Ibnu Rushd. Tetapi kisah mereka malah hilang digantikan dengan kisah ilmuan Barat, padahal kontribusi ilmuwan muslim pun diakui oleh Barat sendiri. Pada akhir tulisan, beliau menuliskan keprihatinan bahwa saat ini kita rela mengeluarkan banyak uang untuk buku semacam Harry Potter, tapi tidak untuk buku-buku Islam atau kegiatan keislaman.
Saya yakin, bagi para aktivis, tema tersebut bukan hal baru lagi untuk kita. Kita pun sudah sangat memahami pentingnya mengembalikan kemasyhuran tokoh-tokoh muslim di tengah popularitas tokoh non-muslim. Bagi kita yang sudah mengerti, tentu tidak lebih sulit ketika harus menghabiskan uang atau waktu untuk buku-buku dan kegiatan Islami. Akan tetapi, tidak dengan orang-orang di luar kita.
Bagi orang awam, tentu saja akan lebih asyik membaca teenlit daripada harus membaca shirah nabawi yang tebal penuh tulisan kecil-kecil itu. Bagi yang hobi membaca pun, mereka lebih memilih tenggelam dalam plot Harry Potter yang ditulis dalam bahasa yang santai dibandingkan shirah sahabat yang tidak sedikit berisi tulisan Arab yang bahkan membacanya pun belum bisa. Maka menurut saya, di sinilah letak kekurangan kita sebagai seorang muslim untuk memperkenalkan para pejuang Islam.
Literatur kisah para tokoh muslim jarang sekali yang ditulis dalam bahasa yang santai namun mengena. Isinya serius melulu. Mau dibuat dalam bentuk komik pun, terlalu banyak percakapan panjang berisi kalimat cukup berat. Yang dalam bentuk narasi pun, satu paragraf bisa setengah halaman sendiri, belum font size dan spasinya kecil-kecil. Jika memosisikan diri sebagai orang awam, saya sendiri jelas bosan membacanya, sementara di sebelahnya ada novel Harry Potter yang layout-nya lebih menarik.
Saya ingat pernah membaca empat seri kisah Mahabharata. Keempatnya komik, bahasanya mengalir santai, ringan, singkat, juga sering disisipi guyonan. Tidak hanya untuk anak, bahkan orang dewasa pun akan lebih suka membaca komik itu untuk memahami kisah wayang daripada novelnya (kecuali bagi pecinta sastra). Bisakah kita mengisahkan Al Fatih dengan bahasa seperti itu? Saya yakin, saat ini pun sudah banyak dikembangkan seri tokoh muslim seperti itu.
Selain bukunya, film Harry Potter pun tak kalah laris, walaupun banyak keluhan bahwa plot film tidak sama dengan buku. Tapi yang membuat Harry Potter menarik, salah satunya adalah animasi yang begitu halus: bagaimana sapu terbang itu luwes saja melayang di udara seolah-olah benar-benar terbang. Kita lihat kartun luar negeri, mulai dari Spongebob, Doraemon, atau seribu karya Walt Disney. Kartun itu bergerak seperti hidup, bukan sekadar gambar.
Lalu bandingkan dengan kartun yang menggambarkan kehidupan tokoh Islam. Gerakannya kaku, ceritanya serius. Jangankan anak kecil, orang dewasa saja juga bosan menontonnya. Intinya, dari segi teknologi kita sudah kalah telak.
Melalui catatan berjudul "Harry Potter atau Muhammad Al-Fatih?" kita diingatkan kembali tentang realita umat. Tapi, setelah ingat, jangan dipendam sendiri. Jangan seperti SBY yang cuma bisa ikut prihatin, tapi dengan kemampuanmu, ubahlah!
Jadilah kau penulis cerita yang membuat para pembaca serasa menghadapi kapal yang diputuskan Thariq untuk dibakar saat akan merebut Andalusia. Jadilah kau pencerita ulung agar dapat menenggelamkan pendengarmu dalam perang salib! Jadilah kau animator yang dapat menggambarkan ilmuwan Islam dengan kecemerlangannya. Jadilah kau sutradara yang bisa meyakinkan penonton bahwa Al Fatih yang merebut Konstantinopel itu bukan sekadar akting belaka, tapi itu nyata!
No comments