[L.Ov.E] 2# Mafaza vs Baiti Jannati
Ada rasa kecewa sedikit di hati Lila saat membuka pengumuman SNMPTN. Dia tak menemukan nama Luqyan Mujadila sebagai peserta SNMPTN yang lolos ke ITB. Tapi tak apa. Sebelumnya dia sudah diterima di Sistem Komputer Undip, bahkan sudah sempat verifikasi, meski masih sangat mengharapkan STEI ITB.
Yap, tak ada waktu untuk merenungi nasib. Ambil HP, SMS pementor tercinta di SMA yang juga alumnus Teknik Kimia Undip, minta bantuan tentang kos-kosan di sekitar Tembalang. Biarpun asli Ungaran, yang paling-paling cuma 40 menit berkendaraan, Lila memilih tinggal di kos daripada bolak-balik tiap hari. Selain mobilitas lebih tinggi dengan tinggal dekat kampus, alasan yang lebih utama adalah dia tidak bisa naik motor! Keburu capek di perjalanan kalo ngelaju.
Hari ini, Lila membonceng Mbak Amel menuju Tembalang. Di tengah deru motor, Mbak Amel berseru, "Mbak dapat info, ada dua wisma masih kosong, Mafaza dan BJ, ntar lihat-lihat dulu aja sebelum milih ya..."
Lila hanya manggut-manggut. Mana dia ngerti antara Mafaza dan BJ? Lagian, dia kan nyari kos, bukan wisma. Mbak Amel gimana sih?
Tempat pertama yang didatangi Lila adalah Mafaza. Bangunan itu dari luar sederhana saja, bercat hijau, di depannya ada halaman kecil yang dipenuhi rumput jepang. Mbak Amel membuka pintu samping sambil berucap, "Assalamu'alaikum..."
Dari dalam terdengar suara kompak menjawab, "Wa'alaikumussalam warahmatullah."
Pintu yang dibuka Mbak Amel ternyata pintu garasi mini. Ada dua motor yang hampir memenuhi garasi itu. Mbak Amel mengajak Lila melewati pintu yang menghubungkan garasi dengan ruang tamu, dan Lila pun terpana.
Dari luar sepertinya bangunan itu kecil, tapi ternyata dalamnya memanjang. Di sebelah garasi, ada ruang tamu yang tiga perempat dindingnya dipenuhi rak buku dan koran. Seperempat yang tidak berisi rak tertempel papan sterofoam dengan berbagai kertas informasi. Hijab kain berwarna hijau membatasi ruangan seperti tirai, tapi saat ini hijab itu dalam kondisi terbuka.
Di belakang ruang tamu, tanpa ada barang yang membatasi, adalah lorong panjang yang dibentuk oleh deretan kamar, masing-masing lima di sisi kanan-kiri, di ujung belakang ada pintu. Paruh depan lorong itu tak berisi barang apa pun, namun di bagian ujung belakang berdiri dua meja, satu dipenuhi makanan beraneka rupa dan gelas-gelas, satu lagi meja setrika. Ruang itu penuh oleh akhwat yang sedang mondar-mandir antar kamar.
Seorang akhwat berpakaian serba ungu yang tampaknya siap pergi menyambut Mbak Amel. "Ada yang mau survei wisma, Mbak?"
"Iya, Dik. Ini adik kelas Mbak di SMA, namanya Lila," jawab Mbak Amel.
"Di jurusan apa, Dik?" tanya akhwat "ungu" itu.
"Sistem Komputer, Mbak," jawab Lila.
"Oh, berarti sama kayak Haira, ya?"
Lila cuma mengangguk tak paham. Dia sedang asyik dengan kameranya, memotret seisi ruangan. Terlebih ketika akhwat itu mengatakan masih sempat mengajaknya melihat-lihat kamar sebelum berangkat. Lila tambah semangat memotret kamar yang hanya berukuran sekitar delapan meter persegi itu. Dua buah kasur yang terhampar begitu saja di lantai, namun rapi bertumpuk, ditambah sebuah meja, lemari pakaian, dan rak buku.
Selesai menanyakan harga dan segala macam lainnya (Mbak Amel yang bertanya, karena Lila sama sekali nggak ngerti seluk-beluk kos-kosan), Mbak Amel mengajak Lila ke kos yang lebih jauh. Di pintu, tertempel dua huruf berukuran cukup besar, "BJ".
"BJ apaan, Mbak?" tanya Lila pada Mbak Amel.
"Baiti Jannati," jawab Mbak Amel. Keduanya pun memasuki bangunan bercat putih itu.
Bagian dalam ruang itu lebih kecil daripada Mafaza, tapi suasananya sangat tenang. Hanya ada dua akhwat yang sedang bersantai dalam rumah.
"Cuma berdua nih?" tanya Mbak Amel kepada akhwat yang sedang membaca buku.
"Iya, lainnya masih di kampus," jawab yang ditanya. Mbak itu dengan senang hati menjadi tour guide buat Lila.
Dibandingkan Mafaza yang nuansa kos-kosannya begitu terasa, BJ terkesan lebih seperti rumah dengan lima kamar. Kamar yang ada lebih luas daripada kamar di Mafaza, sebab dua buah dipan pun bisa masuk ke dalamnya. Itu pun masih ditambah properti lain yang hampir sama seperti Mafaza: lemari, meja, dan rak buku. Hanya saja meja di BJ lebih menyerupai meja rias tanpa kaca.
Seperti sebelumnya, Mbak Amel yang menanyakan segalanya: harga kontrak (ternyata sistem dua kos ini kontrak, jadi bayarnya per tahun), biaya rumah tangga lain, kelancaran dan kebersihan air, sistem memasak, sistem pembinaan, dan sebagainya. Lila jadi seperti pencatat berita saat Mbak Amel menanyakan semua itu seperti seorang wartawan.
Selesai survei, Mbak Amel mengajak Lila makan. Lila melihat daftar menu dan mencari makanan paling murah (tahu bahwa Mbak Amel yang mentraktir), sementara Mbak Amel sendiri hanya memesan jus apel.
"Gimana, Dik? Ada pandangan kira-kira mau milih wisma yang mana?" tanya Mbak Amel sambil menunggu pesanan.
"Belum tahu, Mbak," jawab Lila, membuka kaleng kerupuk yang ada di dekatnya dan mengambil satu. "Nanya Ibu dulu deh."
Satu krupuk sudah habis dimakan Lila ketika dia tiba-tiba nyeletuk, "Mbak, kok nyebutnya wisma sih? Emang bedanya wisma sama kos-kosan apa?"
Yap, tak ada waktu untuk merenungi nasib. Ambil HP, SMS pementor tercinta di SMA yang juga alumnus Teknik Kimia Undip, minta bantuan tentang kos-kosan di sekitar Tembalang. Biarpun asli Ungaran, yang paling-paling cuma 40 menit berkendaraan, Lila memilih tinggal di kos daripada bolak-balik tiap hari. Selain mobilitas lebih tinggi dengan tinggal dekat kampus, alasan yang lebih utama adalah dia tidak bisa naik motor! Keburu capek di perjalanan kalo ngelaju.
Hari ini, Lila membonceng Mbak Amel menuju Tembalang. Di tengah deru motor, Mbak Amel berseru, "Mbak dapat info, ada dua wisma masih kosong, Mafaza dan BJ, ntar lihat-lihat dulu aja sebelum milih ya..."
Lila hanya manggut-manggut. Mana dia ngerti antara Mafaza dan BJ? Lagian, dia kan nyari kos, bukan wisma. Mbak Amel gimana sih?
Tempat pertama yang didatangi Lila adalah Mafaza. Bangunan itu dari luar sederhana saja, bercat hijau, di depannya ada halaman kecil yang dipenuhi rumput jepang. Mbak Amel membuka pintu samping sambil berucap, "Assalamu'alaikum..."
Dari dalam terdengar suara kompak menjawab, "Wa'alaikumussalam warahmatullah."
Pintu yang dibuka Mbak Amel ternyata pintu garasi mini. Ada dua motor yang hampir memenuhi garasi itu. Mbak Amel mengajak Lila melewati pintu yang menghubungkan garasi dengan ruang tamu, dan Lila pun terpana.
Dari luar sepertinya bangunan itu kecil, tapi ternyata dalamnya memanjang. Di sebelah garasi, ada ruang tamu yang tiga perempat dindingnya dipenuhi rak buku dan koran. Seperempat yang tidak berisi rak tertempel papan sterofoam dengan berbagai kertas informasi. Hijab kain berwarna hijau membatasi ruangan seperti tirai, tapi saat ini hijab itu dalam kondisi terbuka.
Di belakang ruang tamu, tanpa ada barang yang membatasi, adalah lorong panjang yang dibentuk oleh deretan kamar, masing-masing lima di sisi kanan-kiri, di ujung belakang ada pintu. Paruh depan lorong itu tak berisi barang apa pun, namun di bagian ujung belakang berdiri dua meja, satu dipenuhi makanan beraneka rupa dan gelas-gelas, satu lagi meja setrika. Ruang itu penuh oleh akhwat yang sedang mondar-mandir antar kamar.
Seorang akhwat berpakaian serba ungu yang tampaknya siap pergi menyambut Mbak Amel. "Ada yang mau survei wisma, Mbak?"
"Iya, Dik. Ini adik kelas Mbak di SMA, namanya Lila," jawab Mbak Amel.
"Di jurusan apa, Dik?" tanya akhwat "ungu" itu.
"Sistem Komputer, Mbak," jawab Lila.
"Oh, berarti sama kayak Haira, ya?"
Lila cuma mengangguk tak paham. Dia sedang asyik dengan kameranya, memotret seisi ruangan. Terlebih ketika akhwat itu mengatakan masih sempat mengajaknya melihat-lihat kamar sebelum berangkat. Lila tambah semangat memotret kamar yang hanya berukuran sekitar delapan meter persegi itu. Dua buah kasur yang terhampar begitu saja di lantai, namun rapi bertumpuk, ditambah sebuah meja, lemari pakaian, dan rak buku.
Selesai menanyakan harga dan segala macam lainnya (Mbak Amel yang bertanya, karena Lila sama sekali nggak ngerti seluk-beluk kos-kosan), Mbak Amel mengajak Lila ke kos yang lebih jauh. Di pintu, tertempel dua huruf berukuran cukup besar, "BJ".
"BJ apaan, Mbak?" tanya Lila pada Mbak Amel.
"Baiti Jannati," jawab Mbak Amel. Keduanya pun memasuki bangunan bercat putih itu.
Bagian dalam ruang itu lebih kecil daripada Mafaza, tapi suasananya sangat tenang. Hanya ada dua akhwat yang sedang bersantai dalam rumah.
"Cuma berdua nih?" tanya Mbak Amel kepada akhwat yang sedang membaca buku.
"Iya, lainnya masih di kampus," jawab yang ditanya. Mbak itu dengan senang hati menjadi tour guide buat Lila.
Dibandingkan Mafaza yang nuansa kos-kosannya begitu terasa, BJ terkesan lebih seperti rumah dengan lima kamar. Kamar yang ada lebih luas daripada kamar di Mafaza, sebab dua buah dipan pun bisa masuk ke dalamnya. Itu pun masih ditambah properti lain yang hampir sama seperti Mafaza: lemari, meja, dan rak buku. Hanya saja meja di BJ lebih menyerupai meja rias tanpa kaca.
Seperti sebelumnya, Mbak Amel yang menanyakan segalanya: harga kontrak (ternyata sistem dua kos ini kontrak, jadi bayarnya per tahun), biaya rumah tangga lain, kelancaran dan kebersihan air, sistem memasak, sistem pembinaan, dan sebagainya. Lila jadi seperti pencatat berita saat Mbak Amel menanyakan semua itu seperti seorang wartawan.
Selesai survei, Mbak Amel mengajak Lila makan. Lila melihat daftar menu dan mencari makanan paling murah (tahu bahwa Mbak Amel yang mentraktir), sementara Mbak Amel sendiri hanya memesan jus apel.
"Gimana, Dik? Ada pandangan kira-kira mau milih wisma yang mana?" tanya Mbak Amel sambil menunggu pesanan.
"Belum tahu, Mbak," jawab Lila, membuka kaleng kerupuk yang ada di dekatnya dan mengambil satu. "Nanya Ibu dulu deh."
Satu krupuk sudah habis dimakan Lila ketika dia tiba-tiba nyeletuk, "Mbak, kok nyebutnya wisma sih? Emang bedanya wisma sama kos-kosan apa?"
================== ^_^ ==================
===========IKUTI TERUS KISAH INI==========
====KARENA PENULIS SENDIRI BELUM TAHU===
=====SAMPAI EPISODE BERAPA SERIAL INI=====
=================== ^_^ ==================
Dedicated to:
My Beloved "RoQu"
Love u all coz of Allah
No comments